Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 9 - Bab 9

Chapter 9 - Bab 9

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji suci yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda tangani. Pengucapan janji sakral sehidup semati yang sayang terhempas oleh satu surat cerai.

Pulung tersenyum miris. Dunia ini memang kejam dan menjengkelkan. Permainan takdir yang berubah haluan secara mendadak hanya bisa Pulung katakan, kita bisa apa? Selain mengikuti derasnya arus, melawan bukan kehendak kita. Yang bisa kita lakukan hanya berjuang sampai akhir hayat.

Namun malam ini—dirinya di lamar, kan? Meski tidak secara resmi atau romantis pada umumnya pasangan menyatakan cinta. Ardika Aksara meminta Pulung untuk menjadi ibu sambung Naomi. Yang tanpa Pulung tutupi eksistensi kekehannya membuat lelaki 35 tahun itu mengerutkan dahinya terang-terangan. Pasti heran.

"Perceraian saya belum genap satu bulan—"

"Saya tahu." Cepat. Jelas. Tak terbantah. Embusan napas Ardika meluncur. "Saya tahu tapi untuk Naomi ..."

"Hanya untuk Naomi?"

Alis Ardika terangkat ke atas. Belum sepenuhnya mencerna maksud pertanyaan Pulung.

"Saya pernah menikah. Pernah juga di cintai juga mencintai. Saya pernah di pilih untuk di jadikan prioritas utama. Sampai bahagia saya rasakan." Pulung menerawang. Ada air yang berkaca-kaca di kedua bola matanya. Dan menatap ke atas, pada langit-langit ruang kerja Ardika. "Jika hanya untuk Naomi, menjadi pengasuh bagi saya sudah cukup."

Apakah itu maksudnya Pulung sedang berharap untuk di cintai lagi? Kepala Ardika berpikir. Otak tampannya menyimpulkan berbagai tebakan-tebakan. Jika 'ya' apa artinya perasaannya berbalas?

"Saya pasti serakah. Meminta yang bukan hak saya."

Ardika boleh saja tidak tahu apa itu cinta. Tapi yang pasti, semua lelaki punya cinta pertamanya. Di saat Ardika tidak mengerti apa itu cinta dan melakukan apa yang tidak dirinya pahami. Sama halnya dengan hujan yang tidak terduga datangnya. Perasaan asing dan rumit ini menjadi jelas seketika mana kala ia dapati Ayana—dulu. Saat mata memandang, bibir terbungkam dengan hati menggumam kagum. Ardika tahu dirinya jatuh cinta.

Ini akan berhasil. "Kamu harusnya mencoba bukan menutup kesempatan."

Decihan yang Pulung berikan. "Pernikahan... apa artinya buat pak Ardika?"

Pertanyaan jebakan. Ardika tahu Pulung bimbang mengambil tindakan. Jerat masa lalunya kentara menaungi. Hendak berpindah namun tertahan oleh bayang-bayang terburuknya. Semestinya tidak begitu konsep yang di terapkan karena hidup terus berjalan.

Sesalah apapun tindakan kita di masa lalu bukan berarti salah sepenuhnya untuk ke depannya. Justru karena kelamnya keputusan di masa lalu, menjadikan kita bijak dalam melangkah ke depan.

"Masa depan itu putih." Ardika beri jeda untuk melegut ludahnya. Mendadak ia sadar konsep mencintai kuno yang sering di munafikkan oleh manusia tapi juga paling di agungkan sebagai jalan kebahagiaan. Karena katanya, wujud dasar dari mencintai adalah memberi tanpa mengharapkan kembali dan itu anggapan paling murni yang masih di anut hingga kini. Konyol tidak, sih?

"Saya punya cerita gelap yang tertutupi begitu juga kamu. Kita semuanya sama-sama memiliki sisi nggak tersentuh. Tapi baiknya—"

"Saya rasa bukan itu arti dari pernikahan. Permisi."

Dan usai sampai di situ sebelum Ardika jelaskan tujuannya. Antara hati dan mulutnya pun tidak bisa berjalan beriringan. Hatinya ingin segera menikahi Pulung tapi mulutnya bertele-tele. Geli sendiri dengan sikapnya, Ardika mendengus.

***

'Nggak apa-apa.'

