Seringaian Ayana nampak mengerikan. Es krim di tangannya lebur oleh remasannya. Sedang matanya menghujam penuh kilat benci dan dendam di satu objek; Pulung.
Kini, tidak ada lagi cara ataupun ampun untuk Ayana bertindak. Ia akan berlaku bengis pada Pulung yang sudah merebut atensi putrinya. Bahkan sekadar memberi es krim saja dirinya mendapat penolakan. Bumbungan dendam memuncak. Ayana sangsi tidak berlaku khilaf.
Harus ada pertumpahan darah jika itu di perlukan. Dan kalau tidak bisa, apa yang menjadi miliknya telah di rebut, maka Ayana akan getol mengekori Naomi. Memisahkan—memengaruhi—sang putri untuk membenci Pulung.
Lihat dan tunggu!
Semua perlakuan Pulung, membangunkan sisi kejam di diri Ayana. Perlahan dan rasakan. Lalu nikmati kesakitannya.
"Omi mau es krim."
Rungu Ayana tidak tertutup. Tungkainya seratus persen tertancap di dasar bumi. Mendengar rengekan putrinya yang menginginkan es krim sedang beberapa menit yang lalu menolak pemberiannya.
"Kita buat di rumah mau?"
Dan vokal lembut lainnya kian membunuh persendian di kaki Ayana.
"Mauuu!"
Putrinya segembira itu. Seolah bahagia selalu di curahkan. Lantas, apa yang salah dari dirinya?
Penolakan Naomi sungguh menyakitkan.
Bukankah dunia di ciptakan oleh dua ruang hati untuk membentuk sebuah keluarga?
Jika demikian, Ayana tahu apa yang harus dirinya lakukan. Dan sasaran mana yang harus dirinya bidikkan.
Tapi … kepala Ayana tertoleh ke belakang. Menatapi punggung Naomi dengan tangan yang mengerat dalam genggaman Pulung. Ayana sepertinya lupa. Jika dulu—dulu sekali—seandainya dirinya mau dan tidak berlaku egois. Ternyata Naomi Aksara jika dirinya perlakukan seperti permata, dia bisa bersinar terang seperti sekarang. Yang Ayana serapahkan dalam hati bahwa ingin mencintai Naomi seumur hidup juga dicintai seumur hidup. Namun Ayana sungguh egois kala itu. Menggunakan kesibukannya sebagai alasan untuk menantang dirinya sendiri. Ayana lupa. Benar-benar lupa. Bukannya membuat pilihan malah mencari jawaban. Yang mana telah ada di depan matanya: putrinya. Keputusan penuh sesal yang di ambilnya.
Ternyata begini rasanya: meninggalkan di saat masih memiliki perasaan.
Dan Ayana kesulitan menerima kenyataan jika separuh hatinya masih menaruh harap pada Ardika.
Kalau di pikir-pikir, Ayana sangat menyepelekan sebuah kesempatan kehidupan. Layaknya hidup dan mati yang tidak berarti baginya hanya karena tidak memiliki harapan untuk bergantung.
Ngomong-ngomong, saking asiknya dengan pikirannya yang melalang buana. Tubuhnya sudah tiba di ruangan Maharaja. Yang orangnya sedang berkutat dengan laptop, sesekali alisnya terangkat naik. Ganteng, sih. Nggak kalah panasnya dari Ardika. Yang dulu tubuh atletisnya pernah Ayana gerepe dan nikmati.
Begitu saja sudah nikmat dalam otak Ayana.
Bicara-bicara juga, lingkaran setan yang Ayana ciptakan tidak pernah bisa terputus. Selamanya akan terus berlanjut. Lantaran dendam yang tak berkesudahan entah siapa yang memulai. Maha yang ambisius atau Ayana yang tidak terima di ceraikan. Atau malah menyesal. Tidak tahu pastinya. Pokoknya persoalan masa lalu tidak secepat memutus hubungan dengan jalan cerai.
Terlebih lewat penyelesaian yang tidak adil baginya. Ayana Kalias pasti sudah gila mengucapkan kalimat ini. Jelas-jelas itu semua salahnya.
Tapi, membawa serta nama Maharaja Askara ke dalam rencananya bukan suatu penyesalan. Melainkan jalan keluar terbaik. Karena lelaki yang masih menduduki sisi penasaran Ayana adalah tipikal pemburu yang enggan menyerah. Cara Maha bertahan sangat apik. Tentu hasil didikan Aksara tidak kaleng-kaleng. Dan agar misinya berjalan lancar—
"Di dunia ini, seseorang harus dievaluasi murni berdasarkan kualitas kerja, bukan hal lainnya."
