Yang namanya kemalangan datangnya tidak bisa di tepis. Tapi bentuk kemalangan memiliki ragam yang tidak bisa di cegah. Sedang sebuah usaha tidak akan mengkhianati hasilnya, kecuali kemalangan yang menimpa.
Sama halnya dengan sebuah perasaan yang tidak bisa di kendalikan, akan berdampak pada usaha yang telah dilakukan. Jadi tidak serta merta semuanya instan. Berusaha atau mengusahakan sesuatu akan memicu sebuah ujian lainnya.
Ada juga ragam usaha yang disebut ketidakmampuan. Akibat tersadar bahwa usahanya sia-sia, perasaan bisa menghancurkan seseorang.
Bicara-bicara tentang usaha, suatu hari nanti, akan ada saat di mana kita menemukan waktu. Yang di rasa tepat, berlapang dada mengikhlaskan janji seseorang yang tidak terpenuhi, menerima kekecewaan yang begitu melukai, dengan tegas meninggalkan sesuatu yang tak kunjung pasti, melupakan sesal yang belum usai dan akan menemukan alasan melanjutkan hidup setelah sebuah rasa di sia-siakan.
Makanya, di catatkan: usaha tidak akan mengkhianati hasil. Jika hasilnya seperti ini, kita di tekan untuk melongok ke belakang. Bukan pada luka maupun sesal. Namun perjuangannya. Apakah sudah maksimal? Apakah sudah memenuhi target incaran? Apakah sepenuhnya ada ikhlas yang menaungi dari awal. Atau niat yang tidak sepadan dengan maunya hati?
Alasan untuk bahagia tidak segamblang kelihatannya. Ada banyak cerita kelam di dalamnya yang harus di sibak. Ada banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Dan saat hasil dari sebuah usaha tiba, rasa percaya akan tergenggam. Bahwa sesuatu yang mungkin dianggap buruk ternyata memberi alasan untuk bahagia.
Pulung belum sepenuhnya masuk ke dalam tataran usaha yang disebutkan. Karena satu bulan berselang usia pernikahannya, stik biru putih masih menggambarkan garis merah satu: negatif. Jelas artinya begitu. Lesu? Iya.
Tubuh Pulung luruh menyatu dengan lantai. Kedua tangannya menyangga ke atas dengan kepala tertanam di lutut. Rasanya… kok lama sekali. Sedang dirinya pernah melihat teman-temannya yang menikah langsung hamil. Menimang momongan secepatnya. Tapi dirinya?
Patut di pertanyakan mengenai kesuburannya. Jangan-jangan sperma sang suami tidak jatuh cinta dengan sel telurnya? Duhh… Pulung overthinking. Malu hendak menghadap suami.
Padahal Ardika tidak pernah terlihat ataupun mengungkapkan keinginannya soal anak darinya. Tapi tetap saja sebagai perempuan, Pulung ingin menjadi seutuhnya. Yang sempurna dan satu-satunya. Jangan sampai rumah tangganya tercemar pihak ketiga apalagi istri muda. Tidak bisa Pulung bayangkan setelah badai di pernikahan pertamanya.
"Sayang? Kamu di dalam?" Vokal Ardika mengudara pun diikuti ketukan pelan. Lekas membuat Pulung tersadar dan bangun. Merapikan rambutnya, lantas membuang stik sialannya. "Kamu ngapain?"
Senyum Pulung terbit. Kepalanya menggeleng. "Nyiapin air buat mas mandi."
Desah lolos keluar dari mulut Ardika yang terbuka. Matanya memandangi seisi wajah sang istri dan menjulurkan tangan. "Aku pikir sakit." Punggung tangan Ardika bersalaman dengan dahi Pulung yang bersuhu normal. "Harusnya, kamu nggak perlu sampai nyiapin air mandi. Cukup baju saja."
Yang baru Ardika pahami jika Pulung Rinjani tipe perempuan keras kepala. Entah apa yang mendasari, sebagai sesama sulung, Ardika coba menyamakan dirinya dengan Pulung. Mungkin karena tuntutan keluarga. Mungkin harus di jadikan panutan untuk adik-adiknya. Atau mungkin… apapun yang berkaitan dengan tanggungjawab.
"Itu sudah tugas istri."
"Nggak semuanya sayang." Bujukan Ardika terus di layangkan. Ardika menikahi Pulung bukan sekadar untuk teman tidur, menyiapkan sarapan, baju dan segala keperluannya. Tapi karena sebuah keharusan sebagai lelaki yang membutuhkan pendamping begitu pun sebaliknya. Bukankah jika berdua, sebuah masalah akan cepat di selesaikan?
