Selalu ada sudut lain yang harus di pandang. Begitu juga dengan perjalanan hidup yang mesti di telusuri untuk bisa di berikan hujatan. Jadi, manusia tidak hanya berucap saja pada apa yang mendasari caciannya.
Kebahagiaan itu di ciptakan. Semua orang juga tahu itu. Meski katanya tidak akan mati dan abadi, tapi tetap saja, tanpa menjaga semua itu akan luruh.
Dan dua kata yang ingin Ayana helakan dalam embusan napasnya adalah hampir dan mampir. Itu untuk Ardika Aksara yang baru saja hengkang dari tempat duduknya. Meringis pilu, nyatanya Ayana sadar jika dirinya bahkan namanya sudah terhapus lama dari hidup Ardika. Faktanya, lelaki itu pergi tanpa mau melihat wajahnya. Tidak sama seperti dulu ketika kebersamaan rajutan cinta terjalin.
Ayana sadar diri. Maka untuk dua kata di atas yang tepat hanyalah pernah bersama meski tidak lama mampir. Sudah begitu saja. Karena semua itu bermula dari dirinya yang memberikan kekecewaan pada realita di hidup Ardika. Tapi Ayana tidak kalut mengingat saat-saat mereka pernah bahagia bersama.
"Ini nggak seru," kata seseorang di samping Ayana. "Kamu mulai lagi dengan level bucin mencintai orang itu."
Tentu jawaban yang Ayana berikan berupa jitakan. "Nggak tahu apa-apa jangan ikutan ngomong deh! Kalau cuma tahu sekedar wajah dan nama, percuma! Kamu nggak benar-benar tahu siapa Ardika sebenarnya."
Yeu! Begitu saja di sangkal. Maka lelaki bernama Mahardika atau biasa di panggil Mahar itu merepet sepanjang mengelusi kepalanya yang sakit. Ayana walaupun perempuan dan terlihat kalem, tapi sumpah, kekuatannya melebihi samson.
"Aku, sih, menebak saja." Mahar enggan mengakui kekalahannya. Apalagi membenarkan apa yang Ayana berikan sebagai jawaban. "Memang situ tahu isi hati dan pikirannya? Belum tentu juga benar."
"Hei!" Tatapan Ayana terlihat bengis. Ada sorot luka yang terpancar namun ketidakterimaan lebih mendominasi. "Aku pernah tidur satu ranjang dengannya—setidaknya begitu."
Mahar jijik sekali mendengar ketidaketisan Ayana dalam menjawab. Karena di samping konyol itu juga vulgar. Tapi mengingat lokasinya di kelab, fine saja lah bagi lelaki berambut klimis itu.
"Aku baca novel." Gantian Ayana yang mencibir. Tentu tidak akan ada yang percaya seorang Mahardika—manajer kelab menyempatkan waktu membaca buku. Tetapi memang begitu jalannya. "Penggalan kalimatnya sederhana tapi memberi dukungan di kondisi saat ini. Netijen suka nyinyir padahal nggak tahu kejadian aslinya."
Ah sudahlah. Ayana malas membawa nama netijen. Itu rumit.
"Tiap orang, punya luka yang berbekas. Sama kaya Ardika. Yang aku lihat saat ini bukan orangnya tapi lukanya. Yang aku dengar bukan jawabannya tapi omongannya. Yang aku tatap bukan wajahnya tapi kedalaman matanya. Dan yang aku temukan justru sebuah harapan." Ayana terdiam. Mahar mencerna setiap tuturan sahabatnya.
"Dan kamu dengan lukanya sebuah penyesalan." Ayana sanggah dengan gelengan. "Basi!"
Waktu itu Ayana terlalu cepat mengambil langkah. Karena ia pikir sudah sangat sempurna menciptakan sebuah kehidupan bersama Ardika, maka merusaknya sedikit tidak akan terlihat. Jadi, permainan halus Ayana jalankan. Satu kali bermain dan itu aman, Ayana merasa kurang. Kedua kali bermain, tantangan dalam dirinya kian bergejolak dan kembali Ayana tidak puas. Ketiga kali lalu menjadi yang terakhir kalinya.
Surat perpisahan yang Ardika jatuhkan menjadikan Ayana paham tingkat seseorang dalam mencintai. Mungkin itu juga kenapa Ardika enggan melakukan mediasi perdamaian. Karena ketika cinta yang tumbuh menjadi sebuah kesakitan, alasan untuk bertahan tak akan menjadi halangan. Perpisahan jelas sudah begitu tepat di ambil. Cinta bukan sekedar ilusi belaka.
