Maha pernah di tanyai perihal impian. Dan yang menjawab secara detail hanya wajahnya yang datar. Pikirnya, di umurnya yang sudah matang—30 tahun—tidak muluk-muluk tentang impian. Cukup menjadi bahagia versi dirinya sudah lebih dari cukup.
Tapi ketika kedua kakinya menapaki aula hotel yang megah. Tamu undangan terbatas. Kedua matanya kosong. Pancaran wajahnya redup. Maha tahu, dirinya tidak baik-baik saja.
Pagi ini, di sambut gerimis awet mengguyur Jakarta. Dan menempuh jarak ke karawang, Maha butuh ruangan bernapas. Dunia tidak seadil ini untuk perjalanan hidupnya.
Terlahir hanya dengan papanya tanpa tahu siapa mamanya. Seperti apa rupanya. Bagaimana hangatnya pelukan mama. Senangnya di sambut, di beri ucapan, di puji karena berhasil dan menikmati masakan tangan mamanya. Tidak sekali pun Maha dapatkan.
Begitu dewasa, melemparkan kesakitannya, Maha badung. Mabuk, mencari penghangat ranjang, membawa wanita mana pun untuk bisa dirinya lampiaskan kebejatannya.
Sekarang Maha tahu maksud pertanyaan apa impianmu.' Maha butuh itu untuk tidak menyesal seperti saat ini.
Andai sesuatu yang Maha inginkan tak pernah bisa menjadi kenyataan namun bisa terwujud menjadi impian… Maha ingin bersama Pulung.
Kurang ajar sekali, kan?
Lain halnya dengan Maha, Ayana yang paling menyesal. Sudah melepas lelaki sebaik Ardika demi menantang dirinya sendiri.
Kini, kata 'SAH' sudah di gemakan. Ayana tak bisa mendekat. Sekedar memberi salam selamat pun tidak bisa. Kedua kakinya berat, hatinya mendadak perih. Begitu matanya mendapati eksistensi sang putri, air mata Ayana luruh.
"Sudah sebesar itu." Dan dirinya tak ada ketika pertumbuhan Naomi berkembang. "Putriku."
Diluapkan lewat air mata saja tidak cukup. Memohon maaf untuk bisa merengkuh putrinya juga percuma. Ardika tidak main-main dengan ucapannya. Pun dengan fakta jika Naomi tidak di perkenalkan tentang siapa mamanya juga benar. Ardika membalasnya cukup kejam. Tidak lebih dari cukup tetesan air matanya. Sesal bercokol paling atas di pundi kehidupannya.
"Jangan nyesal!" Ayana berdecih. "Itu bikin tragedi perselingkuhan kita nggak menarik."
Ayana kesal. Lamunannya di buyarkan dengan tindakannya di masa lalu. Setidaknya, si empu mulut harus bercermin. Untuk dirinya sendiri yang sama-sama menyesal tidak perlu memperolok apalagi memperjelas suasana hatinya.
"Ardika suka ambil keputusan pendek."
Kepala Maha menoleh. Paham arah ke mana ucapan Ayana.
"Nggak seharusnya Ardika nikahi Pulung setelah nunggangi Dante. Masalah mereka bakal lebih besar lagi."
"Siapa yang sangka kalau Ardika sama rusaknya kaya gue?"
"Kalian satu darah."
"Beda tampungannya jangan lupa."
"Tetap saja! Sperma kalian dari tetesan orang yang sama. Wajah kalian hampir mirip, nggak sadar?"
Ejekan Ayana mengenai sasaran. Maha mendengus.
"Nggak! Maha hitam—"
"Manis."
"Berengsek!"
"Sekali kalah tetap kalah."
"Siapa yang bilang?"
"Gue." Tunjuk Ayana pada dirinya sendiri. Tubuhnya sepenuhnya menghadap Maharaja. Menelisik lelaki di hadapannya yang bertambah tampan dari pertemuan terakhir keduanya. "Lo ganteng. Muda, mapan, perusahaan oke, kerjaan lancar. Kenapa, sih masih nunggu yang nggak pasti?"
"Pasti…" jawabnya, "Gue dapat. Lo belum tahu gue—"
"Ambisius?" Ayana kibaskan tangannya. Tidak percaya dengan Maha. "Jangan terlalu bertinggi hati. Nyatanya, ambisi lo kalah sama kalimat SAH mereka. Mestinya lo ambil jalan paling aman. Punya rasa lo ungkapin sebelum berubah kekecewaan."
Bibir Maha mencebik. Ucapan Ayana sebelas dua belas dengan Rambe. Masalahnya, Maha bukan ingin memendamnya atau lambat dalam mengungkapkan. Tapi terlalu takut di kecewakan, Maha bertindak serapi mungkin.
