Sebelum bertindak, ada baiknya pikirkan lagi keputusan apa yang hendak di ambil. Pikirkan lagi, apakah menguntungkan atau malah merugikan. Pikirkan lagi, sebanyak apa orang yang menjadi bidik sasaranmu adalah yang paling tepat. Atau akan meninggalkan sesal di ujung dadamu. Lagi pula, istilah sederhananya begini: ketika kamu meninggalkan seseorang, bisakah seseorang yang menjadi pilihanmu mengerti, memahami bahkan mencintaimu selayaknya sebelum ini? Mampu berkorban sebanyak yang bisa dilakukan seperti sebelumnya. Ingatlah, tidak mudah membuka diri kembali dan belum tentu ada yang bisa memahami kita seperti yang sebelumnya.
Ardika juga berpikir tentang itu.
Pagi ini setelah mengantar anak dan istri ke sanggar tari, pekerjaan yang longgar menyita lamunan. Benaknya menari-nari pada apa yang putrinya sampaikan. Sehingga Ardika menebak-nebak: mungkinkah?
Pasti tidak pasti. Jika kakinya sudah menginjak di area rumahnya artinya ucapan Maha ada benarnya. Dan ketika Ardika temukan faktanya nanti—99% kebenaran—ada tindakan kejam yang harus Ardika lakukan.
Pertama, luka.
Kedua, terluka.
Ketiga, melupa.
Jelas belum bisa Ardika terima.
Luka yang tertinggal sudah lima tahun berselang tetap bercokol. Terluka atas perbuatan pengkhianatan terus melambai. Dan logika untuk melupa belum menyita sebagian kewarasannya. Sejauh ini, Ardika terus teringat.
Lantas, bagaimana Pulung di posisi hidupnya?
Ternyata Ardika kecolongan. Melupakan judul untuk berpikir sekali lagi. Malah mengambil tindakan gegabah. Tanpa sadar, Pulung menjadi pelarian Ardika. Lari dari kenyataan luka. Lari dari kenyataan terluka. Dan lari dari kenyataan melupa. Ardika sepengecut itu. Tidak ada beda dengan Maharaja.
Yang orangnya sudah berdiri di depan matanya. Menampilkan seringai—sialnya—ganteng maksimal. Kenapa ya yang Ardika benci malah terlihat sangat sayang untuk dirinya lepaskan. Semakin di benci semakin susah di hempaskan.
Serius, Maha memiliki sejuta pesona yang sulit di bantah. Usaha yang Maha kembangkan tidak pernah berkhianat. Buktinya, segala modal untuk berdirinya perusahaan dari papanya berjalan lancar tanpa hambatan. Maha unggul dalam pemasaran. Dan semua memihak di jalan Maha. Bukan berarti Ardika iri justru terselip rasa bangga yang diam-diam dirinya tepis. Tapi tidak berhasil.
"Abang bisa jatuh cinta ke aku. Ngelihatinnya biasa saja dong. Mau Pulung jadi janda kedua kalinya?" ejek Maha mencomot bingkisan cokelat di atas meja tamu Ardika.
Sedang yang diejek mendengkus. Aslinya mati-matian nahan amarah. Kepalan tangannya tersembunyi. Merah padam di wajahnya tercetak jelas.
"Risiko. Punya saingan." Itulah Ardika. Yang selalu kalem dan tenang menghadapi musuh—kesayangannya.
"Betul ya buat aku." Maha dengan segala semangatnya yang membara. "Terlepas dari masa lalunya …" Maha berucap—bercerita lebih tepatnya. "Papa kita punya alasan di dalamnya."
Apa pun judulnya, jika tema keluarga sudah diangkat ke permukaan, sisi sensitif selalu mengiringi. Diri Ardika selalu tidak terima namun di lain relung hatinya hendak meminta waktu berhenti atau kembali ke masa di mana papanya membuat kesalahan … tetap tidak bisa. Sejatinya, waktu terus bergerak maju. Hanya kita yang menentukan. Ingin mengejar atau stay di tempat. Pikirkan lagi dalam bertindak.
"Karena lo." Setelah terdiam cukup lama. Kalimat itu yang berputar di otaknya. Sepatutnya tidak begitu cara main Ardika. Dirinya sudah 35 tahun. Punya kehidupan yang tidak terisi dengan penyesalan namun juga putrinya yang terus tumbuh. Bayangkan jika Ardika melakukan kesalahan seperti papanya. Bukankah nilainya sama? Apa kabar dengan Naomi di masa depan.