Harusya dulu Ayana sadar bahwa ketika bersama Ardika merupakan arti dari waktu berharga yang sesungguhnya. Semua momen dan kenangan yang di jalani menjadi sebuah anugerah. Dan seharusnya Ayana tahu untuk lebih baik kepada Ardika bukan malah menentang dirinya sendiri dengan permainan konyol.
"Sesal memang selalu yang terakhir." Mahar mengejek dan berlalu.
***
"Bang ..." terhenti. Bibir bawah yang di gigit kuat-kuat, mata cantik yang terpejam dan kulit tersentuh yang meremang. Sensasi nikmat yang ada di pusatnya terasa teraduk.
"Apa?" Ardika nikmati santapannya. Setelah sekian purnama berpuasa, malam ini menjadi puncaknya, pertahanannya jebol. Jadi ketimbang terjadi yang tidak di harapkan di rumahnya nanti, lebih baik Ardika tuntaskan kebejatannya di sini.
Masih terus bibir dan tangan Ardika bekerja. Mengeksplor setiap inci kulit dan tubuh yang ia rasa tepat di jadikan rangsangan. Desahannya juga cukup bekerja baik dalam menikmati makan malamnya.
"Abang sadar nggak, sih?!" Perempuan yang Ardika balikkan tubuhnya meracau bersamaan desahan erotis. Tubuhnya terus terjamah entah dengan mulut maupun tangan Ardika. "Nggak semua—ahh ..." Ardika sialan, batinnya kesal. "Yang rela berkorban buat abang bukan berarti dia bisa abang jadiin tempat buat lari."
"Siapa?"
Kurang ajar!
Jawaban Ardika terlampau santai sampai-sampai perempuan yang di tungganginya mendengus kasar.
"Semua orang punya perasaan bang. Dan bukan buat mainan!"
"Kamu maksudnya?" Ardika terus bekerja pada pusat si perempuan. Matanya merem melek menikmati tusukannya. Ini sudah sangat lama, terus seperti itu otaknya berpikir. Sudah tentu seusai ini harus ada sesal yang Ardika rasakan. "Kamu pikir pekerjaan kamu ini ringan. Dante... jangan melayang terlalu tinggi pada ekspektasi kehidupan. Karena realita terus memberi kamu rasa kecewa."
Dante tertegun pun dengan tubuhnya yang mendadak kaku. Padahal Ardika tengah menggarapnya. Tapi hatinya bisa-bisanya tidak sinkron. Harusnya Dante sadar untuk menggunakan logika dan menghapus perasaannya. Tapi cinta memang sialan.
"Aku sudah transfer uang ke rekening kamu."
Hancur sudah rasanya. Dante menangis meringkuk di bawah selimut yang menutupi tubuh polosnya.
***
Menepikan mobilnya di ruas jalan tol, Ardika berpikir keras. Memijit kepalanya yang pening mendadak dan menerawang di kegelapan malam. Suara mobil lain yang melintas menjadi deru musik bagi hatinya yang kosong. Meski harapan mulai tumbuh di sendi kehidupannya. Ardika lebih dari tahu bahwa jangan menaruh harapan terlalu tinggi pada manusia. Sebab itu bisa berubah kapan saja.
Seyogyanya, Ardika nikmati apa yang sudah dirinya miliki kini: Naomi. Ardika cintai dan jaga putrinya untuk jangan berakhir seperti dirinya. Kotor, penuh penyesalan dan menapaki jalan yang salah.
Langkah demi langkah yang Ardika pijak, ia pikir selama ini sudah sangat benar. Tanpa sadar justru itu salah. Tanpa terasa Ardika jauh dari putrinya. Tanpa batas, ruang untuk menjadikan sifat egois muncul perlahan. Dan ketika Naomi menemukan kenyamanan lain pada diri Pulung, Ardika kian bersalah.
Dunia ini begitu dingin. Sampai Ardika ingin menjadi posesif dalam membesarkan Naomi. Berdiri sendiri tanpa seorang pun di sampingnya Ardika pikir sudah bisa. Faktanya, tetap ada celah di mana dirinya membutuhkan orang lain.
Dante semisal. Yang Ardika jadikan sasaran empuknya pemuas dahaga. Demi Tuhan! Melihat Ayana baik-baik saja hatinya bergetar. Menyadari jika benci dan cintanya masih merajai. Ardika frustasi. Benar kata Ayana.