"Papa serius?" Naomi heboh. Ardika mengangguk. "Nggak bohong, kan?" Ardika mencebik kesal. "Nggak boleh marah sama anaknya."
Matilah. Anaknya semakin di depan saja soal omongan.
"Papa serius Omi." Bersorak girang. Anggukan Ardika tidak lebih jelas dari suaranya. Dan begitu saja langsung hengkang yang sejak tadi gelibet di kamar Ardika.
"Omi mau es krim."
"Lainnya."
"Es krim Papa."
"Pakai syarat."
"Apa?" Matanya mengerjap lucu. Ardika terkekeh.
"Belajar narinya lebih giat lagi."
"Oke."
Sudah begitu saja? Napas Ardika berembus kesal. Anaknya itu akrobat dari mana ketika jebrol model begitu. Seingatnya dulu gaya bercintanya dengan Ayana biasa saja. Tidak pakai model yang kekinian. Penting jadi.
Berat sekali. Ardika jadi teringat zaman mencintai Ayana dulu. Tidak mudah karena terpisah jarak. Waktu bertemu juga terbatas. Tentu Ardika terus-terusan menyatakan cinta. Sebelum terlambat dan berakhir dengan kekecewaan.
Tapi, manusia memang banyak berharapnya. Ardika tidak kecewa di awal melainkan di belakang. Perlakuan Ayana tidak hanya melukai harga dirinya namun juga cidera di hatinya menjadikan pribadi yang lebih kuat. Semua penderitaan yang telah Ardika lewati di masanya kini telah berlalu.
"Ini."
Ardika alihkan kepalanya. Pulung berdiri di sampingnya. Membawa secangkir kopi dengan asap mengepul.
"Aku nggak minta."
"Inisiatif."
Sejak perbincangan hari itu, obrolan penting mengalir dari keduanya. Yang awalnya Ardika pikir tidak mungkin menjadi mungkin. Pulung menerimanya dan Ardika ingin memulai semuanya dari awal.
"Padahal nggak perlu repot." Begitu Ardika terima. Menyeruput rasanya yang pas—tidak terlalu pahit juga tidak kemanisan. Tapi pekatnya jelas terlihat.
"Pahit?" Ardika menggeleng. "Kata teh Sinah kamu suka rewel." Senyum Ardika terbit. "Kopi, kan nggak gampang buat di racik."
"Bi Sinah suka lupa takarannya. Giliran pekatnya pas, eh kemanisan."
"Tukang protes mah bebas."
Rasanya bahagia sekali mendapati keakraban yang mulai terjalin. Baru beberapa hari di putuskan, Pulung sudah benar-benar membuka diri. Dan Ardika bisa leluasa dalam memulai.
"Makasih." Ardika meraih tangan Pulung. Mengusapnya perlahan dengan binar mata ketulusan. "Ini berharga buat aku."
Senyum Pulung terkembang. Menyetujui apa yang Ardika utarakan. Hal yang sama Pulung rasakan. "Sa—Aku juga sama. Maka—"
"Mama?! Papa?!"
Terjadi hempasan pada tangan Pulung. Wajah keduanya memerah—kepergok.
"Mana yang lebih cantik?"
Sekali lagi Ardika tanyakan: jurus apa yang dulu dirinya gunakan sehingga putrinya tidak punya akhlak seperti ini?
"Buat nari, kan?" Vokal Pulung mengudara. "Mendingan yang nyaman saja sayang. Atau ini. Celananya lebih longgar dan bajunya kaos."
Naomi mempertimbangkan. "Rok pendek nggak boleh ya ma?"
Yang Pulung senyumi. "Boleh. Tapi geraknya kurang leluasa."
"Nurut deh." Ardika nimbrung. Lirikan Naomi menjadi tanggapan kalau putrinya enggan di debat.
"Oke deh ma."
"Omi nyebelin."
"Papa berisik."
Terjadi adu mulut yang tidak terelakkan.
***
"Oh mau nikah."
"Mundur alon-alon!"
Maha perhatikan lembaran kertas di mejanya. Omongan Rambe masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
"Jangan jadi pebinor," lanjut Rambe. "Perebut bini orang."
"Pelakor gitu?"
"Beda lah. Pelakor: perebut laki orang. Nah lo pebinor. Awas ya! Sempat nekat gue gorok leher lo."
"Ah sadis. Mainnya nanggung. Gue sukanya zombie."
Apa hubungannya coba? Konsep dari mana mau di gorok malah melenceng sampai ke film zombie?
Rambe frustasi. Info perihal penerimaan lamaran yang dirinya dapat di teruskan ke Maha dan di jawab nyeleneh. Tuhan, otaknya apa tertinggal separuh waktu pembagian di lauh mahfudz dulu?
"Jangan ngada-ngada. Jangan jadi gila karena cinta. Ini penting buat masa depan lo."
