Karena pekatnya kopi lebih kental dari beningnya gula. Tidak ada kisah yang tertuang indah di dalamnya. Pun dengan gula dan kopi yang selalu di selaraskan. Faktanya, pahit yang tertinggal—sebanyak apapun takaran gulanya—menjadi cita rasa khas kopi.
Sama halnya dengan Pulung yang mencoba menerima kenyataan. Menjadi janda di usia muda, pada pernikahannya yang genap satu tahun. Pulung memiliki prinsip enggan meratapi nasibnya. Memang apa salahnya dengan janda?
Masyarakat menilai itu tabu. Padahal hanya pilihan itu yang di jadikan jalan akhirnya. Memang, perceraian bukan satu-satunya solusi terbaik selain meninggalkan trauma. Tapi Pulung bukan perempuan drama yang suka memohon untuk di pertahankan. Ketika suaminya memilih pergi, maka Pulung akan lepaskan. Tidak peduli sebesar apa rasa penasarannya.
Kini, setelah mendapat penjelasan dari Ardika, Pulung paham kenapa pernikahannya berakhir. Ekonomi hanya alasan. Yang memukul harga dirinya adalah kesetaraan Pulung yang tidak sepadan dengan keluarga mantan suaminya.
Konyol tidak, sih?
Patut kekehan Pulung terlihat mengerikan. Ardika bergidik ngeri. Perempuan pendiam jika sudah menunjukkan amarahnya tidak jauh berbeda dengan singa lapar menunggu mangsa.
"Saya bukan—"
"Saya paham pak Ar. Penjelasan pak Ar sedikit menjawab rasa penasaran saya selama ini." Pulung tersenyum. Tidak semenakutkan seperti tadi tapi tetap lukisan pias terpancar di wajahnya.
Ardika jadi berpikir, kalau Pulung menjadi istrinya ...
Lain halnya dengan yang Ardika angankan. Pulung justru berpikir tentang Naomi. Tidak tahu kenapa bocah lima tahun itu menyerobot setengah kewarasannya. Kan begini, Naomi ingin Pulung menjadi mamanya. Kira-kira kalau Pulung utarakan pikirannya, Ardika menerima tidak, ya?
Anaknya loh ini yang minta. Meski Pulung mencoba berdamai, tapi tetap saja malu. Nanti di katai tidak etis malah berabe. Sejenak larut dalam keheningan, mendadak Pulung teringat. Kejam tidak, sih ketika pilihan ini ingin Pulung utarakan.
Seseorang pernah mengatakan: hanya karena dia menyukaimu, bukan berarti kamu bisa semena-mena.
Nah, Pulung tersentil oleh kalimatnya. Secara tidak langsung Pulung hendak masuk ke kategori yang demikian, kan? Padahal dirinya sudah gagal. Seharusnya untuk hubungan ke depannya—entah siapa jodohnya nanti—lebih jeli lagi dalam memilih.
Namun sekelas Ardika Aksara... perempuan mana pun takkan menolak. Pulung masih normal. Meski bayangan kegagalan terus menyambangi, di curahi kebahagiaan yang jelas-jelas nyata sudah pasti rejeki nomplok.
Perhatikan!
Mata Pulung mulai menelisik. Jarinya bermain di area dagu runcingnya. Astaga, dirinya sudah mirip wanita penghibur di kelab malam.
Ardika Aksara tercetak sempurna. Rambut cepaknya yang rapi berpadu padan dengan alis tebalnya. Hidung mancungnya selaras dengan bibir tebalnya yang—ehm—sedap di pandang. Kelopak matanya cekung tidak terlalu menjorok juga tidak menonjol. Pokoknya matanya itu sesuatu sekali. Pulung bisa kehabisan napas sewaktu di pandangi.
Postur tubuhnya gagah. Pulung jamin ada enam kotak tahu di perutnya. Secara olahraganya rutin. Terus menjalar ke semua tempat, mata Pulung berhenti di dadanya yang liat. Pasti sandarable kalau di peluk. Pantas Naomi suka ndusel-ndusel pas bobok. Ah pikiran Pulung tercemar yang iya-iya.
"Kenapa?"
"Oh!"
Malunya terkenang seumur hidup. Sedang menatapi Dewa paling menawan seisi alam dan kepergok pas lagi yahud-yahudnya. Wajah Pulung panas.
"Tindakan selanjutnya."
Belum puas mengagumi, di seret ke dunia nyata sakitnya tuh di sini. Semestinya Ardika diam saja agar Pulung bisa puas.
