Ayana tidak tahu sejak kapan menguntit menjadi kegiatan barunya. Aktivitasnya hanya duduk di balik kemudi mobil hitamnya dengan mata tertutup kaca mata dan mengarah ke satu titik. Di mana tubuh kecil Naomi bisa Ayana pandangi puas-puas tanpa takut ketahuan. Melihat senyum rekah dari bibir putri kecilnya … Ayana merasa apakah pantas disebut putri? Sedang dirinya tidak hadir di momen Naomi tumbuh berkembang. Atau pada masa berdiri dari duduknya dan berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain. Seharusnya Ayana berada di sana agar bahagia membuncah. Tapi Ayana egois. Patut sesalnya menggelayuti.
Andai ada kesempatan dalam memilih, Ayana ingin memiliki satu langkah untuk memulai dari awal. Mengisi hidupnya dengan yang pertama dan terakhir. Langkah pertamanya yaitu piknik. Langkah kedua dan untuk yang terakhir kali ialah cinta pertamanya. Ayana ingin menghentikan waktu untuk bisa kembali ke masa lampaunya meski tak pernah terjadi.
Setiap orang hidup dengan ingatan mereka yang menyakitkan. Tidak mengerti juga kenapa manusia mau mengorbankan hidupnya untuk cinta yang setelah itu akan menghilang dan mati.
Sejauh ini, Ayana belum bisa menyentuh sisi terdalam hatinya karena bayangan kelam menduduki benaknya. Fakta bahwa angan untuk kembali menghentikan waktu agar bisa mengulang masa bahagianya merenggut separuh kewarasannya. Padahal jika Ayana berpikir jernih, hukum alam selalu berlaku di sini.
Entah di makan atau memakan. Entah memukul lebih dulu atau dipukul semuanya terserah dalam pilihan. Karena begitu terjadi, takkan ada keselamatan bagi mereka yang tak mampu menyelamatkan diri. Bukankah dunia, dalam taraf kisah legenda rakyat hingga modern saat ini, tidak ada yang berjalan mulus? Sama-sama kejam dan tidak memberi pilihan.
Embusan napas Ayana terhela. Kepalanya bersandar di kursi dengan senyum segaris yang tercetak. Ngomong-ngomong mengenai masa lalu, ada bagian dirinya yang diberi jarak agar tidak hancur kembali. Namun begitu melihat tawa Naomi yang tergelak tanpa beban, buku-buku jarinya memutih.
Mendadak dendam untuk merenggut atau miliknya yang telah direnggut tercetak di wajahnya. Tidak terima melihat orang terkasihnya bersama orang lain. Ayana benci, perempuan muda di samping Naomi. Yang terlihat anggun dalam balutan dress cantik berwarna peach, berambut panjang, bersenyum manis.
Tatapan Ayana belum teralih. Hingga tubuh Naomi dan Pulung tertelan oleh lajunya mobil yang menjemput, sesak di dada Ayana kian terasa. Remasan kawat berduri mengikatnya di sana. Hingga senyum mirisnya terukir, diam-diam Ayana menangis. Memikirkan Ardika dan kesalahan yang telah di perbuatnya persis seperti orang bodoh. Semakin menghapusnya, semakin jelas cinta untuk Ardika diiringi sesalnya yang tak berujung.
Apa tidak bisa Ayana menjalani kehidupannya sesuai keinginannya?
Ikatan dengan Ardika sudah berakhir. Ayana telah memilih jalannya sendiri. Untuk mengabaikan Naomi—waktu itu. Meninggalkan semua kebersamaan di ganti dengan pengkhianatan. Seyogyanya Ayana bisa berjalan tanpa bayangan kelam masa lalunya. Tapi sampai semua impiannya terwujud, lingkaran sesalnya menjadi-jadi.
Mimpi buruk yang menyambangi gelungan tubuhnya di balik selimut berganti dengan keringat deras yang membanjiri. Gelengan kepala yang tak bisa dirinya hentikan, terus mengejarnya. Dalam mimpi sekali pun, pilihan menyingkirkan masa lalunya juga tidak enyah.
Bagaimana lagi Ayana menjalani hidupnya?
Sedang cinta yang berakar, menelannya hidup-hidup.
***
Manusia adalah makhluk yang tidak bisa di percaya. Namun demikian, Maha percaya diri sudah mengambil pilihan tepat. Untuk mendatangi Ardika yang duduk kalem di kursi kebesarannya. Tidak kalem juga sih. Begitu tungkai Maha menapaki ruangannya, yang terpancar di mata kelamnya benci dan tanya.