Mungkin itu kenapa angin berembus di kehidupan semua orang. Tidak untuk berlalu namun juga bisa kembali. Sekali pun hidupnya hancur karena pernikahannya usai di sidang perceraian tapi itu lebih melegakan. Setidaknya Pulung mengerti posisinya.

Ketimbang melihat fakta kenapa dirinya di campakkan, Pulung lebih setuju untuk mengakui bahwa setiap orang belum menyadari hal-hal kecil yang membahagiakan. Dianggap sebelah mata—tidak penting dan kecil—sayangnya itulah yang membuat kita tersenyum.

Mustahil untuk Pulung ungkapkan perasaannya kini. Rasa tulusnya saja di balas dengan perpisahan yang membuatnya hancur berkeping. Pun sudah sangat terlambat untuk mengakui. Mantan suaminya pastilah sudah bahagia dengan pilihannya.

Pada hari ini, di mana embusan udara malam mulai dingin, dan bintang tertutup kabut malam, Pulung merindukan momen bahagia dalam hidupnya. Menjadi sangat jelas di ingatannya bahwa kala itu—mantan suaminya—adalah kesempurnaan yang pernah dirinya rajut.

Ketika terpuruk, rengkuhan hangat untuk tubuhnya menghalangi dinginnya malam. Ketika luka di hatinya menganga akibat cibiran orang, ada yang berada di pihaknya. Berbisik, 'nggak apa-apa.' Ketika hari-harinya terasa sulit untuk di jalani, kenangan-kenangan manis bertahan bersama laju tungkainya.

Dan begitu setitik air jatuh membasahi pipinya, Pulung sadar, yang bertahan bersama dirinya bukanlah kenangan masa lalu namun kenangan yang saat ini sedang di jalaninya. Itu pasti terlihat sangat egois. Karena begitu selesai dengan masa pernikahannya, hatinya justru tertutup untuk lelaki mana pun termasuk Ardika.

"Kamu tahu?" Vokal beratnya menyadarkan Pulung dari keterdiaman. "Angin berembus memiliki arti dan tujuan masing-masing."

Entah sejak kapan atasannya itu berada di belakang tubuhnya. Tapi di dengar dari topik yang di sampaikan, sepertinya sudah lama.

"Angin berembus membawa sebagian luka yang tertoreh pun kembali untuk mempertemukan penyebab goresannya." Pulung tidak mengerti. Ardika tersenyum penuh arti. "Ada hal yang nggak bisa kamu kembalikan. Di mulai dari kamu mengakui cinta dan menyatakan perpisahan ..."

"Bukan saya yang menginginkan."

Sekali lagi senyum Ardika tampilkan. Kali ini lebih lebar sehingga matanya ikut tertarik. Tampan, lintasan kata itu mengoyak otak Pulung.

"Kamu pasti lupa?" jedanya mengambil napas. "Kamu mungkin tidak sadar ada kalimat-kalimat beruntun kata kejam yang terlontar saling menyakiti. Sehingga sesal menggelayuti."

"Saya nggak ngerti."

"Alasan. Kamu perlu alasan kenapa kamu bercerai."

Itu juga yang tengah Pulung kalutkan. Sampai detik ini belum juga Pulung dapatkan apa penyebab dan bagaimana kronologi kejadiannya.

"Mau tahu penyebabnya?"

Jelas Ardika mengetahui duduk perkaranya. Mencari tahu info seperti itu gampil untuk dirinya. Cukup mengutus anak buahnya dan mengikuti kesehariannya. Semua foto dan rekam suami serta video langsung masuk ke kotak emailnya. Tinggal Ardika duduk anteng dan menyaksikan sembari menyeringai.

"Pak Ar tahu sesuatu?"

Senyum saja yang Ardika balaskan lantas berlalu masuk setelah menepuk bahu Pulung.

Ya. Selangkah lagi menuju keberhasilan. Tidak ada yang tahu apa dan bagaimana manusia berpikir. Setiap rencananya tersusun dengan rapi. Semua tindakannya aman terkendali. Bukan ingin Ardika untuk berhati jahat. Berlaku busuk demi obsesinya.

Sedang Ardika dengan otak piciknya, Pulung julurkan tangannya. Menggapai tetes-tetes hujan yang membasahi bumi. Bau tanah yang basah segar menyatu melegakan rongga dadanya.

Cerita dan hujan punya kenangan yang tak terbantahkan. Tak juga bisa di lupakan. Cerita dalam hujan punya makna tersendiri bagi manusia.