"Maksudnya?" Setelah berdehem hanya itu yang terlintas.
"Nggak mau jadi mamanya Omi?"
"Hah?!"
***
Maharaja sungguh bebal luar dalam. Itu yang Rambe umpatkan sekarang. Lelaki berambut nyentrik dengan ciri warna yang sering gonta-ganti sedang berkacak pinggang. Di ruangan seluas lapangan golf dan si empu yang menjadi objek amarahnya berleha-leha. Dengan ponsel di tangannya dan suara game yang berisik. Kepala Rambe mengobarkan apinya.
Tepatnya begini. Beberapa orang tolol mempertahankan hubungannya hanya karena sulit untuk memulai. Padahal yang tengah di perjuangkan hambar, tidak ada rasa sama sekali apalagi sentuhan bahagia.
Jelas Rambe ngamuk sepanjang Maha berucap: "Gue mau ngejar dia." Yang sudah jelas-jelas ada maungnya. Kalau begitu apa sebutannya jika bukan bebal luar dalam?
Omongan Maha pun terlampau enteng. Sudah lidah tidak punya tulang eh dia main nimbrung seenak jidat.
"Terus kerja samanya gimana?"
"Yang mana?"
"Gustiii! Mau meninggoy rasanya."
Tidak ada jawaban. Maha larut fokus pada gamenya. Bahunya berguncang ke kanan dan ke kiri dengan mulut yang nyerocos kaya bebek. Sudahlah Rambe hengkang saja.
"Hidup selalu punya sisi penting." Tungkai Rambe mengambang. "Walaupun berat dan bikin lo hampir nyerah." Lagi mulut Maha mengeluarkan jajaran kebun binatang. "Sesulit apapun hidup lo, ketika satu keputusan sudah lo ambil, jangan sampai menyesal."
Baik, Rambe akui. Kali ini ada sisi dewasa Maha meski amukan dirinya tidak masuk di akal. Rambe mengoceh tentang apa dan Maha menanggapi yang bagaimana.
"Gue juga ngerasa gitu. Tapi keputusan buat ngebatalin proyek kayanya lebih tepat."
"Tapi lo setuju di awal sewaktu sama pak Aksara."
"Memang!" Maha letakkan ponselnya. Di sesapnya kopi pahitnya dengan mata terpejam. Cairan pekat itu meluncur melewati kerongkongannya dan bersalaman dengan lambungnya. "Gue bukan orang yang suka kasih kesempatan dua kali atau ngejilat ludah sendiri."
Otak Rambe belum terkoneksi sepenuhnya. Memang misterius sekali Maharaja ini. Berteman sejak zaman ingusan, Rambe tidak mengenal secara spesifik.
"Hidup sesingkat singgah minum air. Nggak perlu lo bikin pusing. Bekerja keras sesuai porsinya. Nggak perlu nanggung beban berat."
Karena Maha tahu, semua manusia yang di pertemukan tidak bisa untuk di sandari. Di antaranya sekedar ditakdirkan belajar agar sadar dan Maha salah satunya.
Di pertemukan dengan Pulung, Maha belajar untuk menerima nasib kehidupannya. Mungkin sudah lebih baik begitu. Maha tidak perlu tahu siapa mamanya agar tidak menimbulkan sakit di masa mendatang. Atau di perjumpakan dengan Ayana yang gila. Semena-mena hanya karena di cintai dan di puja membuat Ayana lupa diri. Begitu juga lebih baik. Maha banyak menyadari betapa kurangnya diri ini. Dan itu salah satu cara untuk Maha melindungi dirinya dari luka.
"Lo kesambet setan game?" Kembali Rambe dudukkan bokongnya. "Lo nggak demam." Tangannya meraba kening Maha. "Aman kok."
"Gue pasti terlihat konyol karena pura-pura."
"Yeu itu munafik namanya."
"Sok paling bijak. Belagak nerima bokap tapi buat kedok doang."
"Kalau mau benci ya benci saja. Kalau sakit ya berobat. Kalau nggak kuat ya keluarin."
"Cuma itu cara gue memproteksi diri."
"Corona lo pikirin."
Adakah yang melihat kesepian Maha?
Terkadang, menjadi diam sangat Maha butuhkan ketimbang berbicara membuang tenaga. Belum tentu yang merespon bisa memahami isi hatinya. Mulut netijen memang seendes itu untuk menghujat.
"Menjadi nggak tahu apa-apa itu lebih baik, kan?"