Sejak dulu, Pulung tidak pernah memercayai perihal tahayul maupun mitos dan sejenisnya. Baginya yang terlahir sebagai muslim, sudah sepatutnya percaya pada apa yang telah Allah tuliskan dalam lantunan-lantunan Alquran dan hadist. Jadi, ketika mendapati pagi harinya yang tidak selancar biasanya, tidak serta merta membuatnya percaya bahwa ini ada kaitannya dengan yang semalam dirinya rasa. Tidak ada firasat apapun yang muncul dalam benaknya bahwa pagi ini sungguh membuatnya kaget dengan fakta sang suami yang bertanduk.
Biarlah. Biar semua menjadi rahasia Ilahi. Biar Tuhan yang tentukan ke mana jalan panjang ini membawa kakinya melangkah. Asal pondasi yang Pulung bentengi berdiri kokoh, semuanya akan mudah teratasi. Ya, Pulung percaya itu.
Tapi mendapati sang putri yang diam murung bukan daftar dalam kamus untuk hari-harinya. Miris, begitu saja Pulung sematkan.
Baik. Akan Pulung ceritakan kisah masa kecilnya yang terkenang indah dalam memori.
Berasal dari keluarga pas-pasan, Pulung patut bersyukur berada dalam naungan kasih sayang yang cukup. Dalam kesehariannya, tidak banyak yang bisa Pulung lakukan selain membantu ayah ibunya bercocok tanam di sawah atau menjaga adiknya yang masih bayi. Yang kini telah beranjak remaja berstatus mahasiswa. Ah, Pulung bangga sekali dengan itu.
Oke. Lanjutkan.
Memasuki sekolah dasar, aktivitas Pulung tak banyak berubah kecuali bertambahnya satu kegiatan tari yang wajib dirinya ikuti seusai salat ashar. Di kampungnya, tarian tradisional ini masih sangat banyak di minati. Padahal di luar daerah sudah hampir punah keberadaannya. Entah keberuntungan atau memang tugasnya guna melestarikan. Pulung bisa membawa nama kampungnya sampai di kancah kabupaten. Juara satu tari jaipong. Tahu, seberapa bungahnya Pulung kala itu?
Dulu, memenangkan lomba tari jaipong sudah sangat membuat semua kesenangan lainnya terbayarkan. Maksudnya, Pulung tidak perlu bermain permainan patok lele, petak umpet, atau cublak-cublak suweng karena menari sudah membuatnya bahagia.
Jadi, ya gitu. Kebahagiaan Pulung sederhana sekali. Bahkan dengan mengenang begini saja, puncak bahagia masa kecilnya seperti lewat dalam rekaman kepalanya. Dan ketika menoleh mendapati Omi yang terdiam, Pulung merasa harus lebih bersyukur. Bahwa hidup di masa kecilnya tidak seburuk kelihatannya. Bahwa ternyata, ada yang lebih kekurangan kasih sayang namun berkecukupan dalam materi.
"Mama?"
"Ya sayang?"
Respon Pulung terlampau cepat. Merasa perlu memerhatikan sang putri yang sejak tadi melamun.
"Omi lapar."
Dada Pulung plong. Mendapati Naomi yang merekahkan senyumnya sembari merengek lapar. Lagi, tidak ada hal lain yang mampu membuat Pulung senang. Karena sederhananya kebahagiaan, Pulung tahu harus meraihnya. Pulung juga tahu bahwa menggapai tidak semudah bayangannya, maka menjaga menjadi andalannya.
"Omi mau makan apa? Biar mama masakin."
"Emm …" Terlihat berpikir. Yang makin menggemaskan. "Udang tepung goreng."
"Oke."
Keduanya sama-sama hengkang. Menuju peradaban rumah untuk kembali melaksanakan makan siang. Sebelum Pulung berhenti dan menyodorkan ponselnya. "Omi telepon papa gih. Bilang, buat makan siang di rumah."
Nampaknya masih ada keraguan di raut wajah Naomi. Terbukti dengan tangannya yang berada di tempat semula mengacuhkan perintah Pulung.
"Mama …" Yang Pulung tunggu dengan sabar. "Omi nggak mau ketemu papa."
"Hei. Kenapa?" Pulung tahu fase ini. Keterkejutan akibat tingkah suaminya belum musnah di otak Naomi meski waktu terus beranjak. "Omi sayang papa, kan?" Anggukan dua kali Pulung anggap sebagai jawaban tepat. "Kalau gitu, maafin papa yuk. Mama saja maaf-maafan sama papa. Masa Omi enggak?"
