Manusia itu lucu.
Mereka selalu menyimpan rahasia dan membuat undang-undangnya sendiri untuk bisa menghukum siapa yang salah menurutnya. Undang-undang yang mereka ciptakan hanya berlaku untuk melindungi dirinya sendiri bahkan privasinya.
Tapi bagaimana dengan mereka yang lebih asik mengulik masalah ataupun privasi orang lain?
Aneh kan?
Di saat kita mati-matian menyembunyikan tentang siapa kita, seperti apa keseharian kita, bagaimana kita yang sebenarnya, sebagain orang justru menginvasi bahkan menikmati apa yang telah kita sembunyikan. Seolah privasi tidak bisa menjadi milik pribadi kita seutuhnya. Rasanya miris sekali mendapati pandangan dunia menyoal privasi yang kita tutupi rapat-rapat bisa terungkap secara jelas.
Hanya dengan segepok uang, seolah privasi murni tak benar-benar ada di dunia ini. Layaknya menjual barang loakan semuanya bisa langsung termonitor dengan jelas. Lantas di bumbui dengan macam-macam rasa agar kontaminasi yang di buat meletupkan bom waktu tepat sasaran.
Pada intinya, privasi tidak benar-benar menjadi milik seseorang secara pribadi setelah semuanya menjadi konsumsi publik.
Begitu juga yang sedang di alami Ardika Aksara.
Seyogyanya, telah Ardika simpan rapat-rapat semua masalah yang membawa namanya hingga duduklah sang adik lain ibunya di kursi tamunya. Tak dinyana kehadiran Maharaja di rumahnya dan membawa serta nama sang istri—Pulung—bersalam ria saling tukar kabar.
Ardika baru mengetahui kalau keduanya berkawan lama selama di Jakarta. Entah teman yang sebenar-benarnya teman atau arti lain. Karena bersangkutan dengan Maha, semua kata yang terucap harus terperinci adanya.
Di antara itu semua, satu yang belum Ardika kupas tuntas: mengenal Pulung lebih dalam. Susah ya melibatkan emosi dalam perkara. Ujungnya kelolosan semua.
Menatapi obrolan keduanya, jari Ardika mengetuk sisi sofa. Seolah menghitung detik-detik waktu segera berakhir. Sayangnya sia-sia. Tema yang keduanya ambil terlalu asik sehingga mengabaikan kondisi sekitar. Pulung bahkan—hampir—lupa akan keberadaan sang suami.
"Di sayangkan banget pihak pabrik nggak bisa mertahanin karyawan lama dan terbaik kaya mbak Pulung." Maha berkata seraya melirik eksistensi Ardika.
Tahu tidak, saat ini Maha sangat puas. Pasti Ardika sudah berpikir pada semua kemungkinan akan tindakan Maha ke depannya. Tapi baguslah. Lebih baik begitu. Juga, kadar ketampanan Ardika ketika cemburu kentara tidak luntur. Alis tebalnya menukik tampan beradu dengan kerutan di hidung yang mancung.
"Belum rejeki juga mas."
Aih! Bibir Ardika berdesis. Kenapa panggilan Pulung ke Maha di samakan seperti dirinya. Kesabaran Ardika di kuras.
Dulu … Ardika teringat untuk mengenang. Meski Ayana berkelakuan mengkhianati cintanya, perbedaan yang ada di diri Pulung tidak bisa di perbandingkan. Ayana, memahami semua karakter dirinya tanpa Ardika memberi penjelasan panjang lebar. Mengerti apa yang Ardika suka dan tahu apa yang tidak Ardika suka. Bisa membuat Ardika senang meski dengan foya-foya atau melakukan hal yang tidak biasanya pasangan lainnya lakukan.
Sedang Pulung? Patutkah Ardika labeli perbandingan di sini?
Pulung Rinjani menjadi perempuan sempurna yang Ardika pilih. Sebelum status janda resmi Pulung sandang, semua gerak-geriknya telah Ardika awasi. Semua kegiatan apa-apa saja yang biasa Pulung lakukan dan mantan suaminya lakukan ada dalam daftar genggaman Ardika.
Namun, Pulung terlalu cepat mengambil keputusan ketika menerima Ardika atau Ardika yang terburu menyimpulkan perasaan hatinya?
Entah kenapa ini sangat menganggu. Benarkah ini cemburu?
Di kala Pulung seolah memahami seperti apa Maharaja, justru ada ketidaktahuan Pulung akan Ardika. Mencakup hal apapun. Pulung tidak mengenal dirinya sama sekali.
