Saat hujan turun, orang bisa mengukur besar cinta yang mereka miliki. Bahkan ketika berbagi payung, pandangan manusia menjadi berbeda-beda dengan sudut lain. Mereka mampu melihat jelas betapa besar cinta yang di milikinya. Demikianlah cinta dan hujan saling terhubung satu sama lain.
Hujan semalam mengalirkan kenangan yang mendadak berputar dalam pikiran Pulung. Sampai berat kedua matanya dan tertidur pulas di sofa balkon. Bangun-bangun sudah ada selimut hangat melingkupi tubuhnya.
Di sambut kekuningan mentari yang belum terik, mata Pulung bercahaya terkena sinarnya. Suara Naomi di dalam rumah terdengar berdebat dengan papanya. Bocah lima tahun itu mulai ngeyel—begitu Ardika mengeluh. Tapi hebatnya, duda keren itu tidak marah. Malahan katanya, 'Saya suka Omi yang rewel ketimbang pendiam. Makasih buat teteh.'
Ujungnya itu yang membuat Pulung tidak nyaman. Karena Omi berubah sejak kehadiran dirinya. Karena Omi terus-terusan memanggilnya mama seperti sekarang ini contohnya.
"Mama kenapa?"
Teriakannya nyaring tepat di samping telinga Pulung. Bersyukur tidak terlepas. Tubuh mungil itu merangsek masuk ke dalam pelukan Pulung, menangis sesenggukan.
"Papa jahat!" adunya yang di balas pelototan tidak terima si empu. "Aku nggak di keloni juga nggak di kasih ijin bobok sama mama. Papa jahat, kan?!"
Anak ini sedang mencari pembelaan. Pulung tahu itu. Maka tersenyum ia ulaskan yang membuat Ardika mematung seketika. 'Perempuan seperti ini terlalu sayang untuk di lewatkan.'
"Maaf ya."
Kok bisa Pulung yang minta maaf?! Jelas-jelas anaknya yang kurang ajar! Batin Ardika meraung, alisnya berkerut tidak suka. Sebenarnya, dari mana sifat putrinya yang penuh drama itu muncul. Seingatnya—tidak ingin Ardika sebut nama keramat—tidak begitu malahan kalem tidak nel-nelan seperti putrinya.
"Semalam ada kerjaan yang mesti bikin tante lembur. Makanya sekarang ngantuk banget," jelas Pulung pelan. Ingus dan air mata Naomi merembes membahasi bajunya tapi tidak dirinya pedulikan.
"Kalau gitu ... boleh, kan kita nggak usah nari. Omi capek mama."
"Halah! Alasan kamu, kan nggak mau belajar."
Naomi tatap papanya tajam. Lama lalu berpaling dan cemberut menggemaskan terpasang di wajah imutnya. Membuat Pulung tersenyum dan mencium pipi gembilnya.
"Ayo mandi. Omi pasti lupa kalau hari ini dapat es krim gratis buat yang sudah hafal gerakan awal."
"Beneran?!"
Girang sekali. Ardika melongo akan kelakuan sang putri. Untung anak. Untung sayang.
***
Seorang pepatah pernah mengatakan: Jangan memberi, jangan juga menerima. Sejatinya manusia makhluk merepotkan. Berkata tolong sekali dan berujung kata tolong untuk kedua, ketiga kalinya dan seterusnya.
Sebagian ada yang membenarkan. Sebagian lagi menentang. Arti makhluk sosial di junjung tinggi bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Selalu meminta bantuan dan bergantung pada manusia lainnya. Mereka berkembang biak dan tumbuh bersama dalam lingkungan berbeda-beda.
Tapi manusia juga datang dan pergi silih berganti. Datang dalam artian terlahir dan pergi dengan artian mati. Manusia sudah di gariskan untuk masing-masing umurnya ketika meninggalkan. Semua mengakui bahwa manusia tidak bisa hidup abadi atau lebih lama dari semestinya.
Manusia juga tidak bisa memiliki persahabatan sejati. Selain umur, faktor pendorong lain seperti ambisi mencapai tujuan menjadi sebuah topik utama. Meski mereka selalu berkata bahwa hidup ini terlalu singkat dan menggapai apa yang menjadi tujuannya, tradisi hidup layaknya di hutan—memakan atau di makan sangat di terapkan.
Jadi mencoba sesuatu yang terbaik untuk hidup sangat di perlukan. Walau ada saatnya untuk melepaskan sesuatu yang tak bisa di pendam. Cinta sebagai pengawalan yang di agungkan atau mengenal orang-orang baru dan lainnya.
Lantas mengapa bercerai?
