Ini malam pertama milik Ardika dan Pulung.
Usai resepsi yang diadakan keduanya, pulang ke rumah yang setiap harinya di tempati adalah pilihan. Naomi sudah tertidur pulas dalam pangkuan Pulung. Dengkuran halusnya terdengar. Gaunnya tidak serapi pagi tadi. Dan langit gelap disertai gerimis masih berjalan. Di luar, jalanan basah. Sehingga lalu lintas yang seharusnya lengang menjadi padat. Gesekan ban dengan aspal basah melajukan mobil pelan.
Senyum Ardika terus tercetak. Kedua matanya memantau dua arah—depan dan belakang—lewat spion tengah. Rasanya bahagia sekali. Pertama kalinya dalam hidup setelah lima tahun menduda, debaran dadanya kembali. Yang Ardika pikir telah selesai, ternyata ini awal baru untuk memulai.
Hidupnya. Masa depannya. Dan cintanya.
Telah Ardika tetapkan hatinya. Berpegang teguh pada masa lalunya untuk tidak masuk ke lubang yang sama dan menatap Pulung dengan jelas. Cerminan kegagalan terus dirinya anut agar sama-sama berhasil dalam membina.
Lantas, apa arti Pulung untuk dirinya?
Sejak hari di mana Ardika pandangi sepotret foto yang terpampang. Ketidakpedulian yang tertanam di hatinya tersingkir. Layaknya bau bangkai yang selalu mengiringi perjalanan, rahasia yang Ardika korek tentang siapa Pulung, menjelaskan seberapa banyak kotoran yang menempel.
"Kamu mau beli sesuatu?" Pulung menggeleng. "Chicken wings, es krim, atau chatime mungkin?"
"Nanti di rumah saja masak."
"Sudah malam loh." Ardika lirik arloji di tangan kirinya. Pukul tujuh malam dan suasana gerimis riwis terus menaungi. Lalu lintas tidak selancar biasanya. "Mending beli nggak apa-apa."
Pulung balas dengan senyuman. Suaminya bisa secerewet ini setelah Pulung kira pendiam. Ardika Aksara yang Pulung nikahi berbeda dengan Ardika di hari-hari awal perjumpaan mereka. Ramah sih, tapi tertutup. Yang sekarang ini sinar pancaran terlihat jelas di wajahnya. Kadar ketampanannya naik dua kali lipat.
"Masak saja. Masih jam tujuh ini."
"Terus makannya jam berapa?" Pertanyaan Ardika retorik sekali. Alis Pulung sampai melengkung heran. "Makan kamunya."
"Maksudnya? Kan begitu selesai masak langsung makan." Aneh, kan suaminya?
"Oke deh masak saja. Nanti aku bantu."
"Mending langsung mandi saja."
Mulut Ardika tertutup. Ada sensasi aneh ketika perintah Pulung terlontar. Bayangan masa lalunya melambai. Dulu, sikap Ayana tidak begini. Perlakuan Ayana soal dirinya juga paling banter di ranjang. Sisanya asisten rumah tangga yang urus. Tahunya Ayana hanya bekerja karena seorang worka holic. Terlebih tuntutan jam penerbangan yang selalu membuat Ayana jarang di rumah. Paling lama menjelang Ayana lahiran. Empat bulan penuh di rumah dan setelahnya kembali bekerja.
Wajar tidak, sih tugas istri menyangkut kebutuhan suami?
"Kalau soal masak, kasih ke bi Sinah juga beres." Sayangnya, yang Ardika inginkan tidak sejalan dengan Pulung. "Kamu bisa istirahat dulu sama aku." Inginnya Ardika kalau mandi ya bareng dong. Jangan sendiri-sendiri.
"Bibi pasti capek. Mas mandi, aku yang masak."
Ya sudah. Ardika mengangguk. Begitu sampai rumah langsung membawa Naomi dalam gendongan dan meluncur ke kamar. Sedang Pulung berkutat dengan dapur. Memasak olahan dengan bahan-bahan yang sudah tersedia di kulkas.
Sampai suara bel rumah membuatnya berteriak, "Mas sudah selesai?"
Sahutan Ardika diikuti langkah kaki terburu. "Sudah sayang."
Beruntung suaminya peka. Sehingga Pulung bisa kembali fokus dengan acara menggoreng udang.
***
"Sebentar."
Ini baru bencana. Tubuh Ardika kaku. Kedua matanya kosong. Raut wajahnya datar. Tidak ada suara ramah yang keluar sekedar menawari untuk masuk. Baginya, di kunjungi seperti ini bukan sesuatu yang dirinya harapkan. Ada baiknya tidak mengenal satu sama lain. Karena kecewa yang berubah menjadi kesakitan.
