Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 13 - Bab 13

Chapter 13 - Bab 13

Usai berseteru dengan papanya, Maha putuskan untuk menggali lebih dalam nyalinya.

Jadi, setelah mendeklarasi dirinya yang tahan banting akan kemampuan dalam bertahan, Maha jejakkan kedua tungkainya di sini. Di bangunan megah yang cukup membuatnya tersenyum miring, berdecak kagum tapi raut mengejek tak di tutupi.

Beberapa jam yang lalu papanya berdalih begini:

"Papa juga bertahan. Belajar menjadi orangtua adil untuk kamu dan kakakmu." Hei! Siapa yang percaya? Maha saja membalas dengan dengkusan. "Papa serius Maha."

"Aku pun. Di mana mama?"

Dan papanya selalu mengalihkan topik.

"Selama ini kamu pasti beranggapan papa kejam. Orangtua tunggal yang tidak berperasaan membiarkan kamu bekerja keras sendiri. Tapi papa nggak punya pilihan. Cuma satu yang harus papa lakukan ketika rasa itu muncul: menjaga kamu tapi kalah dalam berperang."

"Ayolah pa. Ini bukan perang dunia III yang berlandaskan ketidakharmonisan orangtua dan anak."

"Itu faktanya. Ada takdir dan nasib yang berjalan untuk masing-masing antara kamu dan kakak kamu. Kalau kamu bertanya, papa pilih kasih? Ya, papa pasti egois. Menelantarkan kamu dan memilih fokus pada kakak kamu."

"Posisi sulung selalu unggul."

Pria paruh baya itu menghela napas. Putra keduanya dari wanita yang di cintai secara haram sangatlah jiplakan sepenuhnya. Bukan pada dirinya tapi pada ...

Dadanya sesak. Air bening di kedua matanya seolah hendak menetes sebelum akhirnya bisa di tepis.

"Hukum alam yang akan menentukan nantinya. Papa tahu, baik kamu maupun kakak kamu sedang belajar. Kalian akan bertemu jika waktunya sudah tepat."

Apakah sekarang?

Benar.

Ini akan Maha tandai sebagai pengalaman sebuah kesalahan.

Kenapa demikian?

Ternyata bertemu kakaknya sendiri yang satu sperma dengan papanya sangatlah sulit. Dia lelaki sempurna. Tampan—lebih tampan dari dirinya. Seratus persen mirip papanya. Dan Maha iri setengah mati.

Ah, Maha sangat membenci kondisi ini. Itulah reaksi kimia dari cinta dan kemiskinan. Miskin kasih sayang. Miskin cinta. Dan miskin dari segala hal. Seakan-akan Tuhan saja tidak memberinya ijin untuk bahagia. Menjadikan Maha memandang kehidupan yang sudah hina semakin rendah.

Benjamin Button menuliskan: disengaja atau tidak, tidak ada cara untuk menghentikan. Sama halnya dengan kebencian yang Maha timbun. Tidak ada yang bisa dirinya hentikan untuk merubah hidupnya. Karena yang terjadi adalah hidup penuh dengan persimpangan dan insiden.

"Ada apa? Kenapa?"

"Proposalnya."

Bukan gaya seorang Maha untuk terintimidasi. Setajam apapun tatapan lelaki yang bernotaben kakaknya, Maha tetap angkuh. Menampilkan wajah semenyebalkan mungkin. Tersenyum miring dan seringaian tipis selalu nampak di bibir ranumnya.

"Tahu," jawaban Ardika di hadapannya cukup membuat Maha mendengus. "Kenapa datang?"

"Ini? Di sini? Tempat umum, kan?" Benar-benar mengesalkan. Keunggulan Maha yang satu ini tidak menurun dari siapa pun.

Ardika Aksara memilih diam. Fokus pada lembar demi lembar kertas yang diajukan sebagai proposal. Mata kelamnya terus menyisir jajaran huruf di sana hingga nominal fantastis mampu membuatnya melotot.

"Apa kabar dengan Pulung?"

Jangan di tanya dari mana Maha mengetahuinya. Mata-matanya sangat handal. Sehingga semut berpindah lubang saja dirinya tahu. Jangankan Pulung, Ardika bersama siapa semalam pun Maha tahu. Berbuat apa dan bagaimana kisah kelanjutannya, Maha pemegang kartu AS terbesar Ardika. Dengan sadar, Maha tandai kakak sedarahnya lain ibu 'bajingan ulung' yang dirinya kagumi. Keren, kan?

"Atau Dante?"

