Mulut Mahar kejam.
Berucap tanpa tulang, lidahnya lancar mengumpat. Membuat Ayana bersitatap tegang. Perempuan setengah mabuk itu berdecih. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya merah padam. Tapi demikian, perlakuan Mahar demi kebaikan. Bosan—boleh saya di katakan begitu. Siapa pun orangnya di keluhkan pada kubangan masa lalu akan merasa kenyang.
Namun Ayana seolah mendoktrin diri bahwa masa lalunya akan selalu buruk sehingga masa depannya yang putih telah tercemar pekatnya hitam. Entah bagaimana lagi taktik Mahar agar perempuan setengah gilanya kembali waras. Ke jalur yang semestinya paling tidak seperempat otaknya.
Mahar pun punya sisi lain di dirinya yang tidak tersentuh. Meski terlihat welcome pada semua orang. Mahar adalah lelaki pemendam. Sudah tentu bisa di simpulkan seperti apa perjalanan hidupnya. Di lalui sepi dan hampa.
Walau begitu, Mahar percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Meskipun di setiap harinya—ketika kedua matanya terbuka—ia tahu sesuatu yang buruk terjadi. Tapi tidak ada salahnya Mahar mengawali hari dengan berharap; hari ini akan terjadi sesuatu yang baik dan berakhir dengan baik-baik saja.
Napas Mahar berembus. Menatap Ayana yang menunduk dengan rambut singanya. Sesekali tawa tipis diikuti suara bergumam terdengar. Sudah gila perempuan ini. Gila karena ulahnya sendiri. Gila karena ambisinya yang tidak normal. Gila karena bertindak kejam pada keluarganya. Gila karena merasa bahwa hidupnya sudah keren bisa melakukan perselingkuhan. Dengan adik ipar tiri suaminya.
"Pernah lo tanya sama diri sendiri Ay?" Mahar pasti ketularan gila. Orang mabuk ia ajak bicara serius. "Apa lo baik-baik saja hari ini? Untuk besok, apa pernah lo memastikan lo harus benar-benar nggak apa-apa?" Jeda sejenak Mahar awangkan pada dunia fana ini jika hidup tidak sesulit perjalanannya.
Asal bisa mensyukuri apa yang sudah Tuhan beri. Kenikmatan yang di tambah berkali-kali lipat penggandaannya.
"Terus yang bikin lo nggak apa-apa pada dunia kejam ini apa?" Ayana mengibaskan tangannya pertanda merespon ucapan Mahar.
"Lo tahu apa soal kehidupan?" Jangan salah. Mahar tahu tentang kehidupan yang sesungguhnya. "Lo meneruskan kekayaan orangtua lo. Lo mapan. Lo mengolah semua kelab mewah. Lo punya kehidupan yang sempurna."
Ya. Sempurna dalam penglihatan Ayana tentang pangkat dan uang. Sedang cinta dan keluarga, bagi Ayana hanyalah faktor pendukung. Uang lebih penting. Pangkat lebih di utamakan. Padahal jika Ayana memahami semua puncak dalam menggapai hal tersebut, peran cinta dan keluarga menopang di belakangnya.
"Orang patah hati memang gila dari aslinya."
"Gue gila bukan patah hati."
"Karena Ardika. Atau Maha?"
Jari Ayana bergerak ke kanan dan ke kiri. Menolak tebakan Mahar serupa tanya. "Bukan mereka tapi anak gue."
Decihan Mahar terdengar mengolok. Sudah tahu dunia ini kejam dan membuat kewarasan menghilang. Kenapa justru anak yang tidak di harapkan malah dijadikan alasan untuk menggila.
"Please lah. Jangan ngadi-ngadi."
Baik. Mahar ingin menceritakan kisah ini saja. Agar lega himpitan dadanya.
Dulu, Ayana Kalias menjadi perempuan yang begitu Mahar puja. Tidak peduli secuek apa Ayana, Mahar menjaga hubungannya. Agar suatu hari nanti tidak ada renggang antara keduanya. Mahar sayangi Ayana selayaknya pasangan. Menahan perih kerikil yang menelusup ke pori-porinya, tertutupi senyum menawannya. Mahar berteguh hati ketika Ayana memilih yang lain. Berada di sisi Ayana sudah pilihan tepat bagi Mahar. Meski kejam.
Sayangnya, pepatah kehidupan mencantumkan nasihat: lelaki yang mencintai perempuannya tapi tidak bisa memberinya percaya, perasaan perempuan akan goyah. Mahar kalah di bagian ini. Karena dulu belum semeriah ini kehidupannya sedang Ayana berada di jalannya. Mahar takut tidak bisa mengimbanginya.
