Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 28 - Bab 28

Chapter 28 - Bab 28

Pertama kalinya menginjak usia pernikahan ke dua bulan, perselisihan antara Ardika dan Pulung terjadi.

Pagi itu, di lewati seperti biasa. Pulung siapkan air hangat untuk suaminya bebersih. Pulung sediakan kemeja serta dasi yang senada warna agar cocok di padu padankan. Tak lupa secangkir kopi tergeletak di samping nakas ranjang. Senyum Ardika ketika kelopak matanya terbuka mengiring menawan.

Selesai dengan urusan suami, Pulung beralih ke putrinya. Benar, Pulung sudah menganggap begitu. Tidak ada istilah anak sambung tapi entah dengan Naomi ketika beranjak dewasa nanti. Apakah masih akan menganggap mama murni yang sebenar-benarnya dia ketahui atau berubah arti. Pulung enggan memusingkan hal itu. Baginya, hidup seperti ini sudah lebih dari cukup.

Baik. Kita skip bagian itu.

Putrinya selalu di sediakan susu. Itu baik untuk tulang. Jadi Pulung beri perhatian lebih pada pertumbuhan sang putri. Termasuk konsumsi makanan empat sehat lima sempurna. Sepintar Pulung mengelola agar Naomi tidak bosan terutama sayuran.

"Mama …" cicitnya bersuara. "Mau ganti boleh?"

Ada aura suram di wajah Naomi. Pun begitu, Pulung angguki. Namun tidak dengan respon lain yang duduk di ujung memimpin—Ardika. Nampaknya, suasana buruk tengah melingkupi hatinya. Terbukti dengan sendok garpu yang terjatuh nyaring memekakkan rungu.

"Kamu kebiasaan banget!"

Baru kali ini, catat. Ini sejarah pertama dalam rumah tangga Ardika dan Pulung diliputi kegelapan.

Yang Pulung genggam tangan sang suami seraya menggelengkan kepala.

"Mama diam!" Ujungnya Pulung yang di bentak. "Omi?! Lihat papa!"

Kepala Naomi terangkat. Kristal-kristal bening menumpuk di pelupuk mata siap terjatuh. Menunggu komando satu kali ucap maka akan luruh.

"Kamu sudah besar. Paham?!" Ardika menyesal memanjakan sang putri. Memberi akses lebih untuk memilih yang di salah gunakan.

"Mas … sudah." Terus Pulung tengahi. Kaget? Iya. Tentu. Di bentak sebegitu keras meninggalkan kesan tersendiri di relung hati.

"Jangan belain dia ma! Makin ngelunjak."

"Ini cuma makanan. Bisa di ganti. Waktunya nggak keburu." Bukan bermaksud membantah, Pulung sadar posisi. Tidak bisa diam saja kala anak dan suaminya berseteru. Lagi pula, itu tidak baik untuk kesehatan mental Naomi.

Bagi Pulung, sudah cukup memberi Naomi kenangan buruk perihal masa kecilnya yang tidak di dampingi sosok ibu. Jangan sampai luka lama kembali terkuar hanya karena masalah sepele ini. Atau penilaian tentang ibu tiri kejam berlaku di sini. Tidak! Pulung tidak mau jika dirinya harus jauh dari Naomi.

"Kamu bilang 'cuma'?!" Ardika sudah tidak selow sekali. Urat-urat lehernya terlihat. Emosinya memuncak. Yang tentu sulit di cegah. "Punya hak apa kamu? Dia anakku. Aku yang paling tahu soal ngedidik dia. Aku yang bareng sama dia sejak masih bayi. Aku … Aku yang paling punya kewajiban di sini."

Ada yang sakit, tapi tidak berdarah. Ada luka, namun kasat mata. Ada bengkak menganga, namun tak nampak.

Detik itu juga, Pulung bungkam. Hengkang membawa Naomi dalam pelukan. Menatap nanar mata sang suami dan kecewa tak berkesudahan.

Mengapa?

Itu saja tanya Pulung.

Mengapa?

Tentu. Tidak ada yang tidak kaget untuk satu sikap Ardika yang tiba-tiba begini. Bahkan Omi sudah menangis dalam ringsekan Pulung. Mengabaikan bagian riasan wajahnya yang tidak berbentuk lagi lantaran air yang mengucur dari matanya.

Pandangan Pulung menerawang. Ingin menyesal, takkan ada arti. Jadi, yang bisa Pulung garis bawahi di sini hanyalah anggapan sebagai pelajaran dalam memulai awal yang baru. Atau katakanlah, mungkin suaminya sedang banyak pekerjaan sehingga satu kata meluncur saja bisa memengaruhi emosinya.

