Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 30 - Bab 30

Chapter 30 - Bab 30

Siapa bilang Maharaja akan kehilangan akalnya dalam berpikir. Itulah bedanya manusia dengan hewan. Di beri akal tidak hanya untuk berpetualang. Namun juga mengembangkan naluri dalam berburu. Entah apa yang menjadi buruanmu, pastikan untuk selalu membidiknya terlebih dahulu. Sebelum terserobot oleh hewan lain apalagi pemburu lain. Begitu prinsip Maha.

Dalam diamnya usai berdebat dengan Rambe dan berakhir dengan lelaki itu yang hengkang. Peran-peran baru dalam tokoh lainnya Maha munculkan.

Kalau tahu seasik ini menjadi sutradara, mestinya sejak dulu saja dirinya berkiprah di dunia perfilman. Tanpa susah payah berjuang mendapatkan warisan dari Aksara atau mengelola perusahaan yang papanya sediakan.

Hidup memang seindah ini ketika menemukan tali kekang untuk di jadikan rantai pengikat.

"Yakin?"

"Nggak pernah sebelum ini."

Adalah Dante. Yang mengaku sebagai sepupu Pulung Rinjani. Pun perannya di sini amatlah penting. Ditunggangi sakit hati tak berkesudahan, Dante mempunyai kepentingan lain untuk bisa menyingkirkan Pulung dari kehidupan. Persetan soal status keluarga, Dante tahu hukum alam dalam bertahan.

"Bisa ya sekejam ini."

Maha terus mencibir. Dante abai.

"Karena dunia nggak seindah dalam bayangan. Meraup dalam sekali genggaman, why not?"

Oh manusia … itukah caramu meraih kehidupan?

Sejatinya, sejak dulu serakah sudah tersemat dalam diri manusia. Tidak ada manusia yang terus diam tidak menginginkan apa-apa. Buktinya nyata: Dante. Yang dulu Maha anggap sempurna faktanya tak lebih dari bobrok. Perempuan ini mengerikan. Punya taring tersembunyi untuk menyerang.

"Bisa ya begitu." Terus Maha tancapkan kata-kata pemanas guna memancarkan amarah di diri Dante. "Katanya, kalian nggak terpisah."

"Cuma katanya doang. Lo kaya nggak tahu tentang cinta saja."

"Basi."

"Wah." Dante tertawa ngakak. "Jawaban lo terlalu cepat. Mestinya lo sadar, kalau diri lo sedang memuja cinta. Memang kaya begitu cinta. Lo ngelakuin sesuatu yang bahkan nggak bisa lo lakuin. Sayang saja nggak pernah sadar."

"Harus banget begitu?" Maha tidak suka jika dirinya dikatai macam itu. Akui saja pengertian cinta pada dirinya sangatlah buta. Tapi bukan berarti harus di gamblangkan dirinya sedang mencinta. Pada dasarnya, semua komponen di kehidupan membutuhkan cinta sebagai pondasi.

Jika kuat, artinya pondasi sedari awal sudah bagus. Jika roboh di pertengahan, ada guncangan lain yang datang menerpa. Entah berupa gempa maupun rayap-rayap yang menggerogoti. Semuanya memiliki porsi yang tidak bisa di jabarkan dengan kata-kata.

"Lo sih buta tentang cinta. Cuma paham sosor menyosor doang."

Tidak! Salah besar kalau Dante menyimpulkan hal demikian. Namun apalah daya. Kala mulut tak sanggup berkata, Maha acuhkan. Ia hanya fokus pada apa yang menjadi target dan capaiannya.

"Terus gimana?"

"Ribut … mungkin."

"Kedengaran ragu."

Yang mendadak muncul bagai hantu justru Rambe. Lelaki itu memasang muka tak biasa yang menunjukkan emosinya membludak. Entah badai mana yang menerjang suasana hatinya, Maha jenis manusia yang tidak peduli pada sekitar.

Rambe tatapi wajah di depannya bergantian. Mendengus setelah merasa puas, mengembuskan napas kala di sesak menyambang. Hanya dadanya yang bisa Rambe elusi. Berharap umur panjang bersamanya.

Di masa lalu, Rambe tak pernah tahu, karma macam apa yang di tanam orangtuanya sehingga di masa kini, harus dirinya petik hasil yang tak memadai.

Tahu tidak?

