Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 12 - Bab 12

Chapter 12 - Bab 12

Sejak dulu Maharaja Askara selalu berulah.

Tidak tahu saja kenapa lelaki 30 tahun itu berbuat demikian. Yang terlihat di mata orang lain hanyalah sikapnya yang negatif tidak patut di contoh. Kecuali ketampanan wajahnya yang menjadi pendukung.

Kali ini pun ada ulah yang sudah Maha perbuat. Membuat geger seisi lantai di apartemen mewahnya yang tengah pulas tertidur. Jakarta di waktu pagi dan musim hujan serta pandemi Covid-19 yang mendukung membuat sebagian pegawai melakukan tugasnya secara daring. Segala aktivitas dilakukan di dalam rumah atau bekennya work from home.

"Ya terus?" Maha mainkan kuku-kuku jarinya tanpa mengindahkan tangisan perempuan di depannya.

Wajahnya yang tampan tak mengusik sebagian penghuni apartemen. Di perhatikan begitu pun Maha tenang dan santai sekali.

"Nikahi aku lah!"

Nikah embahmu! Maha mendengus. Memalingkan wajah hendak menutup pintu tapi tertahan.

"Kamu jangan seenak jidat gini dong! Masa mau enaknya doang giliran kebobolan langsung ngacir."

Terus salah gue? Bokap gue? Begitu Maha mendelikkan matanya. Sebal karena waktu istirahatnya terganggu.

"Sudah ya." Maha perlihatkan layar ponselnya. Nominal uang yang tertera di sana serta notifikasi berhasilnya transferan. "Gugurin saja," bisiknya dan menutup pintu. Tidak peduli suara gedoran yang menggila.

Toh bagi Maha, perempuan itu memang alat pemuas napsu. Jadi, tentu bukan hanya dirinya yang menikmati si jalang. Kalau hamil? Salah dia sendiri kenapa teledor. Enak saja meminta di nikahi. Amit-amit.

Terus diam. Maha duduk di sofa ruang tamu dengan televisi yang menyala. Namun bukan di situ fokusnya. Tatapan matanya boleh saja berada di layar plasma panjang itu. Tapi ingatannya melalang buana pada kisah-kisah yang menghasilkan kenangan.

Dulu, bagaikan gunung dan angin. Maha adalah angin yang selalu mengitari gunung. Sedang nama keramat yang enggan Maha sebutkan bagaikan gunung. Ini perumpaan yang tinggi juga membingungkan. Intinya, tidak banyak yang tahu bahwa angin selalu bersedia menemani gunung dan membawa pendaki-pendaki untuk selalu menyukai suasana gunung.

Sudah Maha jelaskan ini sulit. Maka tutup saja kisahnya. Tidak perlu di perpanjang. Karena garis besar dari mencintai bagi Maha ialah murni memberi tanpa mengharapkan sebuah harapan.

Jadi ketika si pemilik nama tidak menjatuhkan pilihan untuk dirinya, Maha berusaha legowo. Dan sialnya, rasa itu masih ada. Entah nanti dengan perasaan untuk memilikinya. Kita tidak tahu semua kemungkinan, kan?

Ya. Kita tidak tahu semua kemungkinan yang akan terjadi atau yang sudah terjadi. Sampai ketika Maha dapati daftar cerai yang di bawa orang suruhannya. Wah... secara tiba-tiba mood Maha naik seratus juta dahsyatnya. Sampai-sampai kalau tidak ingat waktu, Maha ingin minum hingga teler.

"Teruntuk orang yang aku cintai..." Napas Maha terdengar mendesah. Lalu kelopak matanya terpejam. Sinar mentari yang mencuri celah lewat gorden menyorot kulit putihnya. "Sedetik saja aku nggak pernah lupain kamu." Level bucin, check. Maha terkekeh. Antara miris dengan kondisi hatinya yang selalu tertolak dan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. "Kan benar cinta gue nggak pernah terbalas. Sial!"

Detik berikutnya Maha misuh-misuh. Kan lucu sekali. Maha punya kepribadian yang susah di tebak atau gerak sikapnya memang sulit di ikuti. Jangankan orang terdekatnya, orangtuanya saja suka heran dengan tindak-tanduknya.

"Namanya perasaan itu nggak bisa di sadari kapan datangnya. Ujug-ujug muncul saja." Nah ini yang nimbrung di lamunan Maha sungguh akan mendapat umpatan sepanjang hari. Pasalnya, Maha tipe orang tertutup yang tidak suka di rusuhi. "Tapi coba deh lo diam terus. Buat berkelana ..."