Tapi haruskah?

Di depan putrinya sendiri, percikan amarah tak bisa Ardika hindari hingga sesenggukan yang di rungunya. Rasanya… ini pasti sangat salah. Ardika tercenung. Diam dalam membalas tatapan Pulung yang terlihat teduh.

Seharusnya, jika mau belajar dari yang lalu, setelah kehilangan hal berharga dari dirinya, Ardika menyadari bahwa yang saat ini di milikinya sangatlah berharga. Bahwa hidupnya juga tidak begitu buruk. Terlebih setelah kemarin memberikan perbandingan terhadap Pulung. Yang Ardika nilai jauh berbeda dari Ayana.

Ardika pasti sudah gila bertindak demikian.

"Pu—"

"Kami berangkat mas." Pamit Pulung. Masih menyalami tangan Ardika yang sukses membuat lelaki itu kaku maksimal. "Makan siang nanti mau di antar atau pulang ke rumah."

Begini saja sudah lebih dari cukup. Ardika harus memahami porsi kebahagiaan yang Tuhan kirimkan. Dengan berbeda perempuan, meski tidak mengetahui apa-apa saja yang dirinya sukai dan tidak sukai, belajar menerima jauh lebih baik. Atau setidaknya saling mengingatkan. Itu di awali sebagai kunci langgeng dalam hubungan.

Sayang, sikap Ardika tidak mencerminkan masa lalu yang buruk untuk beranjak ke arah lebih baik.

"Omi marah sama papa? Maaf." Tubuh Ardika berjongkok. Mensejajarkan dengan sang putri yang menenggelamkan wajahnya di perut Pulung. "Omi mau minta sesuatu?" Tak ada jawaban.

Serius, Ardika kecewa dengan dirinya sendiri. Yang sudah bersikap lepas kendali di hadapan sang putri. Mestinya tidak Ardika ciptakan luka baru untuk Omi yang rentan akan trauma. Masa pertumbuhannya sudah cukup buruk dan perkembangannya harus Ardika halangi dengan ini.

"Nanti biar aku yang ngomong. Maaf kalau aku terlalu sok tahu dan ikut campur."

Gelengan Ardika menyerotkan raut sesal. "Mas yang kelepasan. Maaf … itu pasti nyakitin banget."

Dengan begini, awal yang baru akan segera di mulai.

***

Maharaja Askara sedang di kuras total emosinya. Satu macan betina tidak bisa dirinya kendalikan. Entah apa yang di cari dan di maui Ayana hingga melangkah sejauh itu. Satu yang pasti, itu semua di luar kendali rencananya. Itu artinya, Ayana bermain-main api dengan dirinya.

Ini bisa gawat jika Ayana bertindak seperti yang ada dalam bayangan Maha. Perempuan itu terlampau licik dalam melaksanakan aksinya. Mengejar ambisi yang telah di leburkannya sendiri dengan kelakuan minusnya.

Manusia memang sekonyol itu untuk urusan pribadinya. Tidak mau belajar apalagi menyadari kesalahannya.

"Gimana?"

Pertanyaan itu lebih pantas jika Maha yang melemparkan. Bukan malah Rambe yang bernotaben sahabat Ayana.

"Kenapa nggak lo nikahi saja sih itu janda?!" Ayana maksudnya.

"Aduh lambe!" Rambe tepuki mulut Maha sampai si empu kesal dan misuh-misuh. "Di jaga atuh. Di filter juga mulutnya sebelum ngomong. Jangan asal jeplak. Kalau ada yang dengar bisa salah paham."

"Salah paham?" beo Maha. "Bagian mana yang salah paham kalau jelas-jelas lo punya rasa sama dia."

Kan, kan mulai. Maha suka sedahsyat itu dalam berucap. Membuat si lawan bicara kicep total. Rasanya menyesal menginjakkan kaki di gedung kantor Maha jika hanya untuk di nista.

"Kalian bertiga nggak bakal ada kelarnya, gue jamin."

"Lo pikir?" Maha sinis dalam berucap. Itu keahliannya. Matanya meruncing memfokuskan satu titik dalam ingatannya.

"Gila, sih kalau adik kakak berebut perempuan yang sama lagi. Nggak cukup sekali apa, ya."

Rambe mendengus dan hendak beranjak sebelum jawaban Maha menghentikan. "Gue kenal Pulung sudah lama sebelum Ardika. Menurut lo gimana?"