Di kelilingi pemeran utama dalam sebuah novel membuat Rambe kesal. Di samping menyulitkan dirinya, ruang geraknya pun terbatas. Semua kegilaan yang para tokoh ciptakan, benar-benar dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan.

Mereka itu apa tidak ingin meledakkan kepala? Rambe saja yang cuma tokoh pembantu bisa merasakan darahnya mendidik. Rencana demi rencana yang mereka keluarkan dan susun di otaknya, serius apa nggak panas?

"Ram … menurut lo, kalau gue punya sesuatu dan gue kasih ke lo semuanya, kira-kira gue punya apa?"

Tolol! Menjawab pertanyaan begitu saja Dante meminta pendapat orang lain. Orang gila pun tahu.

"Nggak ada sisa buat lo. Lagian, lo nggak sepatutnya ngasih sesuatu ke sesama manusia. Mereka itu makhluk serakah. Sama kaya lo dan dia."

Tawa menguar. Maha tidak marah tapi terhibur total. Lawakan Rambe berhasil mengasup energi positif ke moodnya.

"Jawaban lo sudah tepat. Tapi terlalu to the point. Aih, lo nggak bisa diajak bercanda."

"Lo pikir hidup sebercanda itu. Cuma demi perempuan saja lo tega ngehancurin masa depan krucil yang nggak tahu apa-apa—

"Dia bakal balik sama ibunya, by the way."

"Dan lo memang nggak punya moral. Ayana lo percaya."

"Jangan salah." Maha bangkit berdiri. "Ayana nggak kelihatan kaya aslinya. Dia itu jenis psikopat yang ada di zaman corona."

"Memang gila sih. Nggak heran kalian ngebentuk komplotan badut jahat."

Mestinya mereka ingat. Bahwa ketika ingin mendapatkan keduanya dalam satu waktu, akan ada salah satunya yang terlepas. Kapasitas manusia tidak bisa meraup segalanya dalam satu kali dapat. Mereka memang di kenal serakah, tapi juga lupa pada rasa kehilangan.

Hampir lupa, sejatinya manusia hanya ingin percaya pada apa yang ingin mereka percaya. Tidak peduli benar tidaknya ketika membuat tindakan.

Perkara cinta yang sakral pun terlihat main-main di mata mereka. Enggan belajar pada pelajaran yang sudah pernah di dapatnya. Itulah jika bicara dengan manusia bebal.

***

Ardika terus merenung. Mengingat apa-apa saja isi percakapannya dengan Dante yang tak ingin dirinya percayai. Karena setelah mengenal Pulung, hanya tindakan pasti yang ingin Ardika lakukan. Tapi nampaknya Ardika juga lupa. Pada musuh-musuh tak nampak yang selalu menyelimuti. Menyerang di kala waktu terasa pas. Dan berhenti ketika tak berdaya.

Dengan tindakannya itu Ardika bisa memilah mana-mana saja yang patut dirinya pertahankan dan yang harus dirinya singkirkan.

Bodohnya. Dante tak masuk daftar 'singkir'. Seyogyanya dulu Ardika bersikap lebih keras lagi untuk menggali lebih dalam siapa Dante sebenarnya. Jadi… ini pun murni sikapnya yang teledor. Bisa-bisanya membiarkan pengaruh Ayana menyelubungi pikirannya. Jika waktu itu tak ada pertemuan dengan Ayana, tentu acara ranjang takkan terjadi.

Menyesal pun tiada guna. Lantas, bagaimana Ardika bertindak?

"Mas ada masalah?"

Sampai tidak sadar jika tubuhnya sudah berganti tempat. Ada Pulung dan Naomi yang memandang penuh minat. Gugup… Ardika mengakui kesalahannya dan di teliti Pulung sedemikian runcing, getaran takut mendobrak jantungnya.

Oh Pulung … ingin Ardika sematkan maaf. Namun tahu tak berguna. Ketimbang kata maaf, Pulung lebih suka mengalah dan melepaskan. Dan ini membuat Ardika takut kehilangan.

"Sama klien. Agak ribet." Kilahnya. Tentu, itu akan mengundang kebohongan lainnya di belakang. Atau memang sudah sejak awal Ardika tutupi?

"Papa marah sama Omi?"

Wajah semringah Ardika cerah. Putri kecilnya bersuara.

"Sini sayang." Yang langsung nyeruntul masuk dalam pelukan papanya. "Anak papa. Maaf ya."

"Omi juga."

Begitu saja. Bahagia sederhana. Yang sejenak bisa Ardika loloskan syukur.