Punya cinta. Punya jabatan. Ada uang yang bisa membeli segala kebutuhan. Ada fasilitas memadai yang belum tentu di dapatkan pasangan lain di luar sana. Bahkan penambah kesempurnaannya ada anak. Keturunan yang lahir tanpa hambatan apalagi drama.
Itu juga yang sedang Ayana pikirkan. Renungan jiwanya mulai goyah begitu melihat mantan suaminya berdiri tegap dengan gagah di hadapannya. Wajahnya menggoda—sama seperti yang dulu ketika Ayana miliki. Mata bulatnya lebih menelisik. Dan rahang kokoh favorit Ayana kala mengecup dan menjilat kian menawan. Semuanya masih utuh setelah lima tahun perpisahan keduanya.
Ah, hanya saja ...
Sangat di sayangkan.
"Cowok berteman sama cewek 'hanya' kalau dia suka," ucap Ayana membuka pembicaraan. Tidak tahu juga kenapa ingin menyampaikan kalimat pembuka dengan tema begitu. "Tapi cewek berteman 'kalau' dia tidak menyukainya."
Ada yang paham maksud ucapan Ayana?
Tidak ada yang mengerti. Lagi pula—dalam otak Ardika—kenapa mantan istrinya sangat sarkas di pertemuan pertamanya setelah berselang lima tahun? Atau kalau ingin menyesal tidak perlu lah menampilkan wajah atau pun kalimat yang sangat menunjukkan betapa Ayana masih mengharapkannya.
Ya begitu lah penyesalan. Selalu datang di akhir. Keputusan yang di ambil terlalu terbuka sama saja membuka lembaran sakit di masa mendatang. Terbukti dari Ayana yang Ardika pikir akan baik-baik saja nyatanya tidak.
"Jangan main tebak-tebakan." Ardika sesap vodka langsung dari botolnya. Menenggak lebih tepatnya. Karena ketika ujung botol bersambut dengan mulutnya, rasa untuk menelan sungguh tidak bersabar sekali.
Ayana tersenyum miring. Satu tangannya meraih gelas berisi sampanye—berbeda dengan milik Ardika. Terdiam menjadi caranya. Namun pikirannya berkelana. Selama ini, selepas memutus hubungan dengan Ardika, Ayana mengetahui semua kegiatan lelaki itu. Mulai dari wara-wiri berita yang menyiarkan bahkan pertumbuhan putrinya pun Ayana tahu. Sayang seribu kali sayang. Malang yang Ayana panen dari hasil tanamannya tidaklah sebagus bayangannya.
Yang amat tersiksa justru dirinya. Yang menderita luar dalam adalah dirinya. Yang merongrong sakit akan jiwanya juga dirinya. Jadi, takaran karma yang dirinya terima, Ayana anggap sudah impas.
"Aku lihat perempuan itu."
Pulung maksudnya.
Saking terkenalnya seorang Ardika, sampai foto di mana dirinya dan Pulung serta putrinya makan di warung lesehan pun masuk ke televisi. Beruntung Pulung tipe perempuan yang tidak suka menonton gosip. Jadi fotonya yang tersebar dan wajahnya yang meluas di jagat Indonesia terekspos, si empu tidak berdrama.
"Saya berniat menikahinya."
Dengusan Ayana tidak di tutupi untuk Ardika dengar.
"Kamu sekaku ini kaya kanebo kering. Yakin perempuan itu bisa tahan?"
"Jangan salah!" Vokal Ardika sedikit meninggi. Pengaruh vodka dan gejolak hatinya tercampur. Siapa yang tidak kesal setengah mati di pertemukan dengan mantan cinta sekaligus pacar pertamanya? Di kelab lagi. Tidak elegan sekali, kan?
"Putri kita—oh sorry," ralatnya cepat. Wajah Ayana merengut, Ardika acuh. "Naomi." Tekannya keras. "Suka dengannya. Bahkan dalam satu kali pandang langsung berdeklarasi memanggilnya mama. Jadi ..." jedanya. "Ketika bertemu Omi nanti, jangan pernah menyebutkan status yang pernah kamu miliki. Tolong sadar diri."
Begitu kejam mulut Ardika dalam berkata. Tidak sadar jiwa perempuan ini pernah menjadi pelabuhan hatinya. Pernah menemaninya siang malam dalam berjuang meski berakhir sia-sia. Pada akhirnya ketok palu yang di perdengarkan pada rungu keduanya membuat Ardika sadar. Sekali pun ada cinta dan cerita di balik hujan. Berada di bawah payung dalam pandangan yang lainnya. Jelas, garis Takdir yang tidak menjodohkan dirinya dengan Ayana menjadi pukulan telak.