Begini, Maha itu terkenal jahil sejak zaman sekolah. Ketika ada sesuatu yang membuatnya tertarik, Maha akan mengejarnya. Tidak peduli seberapa mengganggunya atau menyebalkan tindakannya. Dalam hatinya hanya tahu yang namanya kepuasan. Abaikan saja olokan: 'Benar-benar kekurangan cinta alih-alih mencari perhatian,'
Sepenuhnya Maha benarkan. Harga dirinya mungkin tercoreng dengan kalimat tersebut. Kelaparan yang terus membuat perutnya tidak merasakan kenyang berlomba mengikatnya. Untuk memakan apa yang ada di hadapannya atau pada pilihan-pilihan yang dirinya lingkari.
"Ngapain ke sini?" Oke, Maha garis bawahi sebagai pertanyaan. "Ganggu!" Itu benci yang di bau-baui cinta.
Otak Maha konslet tersambar petir semalam.
"Makan," jawab Maha cuek. Kedua alis tebalnya menyatu dan bibirnya mencebik. "Nggak lihat gue bawa tas kerja."
"Oh. Barangkali mau piknik."
"Sialan!" Maha banting tasnya ke meja kaca. Lekas mendudukkan bokongnya di sofa tanpa menunggu di persilakan. "Gue punya kabar baru." Antusiasnya memberi tahu. Yang ditanggapi Ardika acuh. "Yakin nggak mau dengar? Nyesel nanti."
Menghela napas, Ardika jauhkan matanya dari layar laptop. Ia pandangi sosok adik lain ibunya. Sudah tumbuh dewasa dan cetakan papanya bersemayan dalam pancar wajahnya. Ardika tahu namun diam. Diam-diam mengagumi kekuatan Maha dalam bertahan. Tidak salah dalam mendidik, papanya paling tahu tak tik dalam perang menghadapi dunia.
"Apa?"
"Pilihan bagus." Jari Maha menjentik cantik. Senyumnya merekah semringah. "Ayana nganggur."
"Terus."
"Yeu! Serius gue ini." Ardika mengangguk. Maha melanjutkan, "Dia jadi gabut maksimal terus ngikutin—nguntit sih lebih tepatnya—kegiatan anak bini lo. Hati-hati saja. Mana tahu ada bau-bau yang bau."
Tangan Ardika kaku seketika. Rasanya terdengar aneh. Ayana mau melakukan hal serendah menguntit entah untuk berkepentingan apa.
"Lo nggak seharusnya ketat." Ardika berdecih. "Naomi juga anaknya. Jadi—"
"Tahu apa lo tentang ini?" Tangan Ardika terlipat di dada. Melayangkan tatap ke arah Maha yang terlalu santai merespon. "Dalam hidup ini, lo punya pilihan yang nggak bisa di sesali setelahnya. Begitu memutuskan, selamanya ikatan yang menjerat terlepas."
"Lo mungkin lupa. Kesempatan kedua selalu ada."
"Setelah pengkhianatan atau selain melakukan pengkhianatan, kesempatan kedua tidak akan pernah sama dengan yang pertama kali datang. Gue …"
"Lo terlalu egois dan gengsi buat mengakui. Yakin sedalam itu perasaan lo buat Pulung?"
Tidakkah kalian tahu jika tajamnya pisau akan kalah dengan level tajamnya lidah?
Itu yang didengar Pulung. Di balik pintu kokoh yang tertutup, samar-samar obrolan di dalamnya terdengar. Meski penasaran setengah mati akan jawaban apa yang hendak suaminya suarakan, Pulung coba enyahkan rasa curiga. Bahwa ini murni pertanyaan biasa.
"Istilahnya, jangan terlalu mencari tahu kalau diam jauh lebih baik. Tahu makna jalanan yang busuk harus di tanami bunga?"
Tawa Maha menggema. "Teka-teki lo nggak bisa menjawab rasa penasaran seseorang." Ekor mata Maha melirik ke arah pintu. Siluet tubuh terlihat jelas dari marmer bening. "Sebelum benar-benar kehilangan atau terlalu cepat dalam mengungkapkan, lebih baik kejujuran di utarakan. Ini nggak segampang kelihatannya. Kita, lagi-lagi masuk ke ranah mencintai satu perempuan dan satu yang harus mengalah untuk memenangkannya."
"Berhenti. Gue tipe penyerang sebelum di serang."
Perang cinta dalam memperebutkan sebuah hati nampaknya akan segera dimulai.