Tidak banyak yang bisa Pulung lakukan selain memberi cara agar Naomi bisa mengalihkan pikiran buruknya dari sikap Ardika yang mengagetkan. Di samping luka baru saja terbentuk, sisi baiknya agar Naomi tidak mendoktrin otaknya untuk membenci papanya sendiri. Itu akan memunculkan masalah baru yang kian rumit.
"Tapi …" Jantung Pulung mendadak tidak selow. Kira-kira firasat apa ini? "Papa jahat sama kita."
Akhirnya … yang Pulung takutkan terkabul. Karena ketika kata keramat itu Naomi ucapkan dan melekat dalam ingatan, peran Pulung berakhir. Sebagai ibu sambung, tidak pantas bagi dirinya untuk mencampuri lebih jauh. Namun di relung hatinya merasakan kegamangan. Jika tidak hari ini menghentikan semua kegilaan yang Ardika ciptakan, akan sampai kapan Naomi terus ketakutan?
"Sayang …" Elusan Pulung memercikkan semu kemerahan tahan tangis di wajah Naomi. Benar. Sepenuhnya Pulung perhatikan ketakutan di sana. "Papa sayang Omi. Mama jamin itu. Mama juga sayang Omi. Itu faktanya. Papa kaya tadi karena lagi capek, banyak kerjaan di kantor. Jadi …"
"Papa itu jahat mama."
Apalagi ini?
Apa yang harus Pulung lakukan kala Naomi terus berkata begitu.
"Omi benci papa. Benci banget."
***
Sudah. Pulung serahkan masalah ini ke Ardika.
Siang itu melalui sambungan nirkabel, Pulung katakan perihal makan siang di rumah yang Ardika sanggupi. Seusai bertanya menu dan tetek bengeknya, pilihan Ardika jatuh pada semur jengkol dan tumis kangkong.
Katanya, "Nggak tahu kenapa pengen makan itu."
"Setuju. Jangan lupa cokelat Omi, oke."
Di seberang sana tanpa Pulung lihat, kondisi jantung Ardika yang kocar-kacir. Tidak tahu kenapa dan apa alasannya, kalau bersangkutan dengan Pulung semuanya terasa nikmat. Semuanya terasa benar. Semuanya seperti sudah benar adanya begini. Tidak perlu ada pengurangan atau penambahan kelebihan yang takut-takut membuat Ardika serakah.
Mengembuskan napas, langsung Ardika bangun dari duduknya. Menyimpan file-file penting ke dalam tas kantornya untuk ia lanjutkan di rumah. Hari ini, ingin Ardika tebus semua salahnya kepada Omi dengan menghabiskan seluruh sisa waktu yang ada.
Hanya jika dan memang Tuhan berkehendak. Sayangnya, semua bayangan indah yang terancang dalam otak tampannya terhempas oleh berdirinya satu perempuan di pintu ruangannya. Hendak marah pada awalnya, namun Ardika urung begitu stik bergaris dua muncul bak lukisan.
Siapa yang tidak tercengang?
Siapa yang menggariskan firasat buruk pada tiap-tiap manusia?
Setidaknya, beri Ardika aba-aba kalau ingin membuat start agar tidak kewalahan di buatnya. Sudah begini, apa yang harus dirinya lakukan?
"Anaknya abang. Aku jamin."
"Nggak mungkin." Histeris. Ardika menggelengkan kepalanya. Mata hitamnya menggelap entah karena apa. "Kamu punya rencana apa?"
Gila saja. Kondisi sudah genting begini masih sempat-sempatnya Ardika tuduhkan hal demikian. Tapi bisa jadi, kan?
Sekarang, siapa orang yang paling bisa menyakiti kita?
Orang terdekat. Benar.
Perempuan ini amatlah dekat dengan Ardika. Jadi, bisa saja memang ada rencana lain yang sedang di susun agar menjadi ancaman bagi Ardika baik di masa sekarang atau mendatang nanti.
"Aku serius abang. Buat apa aku bohong?! Abang yang nyentuh aku malam itu tanpa pengaman—
"Kamu sengaja, kan, hah?! Culas kamu. Berengsek!"
Tidak terima dikatai begitu, Dante meradang. "Abang nggak bisa lakuin ini ke aku. Aku minta tanggungjawab abang—
"Gugurin atau enggak sama sekali."
"Maksudnya?"
"Gugurin Dante. Atau aku bakal bertindak lebih dari yang nggak kamu kira. Gugurin."
Mulut … kenapa dalam sekali ucap, bisa sangat kejam melebihi tajamnya pisau.