Tunggu?
Kenapa mendadak sikap Ardika berubah plin-plan?
Kenapa membandingkan Pulung dengan Ayana di masa lalu yang jelas-jelas harus dirinya kubur?
Ini tidak adil sekali bagi Ardika yang baru saja menemukan belahan jiwanya tapi di gagapi perasaan cemburu tak beralasan. Jika hanya seorang Maharaja yang dirinya takutkan menjadi penghalang, bukankah menyingkirkan menjadi cara jitunya?
***
Semua manusia, pasti merasa kesal jika tidak ada yang memercayainya. Walau begitu, yang lebih menyakitkan dari itu semua adalah kebohongan yang di sembunyikan dengan alasan kebaikan.
Benar. Ayana resapi penggalan kalimat di atas yang lekas membawa tungkainya di sini. Di teras rumah sederhana yang mempertontonkan pemandangan hamparan sawah dan gunung-gunung yang menjulang tinggi tersaji dengan apik. Kabut pagi masih turun menutupi. Tapi tak pelik membuat sebagian aktivitas para pengais rejeki urung.
Ayana sesap teh hangatnya yang tersaji. Sembari menanti sang pemilik rumah membuka perbincangan.
"Anak ibu yang di Jakarta itu baik?"
Si ibu yang masih nampak cantik di usia senja mengangguk. Senyum merekah dari kedua bibirnya.
"Baik banget neng. Sejak lulus SMA, cuma dia tumpuan keluarga. Cuma dia yang bapak ibu harapkan. Untuk di bungsu."
"Nggak pernah pulang?" Ayana anggukkan kepalanya setelah ber-oh ria. "Selama Covid-19, PSBB sering di terapkan. Aktivitas pabrik dan pekerja lainnya juga berhenti. Jamnya berkurang."
"Syukurnya punya anak ibu lancar neng. Punya suaminya juga aman."
Tidak tahu saja kejadian aslinya. Ayana geram. Meremas tangannya. Bibirnya sudah ingin berucap yang iya iya. Tapi coba di tahan: belum waktunya.
"Zaman sekarang, jumlah pekerja lelaki lebih sedikit ketimbang perempuan bu. Mestinya putri ibu jangan kerja yang terlalu keras."
Kekehan ibu cantik itu menolehkan kepala Ayana. Merasa ngeri. Memangnya apa yang salah dengan itu.
"Pernikahan, membentuk suatu rumah tangga bukan semata-mata mengikat hubungan saja neng. Maaf kalau ibu lancang. Tapi kerja sama di dalamnya amat di perlukan agar berjalan dengan baik. Kapal yang di kemudikan nahkoda harus bisa seimbang dengan apa yang di bawa dan ke mana tujuannya. Jika salah satu hanya menggantungkan, ibu rasa itu kenapa jalur perceraian lebih di minati."
Sialan!
Begitu saja Ayana tersentil ginjalnya.
Merasa bahwa dirinya pun pelaku kegagalan mengarungi bahtera rumah tangga. Dan tidak siap menyandang status janda.
"Kehidupan desa berbeda dengan kota. Mungkin di kota anggapan apalah itu kata-katanya sudah sangat biasa di dengar. Tapi di sini asing sekali."
Kali ini Ayana setuju.
Jempolnya mengusap cangkir dalam tangannya. Hawa dingin yang berembus berkurang adanya kehangatan dari minuman.
"Tapi Bu …" Ayana diam. Tidak ada keraguan dalam sorot matanya memandang ke depan. Tapi tepat membuat sang lawan bicara ketar-ketir. "Kalau ternyata—semisal—anak ibu juga punya nasib yang sama kaya di berita itu, ibu bakal gimana? Sedang dia tulang punggung keluarga. Atau kalau semisal dia sudah menjanda dan menjadi perebut suami orang. Itu berarti… dia ngasih makan keluarga ini pakai uang haram, kan?"
Telak sudah. Tidak ada jawaban yang keluar selain pandangan hampa ke depan. Namun hanya hitungan detik sebelum tawa dan jawaban percaya diri menyentak kalbu Ayana. Jawabnya:
"Bukan berarti perceraian yang dilaluinya berkesan buruk atau alasan merebut suami orang anggapan yang di betulkan. Seorang suami nggak bakal jajan di luar atau mencari kehangatan dari perempuan lain jika istrinya becus mengurus rumah tangganya."
Kenapa Ayana merasa kalah, ya?