Kepala Ardika menggeleng. Padahal ludahnya sangat kering ketika Maha sebutkan dua perempuan yang berstatus sebagai saudara terlibat dalam kehidupannya.

"Gila, sih, ketika gue berjuang mati-matian dan orang lain yang menikmati. Like, abang tahu nggak? Gue pernah loh nggak bisa tidur kalau nggak mutar lagu Love you anyways atau Hate to late you go. Padahal itu lagu nggak miris-miris amat pas gue dengerin. But, why?"

Tidak tahu juga kenapa Maha curhat seperti itu. Seharusnya Maha, kan marah pada tindakan Ardika yang bangsat. Bukan malah mencurahkan rintihan hatinya. Ya tapi mau gimana lagi. Maha suka bikin orang terpojok. Itu nikmat. Sensasinya melebihi keekstreman menaiki roller coaster.

"Nanti, kalau sudah tiba waktunya gue harus datang buat jemput hak gue... tolong siapkan segalanya bang. Gue bisa saja lo anggap sangar atau apapun itu. Tapi gue punya obsesi yang mengerikan."

Mantan suami Pulung itu ... Maha sudah hengkang dari tempatnya. Berhadapan dengan Ardika lama-lama ada gejolak lain di dadanya. Yang timbul penuh dengan kebimbangan. Ingin memeluk, tapi Maha benci. Ingin melempar bom kebencian, bukankah seharusnya Aksara tua yang paling tepat di jatuhi hukuman tersebut. Ingin saling menguatkan, sayangnya Maha sudah sejak kecil bertahan sendiri. Prinsip hidup Raja hutan dirinya terapkan. Jadi sebelum tubuhnya di babat habis, Maha maju pertama kali.

Taktik perangnya sudah dirinya tebar. Ranjau dari segala jenisnya sudah dirinya tabur. Menunggu di pijakan mana hendak Ardika langkahi.

Sedang Ardika usapi dadanya. Setelah penuturan yang Maha ucapkan, semuanya menjadi kacau. Ruwet di otaknya kian membelit ke segala arah.

Malam itu ... Ardika tutup kelopak matanya. Ia pijit pelipisnya. Yang menjadi sesal selalu saja di belakang. Selalu berakhir dengan kalimat-kalimat rutukan. Ardika memang bodoh mengambil tindakan secepat kilat hanya karena bertemu Ayana.

Bukankah itu berarti Ayana masih sangat mendominasi pikirannya. Mengandalikan perasaannya, mengacaukan pertahanannya dan berakhir tidak sepatutnya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Percuma di sesali. Di renungkan kembali pun, Ardika memang salah. Kebutuhan biologisnya tidak semestinya salah tempat.

Ini Dante. Pikirkan! Dante! Kalau Pulung tahu tamat sudah riwayatnya.

***

Ketika mencintai, seseorang mestinya sadar. Hanya karena mencintai, bukan berarti memiliki hak menginjak-injak harga dirinya. Atau paling tidak, ketika kita merasa di sukai oleh seseorang, bukan berarti punya hak untuk mengatur. Namanya cinta, dua hati bersatu. Sudah patut saling menghargai dan menghormati setiap keputusan apa yang akan di ambil.

Itu yang sedang Maha renungkan. Setelah bertemu Ardika, Maha tahu letak kesalahannya pun dengan Ardika yang tidak bisa di benarkan tindakannya.

Kenapa Maha selalu kalah? Dan kenapa Ardika selalu menang memulai start?

Dulu sekali, mati-matian Maha move on dari Ayana. Ini sumber masalahnya yang hingga kini terus berlanjut. Awal mula perasaannya muncul, Ayana penyebabnya. Awal mula kebencian ini tertoreh, Ayana pula permulaannya.

Ayana sudah menyalahi maksud cinta yang katanya soal waktu dengan merendahkan diri Maha. Dan Maha yang bodoh—waktu—justu menunggu. Sampai Ayana jatuhkan pilihannya ke Ardika. Siapa yang tidak kaget?

Posisi Maha hanya seorang anak yang di sembunyikan oleh Aksara. Tapi bukan berarti Ayana bisa mempermainkan hatinya. Memberi janji yang tak kunjung tiba, Maha bersabar. Menanti kebahagiaan yang seharusnya bersambut, masih Maha setia berdiri begitu kokoh.

Lalu ketika Ayana bosan dengan Ardika dan kembali merajut kasih bersama Maha, di situ letak kesewenangan Ayana dalam memaknai cinta. Mencoreng bahtera rumah tangganya dengan pengkhianatan dan kini... setelah Maha temukan labuhan hatinya, Ardika pun berdiri paling depan untuk memenangkan.