"Ya sudah, mas mandi gih. Aku mau bangunin Naomi." Pulung kecup sudut bibir suami dan hengkang dari sana. Meninggalkan semu-semu merah jambu di pipi Ardika.
Rasanya seperti menjadi ironman.
Ternyata seperti itu rasanya diurusi istri. Serius, bibir Ardika melebar terus. Giginya bisa kering lama-lama. Dan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan istrinya adalah:
'Pulung wanitanya. Yang sedang menjelma menjadi orang menyebalkan—terbukti dengan tiap jawaban kala Ardika menegur. Bukan bantahan, namun seolah peran istri tengah di lakonkan. Sering berbicara konyol, melontarkan candaan tidak masuk akal, tapi tetap merekahkan senyum di bibir Ardika. Menelepon, bertanya hal-hal tidak penting namun rasa khawatir membumbung tinggi. Kadang-kadang, Pulung akan bertingkah acuh dengan tidak membalas pesan Ardika lantaran takut mengganggu aktivitasnya.'
Dunia cinta bisa seluas itu penjabarannya.
Lantas Pulung, pikirannya kacau. Perasaannya terlampau berat. Tapi kata 'tidak apa-apa' terus melantun dalam benaknya. Memang tak mudah melepaskan. Membiasakan diri untuk menerima apa yang belum menjadi miliknya agaknya sulit. Hidup terus berjalan. Percaya, pelan-pelan akan tiba waktunya, semua terasa biasa saja. Semua kembali terasa mudah.
Ya, Pulung akan berusaha lebih keras mulai sekarang.
***
Ayana bertingkah. Dengan iming-iming es krim di tangan serta buku cerita di dalam tasnya. Info terbaru yang dirinya dapat, hari ini seluruh pengajar di sanggar tari mengadakan rapat. Seusai materi yang di sampaikan dan semua muridnya berhambur keluar.
Tak terkecuali Naomi Aksara yang duduk sendiri di saung. Tak jauh dari gerbang keluar. Mata Ayana terus memandangi. Sesekali meremas tasnya. Menguatkan tekadnya untuk menyapa sang putri.
Begitu langkahnya terus maju hampir sampai. Berton-ton beban menggelayuti kakinya.
Tidak ingin maju, Ayana lelah menjadi pengecut.
Ingin menghampiri, apa yang harus dirinya katakan?
Menyapa: hai?
Atau: Anakku?
Aih, Ayana galau di langkah yang tinggal selangkah lagi.
Naomi sedang asik dengan ponselnya. Samar-samar terdengar suara dari dalam video yang di putar. Ayana tidak tahu apa. Tapi sepertinya video anak-anak pada umumnya.
Sudah. Ayana tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Peduli setan tentang ancaman Ardika, Ayana juga ingin melihat putrinya. Yang secara dekat tercetak jelas, tidak ada lukisan dirinya di wajah Naomi. Hanya rahim sumbangan Ayana. Selebihnya milik Ardika. Sialan sekali, kan?
"Tante siapa?" tanya Naomi mendongakkan kepalanya. Meninggalkan sejenak aktivitas matanya di atas layar ponsel.
Senyum Ayana terbit. Duduk di samping Naomi tanpa permisi.
"Kata mama, Omi nggak boleh dekat-dekat sama orang asing." Tubuh kecilnya di geser. Kok nyelekit sekali.
Umpatan Ayana serapahkan. "Tante bawa es krim—"
"Kata mama juga, Omi nggak bisa nerima pemberian apapun dari orang yang nggak di kenal."
Ya!? Busuk sekali cara didik Pulung ini. Bisa-bisanya, putrinya di jauhkan dari dirinya. Ingin Ayana cekik leher Pulung sampai kehabisan napas.
"Tapi ini aman." Bela Ayana. "Ma—tante beli di depan sana." Jari telunjuknya mengarah ke warung yang berada tepat di depan sanggar. "Lagian ini masih di segel. Tante beli dua tadi. Dan ini nggak habis."
Terlihat keraguan di mata Naomi. Ayana bangga. Pongahnya melambung: bisa memengaruhi sang putri. Faktanya …
"Tetap saja nggak bisa. Itu bakal jadi kebiasaan buruk kalau Omi sering nerima barang atau pemberian orang lain. Jadi, itu bisa tante makan sendiri. Mama …"
Kaki mungil Naomi berlari. Melihat Pulung keluar dari ruang rapat. Yang Ayana perhatikan. Begitu sayangnya Naomi pada Pulung yang bernotaben ibu tiri.