"Abang harus melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Jangan karena satu kesalahan, luruh semua pengorbanannya."
"Tahu apa lo soal pengorbanan?" Sarkas Ardika kentara sekali. Rungu manusia lain bisa menitihkan kristal bening dari kedua matanya. "Semisal nggak ada lo, dunia ini lebih baik." Tahu apa artinya?
Kehadiran Maharaja Askara tidak diinginkan. Tapi Tuhan pasti punya rencana lain di balik berdirinya di sini, di dunia yang fana dan kejam. Bukti kuatnya adalah tentang siapa ibunya dan bagaimana rupanya masih menjadi PR untuk Maha kebut selagi tubuhnya masih bugar.
"Pikirkan lagi bang. Jangan sampai keputusan abang jadi musuh sendiri."
Berbicara dengan orang keras kepala susah minta ampun. Ngomong-ngomong soal tuturan Maha di atas, Ardika tidak lagi akur dengan papanya. Makanya Maha bilang untuk memikirkan lagi. Jangan sampai menyesalnya seumur hidup. Syukur kalau yang di benci bisa berumur panjang, kalau mendadak besok mati? Siapa yang tahu, kan?
Jodoh, maut, rejeki semua dalam genggaman Tuhan. Sebelum kesempatan melayang, ada baiknya memperbaiki hubungan. Maha, walaupun petakilan, jiwa baik selalu bersamanya. Mungkin itu salah satu kelebihan mamanya.
"Lo kaya yang paling tahu saja. Berasa hidup lo paling bagus saja. Dunia nggak cuma berisi tentang sesal."
Nampaknya Ardika belum sepenuhnya mengenal dirinya sendiri. Nyatanya masih di sangkal blak-blakan soal sesalnya yang bercokol. Aih, Maha buang-buang tenaga kalau begini ceritanya.
"Aku tahu bang. Tahu banget." Kaca di pelupuk mata Maha hampir meluruh. Yang dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi pertumpahan ialah memencet jempol kanannya kuat-kuat. Sekali pun sakit, desakan sesak di dadanya bergemuruh. "Aku kehilangan mama—enggak! Aku nggak tahu siapa mama aku dari kecil. Dari lahir mungkin. Itu rasanya nano-nano bang. Jadi aku milih nggak mau kehilangan kedua kalinya: abang sama papa."
"Kasihan ya jadi lo." Ejekan Ardika tidak main-main. Diikuti seringai kemenangan yang sejujurnya Maha benci. Sama dengan Ardika, Maha pun mengaliri darah enggan di remehkan. "Sudah jadi anak haram—enggak di harapkan lah istilah gaulnya. Nggak ada mama yang ngerawat. Cuma di kasih makan, tempat tinggal bagus, sekolah beken, duwit berlimpah. Tapi, hei gimana rasanya kekurangan kasih sayang? Itu yang anak gue rasain ketika lo main gila sama ibunya."
"Ayana yang mulai."
"Dan lo setuju."
"Aku butuh perhatian abang."
Gebrakan meja tak terelakkan. Bahkan sekretaris yang sudah mengetuk dan membuka pintu urung. Ardika berdesis layaknya ular. Siap menerjang mangsa.
"Tindakan lo nggak mencerminkan sebagai saudara."
"Abang pernah nganggap aku keluarga memangnya?" Pertanyaannya Maha kembalikan. Pernahkah? Jika seusai tahu siapa Maha bagi Ardika, sikap lelaki itu langsung memusuhi. "Abang ngibarin bendera perang waktu itu. Aku yang suka ikutin abang ke mana pun, abang tolak. Abang maki-maki aku. Abang bikin aku di bully semasa sekolah dasar. Aku nggak punya teman. Aku nggak punya apa yang mereka punya atau apa yang abang punya. Abang bisa rasain tidur bareng papa. Makan masakan mama abang. Rasain belanja bareng dan memakai apa yang di pilihkan orang tua. Sedang aku? Aku harus cukup puas dengan barang kiriman papa. Yang harganya selangit tapi nggak ada arti pas aku pakai. Rasanya … nggak bisa aku jelasin dengan kata-kata bang."
Harus ada yang belajar dari sebuah usaha untuk bisa terwujud dengan baik.