"Kalau semisal …" Ayana cegukan. Winenya bekerja dengan baik. Kedua mata cantiknya sayu total. "Dulu lo yang ngajak gue nikah, pas gue selingkuhi bakal ninggalin gue nggak?"
Tema random yang Ayana ajukan bukan semata pengaruh alkohol. Ini sudah sering terjadi sejak awal perceraian Ayana jalani. Perempuan itu berpura-pura kuat di luar, tegar menebar senyum namun sepi menghadapi malamnya. Mahar hadir di sana.
"Ayo nikah. Biar tahu jawabannya."
"Ngaco!" Kedua tangan Ayana melibas habis cetakan wajah Mahar. Kepalanya di coba dengan benar untuk berdiri. "Lo punya perasaan sama gue tapi nggak pernah lo ungkapin. Lo pikir gue nggak tahu?"
"Hm. Kenapa nggak pernah milih gue?"
"Gue?" Jari Ayana menunjuk dirinya sendiri. "Salah gue kalau gitu? Kalau beneran lo ngajak gue nikah, kita ending."
***
Selarut ini pikiran Pulung masih melayang. Di sampingnya, Ardika terlelap dengan dengkuran halus. Wajahnya terlukis gurat lelah. Sesekali keningnya berkerut samar yang lekas Pulung usap sayang.
Obrolan siang suaminya bersama lelaki yang tak Pulung kenal menyita benaknya. Pun dengan rasa penasaran tinggi akan jawaban Ardika.
Apakah Ardika bangga memiliki dirinya?
Apakah Ardika bahagia memilih dirinya?
Apakah Ardika baik-baik saja bersama dengan dirinya?
Atau, apakah tidak merusak citra nama Ardika sedang status janda Pulung sandang?
Rasanya tidak terlalu etis. Pertemuan singkat membawa sejuta rasa di hatinya yang bertabur bahagia.
Bukan bermaksud tidak bersyukur, Pulung takut jatuh di lubang yang sama. Pulung takut menapaki pijakan yang sama. Pulung takut dalam segala hal ketika bergerak untuk memulai.
Tapi, Ardika tidak begitu, kan?
Suaminya itu baik dan selalu ingin menjaganya?
Bisa menjaga hatinya. Bisa menjaga dirinya. Bisa menjaga sucinya pernikahan yang terjalin belum lama ini.
Kenapa pernikahan sangat memiliki makna yang mendalam?
"Mamaa!"
Bergegas bangun, Pulung meloncat dari tempat tidurnya. Tidak peduli jika pergerakan tubuhnya yang kasar membangunkan sang suami. Teriakan Naomi di luar pintu kamarnya sangat nyaring. Sekarang diiringi gedoran.
"Mama takut." Ringseknya dalam pelukan Pulung. Di sertai derai tangis meraung. "Takut mama."
Tangan Pulung membawa Naomi dalam pelukan. Menenangkan tanpa berucap sepatah kata pun. Percuma, putrinya akan semakin menangis kala di tanya.
"Mama di sini sayang. Mama di sini."
"Mau bobok sama mama."
"Ada apa?"
"Papa takut."
Kedua tangan Naomi menggapai-gapai. Memberi kode untuk Ardika menggendongnya.
"Anak papa kenapa?"
Lain orangtua perempuan, lain lagi orangtua lelaki. Anggap saja Ardika memahami Naomi sepenuhnya.
"Takut papa." Ulangnya dengan derai air mata. "Mau bobok sama mama."
Mata Ardika melihat Pulung. Gelengan kepala Pulung sudah cukup membuat lelaki beranak satu itu paham.
"Minum dulu sayang." Gelas Pulung berpindah tempat dan Ardika minumkan ke putrinya. "Sekarang, sini sama mama. Anak mama sayang."
Tidak tahu mengapa rasa hangat menjalari dada Ardika. Sudah lama sekali sejak Ardika fokus membesarkan Naomi. Sapaan untuk cintanya bersambut. Pulung benar-benar kandidat tepat untuk masa depannya. Menggantungkan harapan terbaik bahwa perempuan ini jodohnya. Satu-satunya untuk Ardika singgahi dari kejamnya dunia yang fana. Satu-satunya rumah untuk Ardika jadikan tempat pulang di mana dunia mulai merundungnya dengan berbagai masalah.
Semoga.