Ayana anggap dirinya masuk ke kandang yang benar. Belum terutarakan niatnya, Maha sudah memberinya wejangan penting.
"Aku ingat."
Angguk-angguk kepala Maha kian melambungkan angan Ayana bahwa ini akan berhasil.
"Tapi …" Yang paling Ayana benci dari cara Maha menyampaikan sesuatu. Selalu ada kalimat menggantung yang membuat setengah dadanya berdebar hebat. "Dunia ini bukan punya kamu saja. Bukan fokus kepadamu saja. Ada sisi lain dari dunia yang harus kamu lihat. Juga … Aku pernah merasakan sakit di tinggalkan ketika perasaan itu mulai tumbuh."
Sialan!
Ucapan Maha mengenai tepat di relung Ayana. Tanpa bertanya apalagi membalas siapa yang Maha maksud, Ayana tahu. Siapa pelaku di balik semua ini. Lebih berengsek lagi karena apa yang Ayana pikirkan selama perjalanan kini di balikkan oleh Maha.
"Apa kita berjodoh?" Ketika terkekeh, Ayana akan mempertontonkan sisi bengisnya. Sekali pun tertutupi kecantikannya yang natural. Di umur menginjak 36 tahun, Ayana pandai merawat diri. "Quote kita sama."
"Mungkin," balas Maha cepat. Tangannya menggulir layar tablet. Bisa bayangkan siapapun akan tersinggung dengan sikapnya. Sedang Ayana masa bodo. "Jadi apa rencananya?"
To the point. Maha tidak bertele-tele. Ayana suka. Terlebih dulu tubuhnya maju ke depan. Berada di hadapan Maha dan tersenyum manis.
"Kamu punya?"
"Oh?" Tunjuk Maha pada dirinya sendiri. Ayana anggukkan kepalanya semangat. "Selalu punya. Selain …"
"Kasih tahu, buru!"
Alis Maha berkerut tidak suka. Terkesan sekali Ayana memberinya perintah untuk dirinya membeberkan apa rencananya.
"Pertama, kamu pasti lupa?" Tunggu. Kenapa rasanya aneh sekali 'ber-aku-kamu' dengan Maharaja. Yang bernotaben lelaki menyebalkan. Ayana berdecak. "Perempuan ini!"
"Ya apa?!" Bentak Ayana diikuti desisan.
"Jangan tanya apa rencananya—"
"Kenapa?"
"Itu melanggar aturan."
"Hilih!"
"Oke selesai."
"Ya?"
"Keluar sana."
Bola mata Ayana berputar malas. Oke, Maharaja mungkin tidak suka bertele-tele. Tapi sikap bossynya sungguh memuakkan. Perintahnya enggan di bantah. Sekadar memberi masukan pun takkan di terima. Lelaki itu berkepala banteng.
"Deal. Jadi apa?" Ayana mengalah. Ketimbang semua rencananya tidak berjalan sesuai maunya, lebih baik mendengarkan apa yang Maha sampaikan.
"Kedua, karena kita sama-sama di ranah yang satu tujuan. Kamu pasti tahu letak sisi kelemahan Ardika."
Kepala cantik Ayana terlihat berpikir. Galian ingatan di otaknya terus merangsang kejadian dan hal-hal apa saja yang sekiranya membantu.
"Ketemu."
"Oke. Pergunakan itu sebagai senjata."
"Kenapa harus itu?"
"Ingat peraturan pertama?" Ayana mendengus. "Kita satu server." Cibiran Ayana mengesankan. Maha harus ekstra sabar menghadapi kekonyolan Ayana atas sikapnya yang plin-plan. "Sisanya aku yang urus. Fokus pada Ardika."
"Naomi?"
Maha terlihat berpikir. Menimang apakah perlu melibatkan Naomi yang tetap saja keponakannya.
"Jangan gila. Naomi mungkin saja sudah memiliki trauma di masa kecil. Yang tertutupi saat ini."
"Dia baik-baik saja. Dan aku nggak baik-baik saja ketika Naomi lebih memilih perempuan sialan itu—"
"Pulung namanya. Koreksi tolong."
"Persetan! Apapun, siapapun namanya aku nggak peduli. Aku mau Naomi."
"Kamu nggak belajar dari masa lalu, ya? Mau ada Naomi lain di kemudian hari yang nggak bakal bisa manggil kamu mama?"
Apa maksudnya?
Kenapa Maha berbalik mengancamnya?
Apakah sebuah kesalahan Ayana meminta hakya terhadap Naomi?
Ayana Kalias selalu menjadi ibu kandungnya. Sejak dulu bahkan detik ini.