"Pulung, kan penting."
"Punya orang, tolong." Rambe frustasi. Mengacak rambutnya yang sudah rapi klimis.
"Abang sendiri mah santai."
"Hah?!"
"Berbagi istri saja dia oke kok."
"Maksudnya?
"Nih yang lo minta." Maha julurkan map-map berwarna ke Rambe. "Kali ini lo benar. Proyek ini lebih gede dari yang kemarin. Jadi, jangan gagal."
Apa ini?
"Lo sefrustrasi, ya itu nggak bisa dapatin Ayana?"
"Penting?"
"Jawab!" Rambe mendengus.
"Kerjaan lo nunggu."
Sesulit ini menghadapi seorang Maharaja Askara. Rambe ingin marah setelah memendam penasaran seumur hidup.
"Kan nggak mungkin." Maha abai. Matanya menari di atas layar laptop. "Kuping lo nggak budek, gue yakin."
Sudah lama Maha menunggu. Tapi memilih diam sebagai alat untuk bertahan. Tidak banyak yang bisa dirinya lakukan. Kecuali terus mencari cara bagaimana bertahan. Dalam sejarahnya, orangtua selalu kalah dengan anak-anaknya. Maka Raja ingin menunjukkan pada papanya seberapa badung dirinya dalam merusak hidup orang lain.
***
"Jadi Omi pakai baju yang mana?"
Bocah berkuncir kuda dengan poni depannya nyengir. Membuat Ardika merengutkan wajahnya karena kesal. Anaknya sangat heboh. Padahal banyak baju yang di miliki. Tinggal pilih salah satu tanpa ragu. Setelah mengganggu acara romantis antara dirinya dan Pulung pagi tadi, giliran makan malam soal baju pun di debatkan.
"Terserah Omi."
"Ahhhh papa." Desahnya kesal. Bimoli—bibir monyong lima senti. "Papa nggak asik sekarang."
"Kenapa gitu?" Pulung bawakan baju untuk bepergian. "Ini cantik, kan?"
"Oke. Mama yang terbaik."
"Sayang …" Panggil Pulung ragu. Nampak wajahnya yang gugup. "Jangan manggil gitu dulu, ya?"
"Kenapa?" Mata Naomi mengerjap bingung. Wajahnya langsung menoleh ke Ardika yang mengedikkan bahu.
"Tante belum resmi sama papa."
"Gimana ma?"
Sepertinya memang sudah kebiasaan Naomi. Dari awal bertemu pun panggilan itu tersemat. Tapi tindakan Pulung memberi pencegahan juga dianggap salah. Terlebih masuk ke inti di mana dirinya dan Ardika belum sah secara agama dan hukum.
"Besok baru boleh."
"Begitu, ya?"
Pulung angguki dengan senyum lebar. "Nggak enak kalau di dengar yang lainnya."
"Kata papa: mendengarkan pembicaraan orang lain itu dosa. Berarti bukan masalah kalau Omi manggil mama. Selama nggak ada yang dengar."
Bukan keahlian Pulung menghadapi keingintahuan anak kecil. Tidak adanya pengalaman tentu membuat Pulung gelagapan.
"Dengerin papa." Beruntung Ardika lekas bertindak. Kedua lututnya jatuh ke lantai. "Itu boleh-boleh saja. Cuma aturan negara kita yang terlalu banyak tuntutan, pasti dianggap tabu."
"Tabu?" Omi membeo.
"Saru. Nggak boleh. Kurang etis. Nggak sopan. Artinya itu. Jadi, Omi mau, kan ikuti maunya tante Pulung?"
Terlihat berpikir, Naomi memandang Ardika dan Pulung bergantian.
"Ada es krimnya?"
Ya ampun, Nak?
Ardika bangkit. Kesal rasanya dengan cara pikir sang putri. Ini sedang genting-gentingnya malah es krim yang di tanyakan.
"Coba buka mulutnya."
Walaupun begitu, Ardika kagum dengan kesabaran Pulung. Ada letupan kembang api di perutnya. Berubah jadi kupu-kupu yang meninggalkan sejuta euforia tak terelakkan. Sebahagia ini dalam membuka diri. Diterima dengan lapang dan mengarungi bahtera yang baru dalam nama rumah tangga.
Kedua kalinya ingin Ardika jadikan yang terakhir.
"Sakit?" Naomi menggeleng. "Tapi sayang … coba deh rasain ini." Jari tengah Pulung masuk tanpa jijik. Menyentuh gigi Naomi bagian depan. "Gimana?"
"Lhuhmayann maaa."
"Kalau gitu, mulai malam ini jangan lupa gosok gigi—"
"Sudah mama."
"Nggak boleh lupa."
"Es krimnya?"
Pulung tersenyum semringah. "Gosok giginya sayang."
"Nggak bohong, ya? Janji?"