Masa kecilnya sudah hampa tanpa sosok ibu. Untuk anak-anaknya nanti, Maha ingin menciptakan sebuah keluarga yang benar-benar keluarga. Yang selalu ada di saat membutuhkan. Ada ketika salah satunya sakit. Ada untuk menikmati hidangan bersama. Ada untuk mencurahkan beban yang di pikul.
"Manusia cuma berencana. Tapi Tuhan yang menentukan jalannya. Nggak salah kalau lo berangan tentang apa yang jadi cita-cita lo. Tapi jangan lupa soal sekitar. Perhatikan juga kondisi hati lo. Nggak bisa semuanya lo raih dalam satu genggaman."
***
Ardika anggap ini sudah paling benar. Jalan yang dirinya lalui, penderitaan yang dirinya lepaskan, memulai segalanya dari awal.
Sudut matanya tertarik ke atas. Senyum puasnya tercetak. Lebih bahagia lantaran sang putri terus-terusan memamerkan gigi ompongnya. Gaun yang di ributkan semalam penuh menjadi nyata, melekat di tubuh mungilnya.
Ini cepat. Lebih cepat gerakannya dari jatuh cinta.
"Capek?" Naomi menggeleng. "Omi nggak mau duduk?"
"Enggak mau mama."
Naomi menang banyak. Setelah semalam di nasihati soal panggilan yang harus di pending, hari ini bisa lancar di jalankan.
"Kakinya sudah merah loh." Pulung terus merayu. Meski gaun yang di kenakannya terlihat sederhana, jangan salah. Beratnya melebihi tanggungan rindu tidak bertemu berhari-hari, eh?
"Tapi Omi suka." Bibirnya mengerucut. "Selama sama mama Omi suka."
Bisa apa? Naomi punya bibir kecil pandai merayu. Pulung saja tersipu oleh penuturan putrinya.
"Omi harus nurut." Ardika serobot obrolan istri dan anaknya. Tubuhnya merunduk—tidak peduli tatapan para tamu yang berdecak kagum. Kedua tangannya lincah melepas sepatu berhak Naomi. "Nih lihat. Pasti sakit, kan?"
"Ah papa…"
Kata orang, anak kecil harus di penuhi setiap keinginannya. Ardika sudah melakukannya. Memberi kebebasan sang anak dalam memilih dan menentukan. Melatih kuat mental anaknya untuk mau berbaur dengan yang lainnya. Yang di rasa cukup. Kini sempurna dari arti keluarga yang sebenarnya juga Ardika turuti. Memberinya mama baru.
Pasti sebagian orang akan menilai ini terburu. Tidak dengan Ardika. Sebelum bertemu Pulung, Ardika sudah mengintainya sejak lama. Mulai dari kegiatan suaminya, sebelum bercerai dan sesudah bercerai. Semuanya masuk dalam pantauan Ardika.
"Omi suka banget bantah papa." Ardika cium pucuk hidung anaknya. "Padahal papa punya kado. Kejutan saja deh."
"Benar? Nggak bohong, kan?"
Ardika mendengus. Putrinya terlalu curiga. Sejak semalam selalu itu yang di lontarkan. Ardika tersentil.
"Mana pernah papa bohong."
"Pernah." Ngalah saja sudah. Timbang semuanya runyam. "Papa pernah janji beliin Omi kitchen set sama barbie, mana?"
Oh itu. Ardika tidak pernah ingat pernah berjanji. Tapi iyakan saja.
"Oke."
"Terus kejutannya apa?"
"Nunggunya sabar tapi, ya? Coba tanya mama."
Kepala Naomi mendongak. Melihat ke arah Pulung yang tersenyum malu. Harus banget ya di bahas di sini? Suaminya tidak beretika sekali.
"Apa ma?"
"Mau berapa dulu?" Ardika sambung lagi."
"Banyak-banyak papa."
Tawa yang sesungguhnya menguar. Naomi tidak paham maksud Ardika tapi sudah menyebutkan nominal 'banyak-banyak."
"Gini deh. Kalau Omi punya adek, suka nggak?" Kepalanya terangguk setuju. "Mau berapa?"
"Dua. Eh tiga. Pokoknya ada ceweknya biar main barbienya bareng-bareng."
"Deal!"
Kesepakatan keduanya terjadi. Pulung merasa terkhianati. Yang hendak mengandung adalah dirinya tapi yang heboh sang suami dan anaknya. Tapi ya sudahlah. Mau bagaimana pun itu tugas Pulung sebagai istri. Mengurus suami dan anak.