"Selamat." Uluran tangan Maha juga Ardika acuhkan. "Tadi datang cuma malas mau naik ke podium."
"Ada apa?"
"Kenapa, sih sekaku ini?"
"To the point."
Maha terkekeh. Hendak menyerobot masuk yang langsung Ardika tahan dadanya. Tatapan matanya berubah nyalang—was-was.
"Sekarang ngasih ucapan selamat ke kakak ipar juga salah? Atau ketemu Naomi deh buat alasan."
"Jangan bertingkah!"
Berganti pandangan Maha yang meredup. Bukan ingin dirinya diterima. Tidak masalah jika Ardika menganggapnya musuh. Itu lebih bagus. Ikatan darah yang ada di antara keduanya perlahan akan terkikis. Dan pertahanan yang selalu Maha tekadkan menjadi berguna.
"Manusia itu umurnya pendek. Paling waras sampai umur 70 tahun sudah bonus banget. Tapi kadang juga lupa sama apa yang sudah mereka perbuat." Tubuh Ardika menegang. Tanpa panjang lebar, otaknya menangkap ke mana arah obrolan Maha. "Aku nggak pernah bertingkah. Kecuali Ayana yang ajak."
"Bangsat!"
"Abang harus ngerubah kebiasaan mengumpat. Ada Naomi yang sudah tumbuh dan paham buat bertanya. Jangan sampai nyesal nantinya. Kartu abang sama Dante ada di aku. Bisa bayangin nggak?"
Diam lebih baik ketimbang bicara membuang tenaga. Atau menjadi tidak tahu apa-apa adalah pilihan paling tepat.
"Kamu mau apa?"
"Pulung."
Kurang ajar. Tentu hanya dalam hati. Dan desisan yang muncul dari bibir Ardika sudah menjawab jawaban Maha. "Jangan mimpi!"
"Kenapa enggak? Ayana saja datang ke aku, minta ke aku. Bukan nggak mungkin Pulung berbuat demikian."
"Dia nggak serendah Ayana. Nggak seperti yang kamu pikir."
"Abang mainnya terlalu dekat."
"Berhenti Maha."
"Abang yang harusnya berhenti. Abang mau sampai kapan hancurin hidup aku?"
Decihan Ardika diiringi seringaian nampak mengerikan. "Kamu pikir siapa yang paling bersalah dalam hal ini."
"Nggak ada!"
"Mama kamu."
Pernah tidak Maha katakan sesuatu yang paling di bencinya?
Akan Maha ceritakan sekarang.
Dulu, sewaktu sekolah dasar, Maha bertengkar hebat. Pulang-pulang wajahnya bonyok dan Rambe yang berkontribusi membantunya. Menyembunyikan keberadaannya dari sang papa. Tapi tanpa bersembunyi pun papanya takkan menanyai kenapa dengan wajahnya. Lelaki yang kala itu masih di umur pertengahan segar bugarnya sangatlah sibuk mengurus bisnis. Yang saat ini melebar kancahnya ke berbagai daerah bahkan luar negeri. Maha pun menikmati hasilnya.
Setiap anak, paling bahagia memiliki keluarga normal yang utuh. Ada mama dan papanya. Sedang Maha hanya punya papa yang tidak pernah bertemu dengannya. Katanya: "Papa kerjanya jauh." Yang sebenarnya memiliki keluarga lain di luar lingkup kotanya.
Mengenai hari itu, to first time, Maha bergulat layaknya banteng ngamuk. Kata-katanya kurang lebih begini:
"Yeu Maha nggak punya mama."
"Kasihan banget nggak pernah makan masakan mamanya."
"Masa yang ngambilin rapot bibi-bibi di rumahnya."
"Nggak pernah, kan rasanya belajar sepeda bareng mama."
Dan sebagai penutup:
"Mama kamu wanita penghibur, ya, makanya sibuk nyari uang."
Pertama kalinya Maha baku hantam. Tidak peduli sesakit apa punggung lawannya yang Maha seruduk. Tidak peduli juga sesakit apa wajahnya ketika bocah-bocah di kelasnya mengeroyok sampai babak belur. Jika itu menyangkut mama, Maha marah.
Sama seperti malam ini. Senyum yang tidak seperti seharusnya Maha tunjukkan. Membuat Ardika memutar mata malas.
"Kalau abang nggak tahu caranya bertahan, ayo kita belajar."
"Alih-alih belajar bertahan, kamu mirip orang yang kekurangan cinta."
"Nggak aku sangkal."
"Jangan bertindak di luar batas."
"Terus… apa kabar mama abang?"
Bendera perang berkibar. Maha hengkang begitu mendengar suara Pulung yang kian mendekat. Saat ini, wanita mantan janda itu belum bisa dirinya miliki. Tapi besok, semuanya akan ada dalam genggamannya.