"Kepalamu itu!"

Apa di kata? Maha itu unik. Omongan belum selesai saja di potong. Tapi si objek juga acuh saja. Memang kombinasi keduanya sangat pas jika di satukan.

"Siapa tahu ketemu, kan. Kita nggak tahu berbagai kemungkinan yang terjadi," sambungnya ngacir dari tempat.

"Diam! Jangan ngomong lagi."

Vokal Maha kencang menggelegar di penjuru ruangan apartemennya.

Tepatnya begini. Mereka berdua Maha dan Rambe adalah teman sejak kecil. Sekali pun dekat—ingat mata netijen, right? Nampaknya tidak begitu. Karena sejak kebersamaan keduanya di mulai dari masa pertumbuhan, remaja, hingga beranjak dewasa pun, tidak banyak yang Rambe ketahui mengenai Maha.

Bagi Rambe, Maha terlalu misterius. Tidak pernah mau bersandar padanya. Tidak pernah sekali saja berbagi. Bahkan letak di mana keluarga Maha berada pun, Rambe tidak tahu. Yang Rambe tahu hanya sebulan sekali Maha akan bertemu ayahnya di akhir tiap bulannya. Itu pun selalu jauh dari hiruk pikuk kota.

Katanya, "Kota bising. Bokap nggak suka. Sudah tua. Telinga mulai suka yang sunyi."

Entah benar atau sekedar alasan saja, sejauh ini Rambe tidak pernah bisa melacaknya. Jika sudah keluar area Jakarta dan memasuki kawasan jawa barat, nomor ponsel Maha berbunyi: Nomor yang anda tuju berada di luar jangkauan. Kan shit sekali.

Tapi sudahlah. Rambe ingin numpang sarapan doang pagi ini. Mengenai drama tadi, anggap saja serial televisi pengisi semangat pagi.

"Rapat jangan lupa." Rambe santap serealnya. Maha mendengus. "Tender kali ini nggak tanggung-tanggung. Tahu punya siapa?"

"Hm." Respon Maha menyebalkan. Sampai habis kesabaran Rambe dan ia lempar satu sereal ke muka datar itu. "Apa? Siapa?"

"Lo bakal tercengang. Aksa grup. Gila, kan kita bisa ngegaet saham segede itu perusahaan."

Betul sekali. Maha langsung terdiam. Gerakan matanya yang sejak tadi menari di atas koran paginya terhenti. Mencerna tiap kalimat yang meluncur dari tuturan Rambe.

"Batalin saja." Tegasnya. Rambe tersedak tidak terima hendak protes. "Gue balikin uang pembuka yang sudah di nominalkan—"

"Jangan ngada-ngada. Ini nggak segampang omongan lo. Lo pikir mereka mau nerima asal. Nggak bisa! Aksa grup bakal ngerasa harga dirinya di coreng kalau—"

"Biarin saja. Gue nggak peduli."

"Lo memang edan. Gue nggak mau."

"Terserah."

***

Mata Maha di putar malas. Pokoknya kesal saja melihat tingkah papanya yang berlebihan. Padahal setiap harinya Maha tidak akur dengan papanya. Banyaknya berdebat terus menerus dan bersitegang menjadi agenda topik utama ketika bertemu.

"Apa salahnya?"

"Salah! Papa harusnya ngalah sama anak."

"Cerita dari mana?"

"Dari zaman dulu pun orangtua selalu ngalah pa. Nggak ada indikasi harus menang dari anak."

Karena Maha ingat, sejak dirinya terlahir di dunia ini, di biarkan sendiri sudah menjadi tradisi adaptasinya. Di biarkan dengan kehidupan yang keras. Lapar, kebingungan dan hampir mati. Maha hanya bisa merengek dengan tangis ketika lapar dan haus. Menangis kencang ketika kebingungan dan hampir mati kedinginan.

Itulah filosofi yang hingga detik ini Maha pegang. Menjadi keteguhan Maha untuk bertahan. Kenapa sendiri?

Terlahir tanpa 'mengetahui' siapa induknya menjadikan Maha waspada. Maha bekerja dua bahkan tiga kali lipat lebih awas untuk terus bertahan. Mencari makanan sendiri. Mengawasi diri dari musuh. Untuk hukum alam yang terus berjalan serta menentukan siapa yang patut bertahan.

Buktinya bisa, 'kan?