Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 8 - Bab 8

Chapter 8 - Bab 8

Hal tercepat yang terjadi di dunia?

Ada yang tahu?

Begini, kamu tidak sadar kapan waktu tepatnya. Kamu juga tidak tahu kenapa bisa terjadi?

Masih belum tahu jawabannya?

Tck!

Jatuh cinta.

Itulah hal tercepat yang terjadi di dunia. Kamu tidak bisa memprediksi kapan tepatnya bisa terjadi pun kenapa bisa terjadi bahkan dengan siapa menjatuhkan pilihannya.

Itu yang sedang Ardika rasakan saat ini. Setelah satu hari penuh otaknya diisi dengan Pulung, pulang-pulang justru jawaban ini yang dirinya temukan. Tapi apakah pantas?

Ardika Aksara seorang anak tunggal merasakan jatuh cinta yang menurutnya waktu berjalan cepat. Dan sebagai seorang anak tunggal yang kesepian, Ardika tahu bahagianya jatuh cinta. Seperti makna: Siapa cepat dapat. Siapa tepat selamat.

Tapi sayangnya, setiap jalan memiliki dua arah untuk berlawanan. Maka ada jatuh cinta, ada juga kesakitan lainnya. Jika di setiap pertemuan menghasilkan buih perpisahan di akhir. Maka pernikahan juga memuarakan perceraian. Setelah tidak lagi cocok, tidak satu pemahaman dalam memutuskan sebuah pendapat, cerai menjadi jalan pintasnya.

Sedang arti dari perceraian itu apa, sih?

Di atas kita bahas hal tercepat dalam hitungan waktu adalah jatuh cinta. Lantas arti cerai adalah jalan terakhir berakhirnya suatu pernikahan. Saat di mana kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka memilih jalan akhir dari sebuah ikatan.

Perceraian ketika memasuki ruang sidang, masih di adakannya tahap mediasi untuk masing-masing pasangan memperbaiki dengan harapan niatan cerai terpupus. Hakim sebagai pemimpin sidang perceraian memberikan ruang untuk bisa mengambil waktu yang telah di tentukan. Lantas mengapa kita tidak bisa melakukannya? Kenapa cerai di jadikan ajang tahap akhir untuk sebuah perpisahan?

Apakah tidak bisa si pelaku—kepala rumah tangga dan yang di kepalai jangan mengorbankan masa bahagia kehidupan lainnya?

Anak-anak mereka contohnya.

Tidak bisakah si pelaku melongok pada masa-masa pertumbuhan mereka yang sedang membutuhkan banyak perhatian dan asupan kasih sayang?

Jika masalah tidak bisa di damaikan selama itu masih menemukan cara untuk menyingkirkan perkara, kenapa harus ada perceraian?

Ardika elus dadanya. Denyutan sakit merongrong rongganya. Kepalanya sakit seketika. Matanya terpejam rapat. Kilas balik masa kesakitan di saat... Ah sudah lupakan. Lima tahun berselang dan mimpi buruk itu belum bisa Ardika tepis. Ada guncangan lain mana kala ingatan kelam itu melintas.

"Papa!!!"

Ini salah satu alasan mengapa hidup Ardika harus berubah. Harus terus melaju. Harus mau membuka lembaran baru. Di paksa menerima kondisinya sebagai orangtua tunggal.

"Apa sayang?" Ardika bawa tubuh putrinya ke dalam dekapan. Menciumi pipi putihnya lama-lama dan mengangkatnya ke udara. "Anak papa wangi banget."

Naomi Ardika bukan jenis anak manja seperti kebanyakan. Ardika bangga untuk itu. Dengan ulet, Ardika tanamkan disiplin tanpa memberi tekanan pada pertumbuhannya. Dengan bebas, Ardika jatuhkan setuju pada pilihan-pilihan yang Omi tunjuk. Dengan kesakitan, Ardika pahami arti kosong dalam bola mata Omi yang terang cerah.

"Omi sudah mandi. Sama mama Pulung."

Kali ini, haruskah Ardika berikan larangan keras? Rasanya tidak etis di saat orang baru memasuki pintu rumahnya dan putrinya sudah menganggap yang demikian.

"Tante Pulung tadi di tempat belajar bilang kalau gerakan nari aku sudah oke." Masih Naomi lanjutkan obrolannya. Tanpa peduli pada telisikan sang papa lewat tatapan. "Berarti Omi sudah jadi anak pintarnya papa, kan?"

Bau-baunya—Ardika hapal betul tabiat sang anak—akan ada permintaan yang mencengangkan rahang Ardika.

"Tergantung."

"Ih, papa."

Benar, kan?

"Omi mau minta apa?" Langsung Ardika ajukan tanya. "Jangan yang aneh-aneh," sambungnya mewanti-wanti.

"Oh." Mulut Omi bundar ber 'oh' ria. "Teman-teman aku tadi ..." Ardika embuskan napasnya. "Di antar sama mamanya. Omi kapan mau punya mama?"

Jika sudah begini, Omi tumbuh dengan baik. Berkembang dengan sempurna. Karena Omi mulai meminta mama. Yang pastinya sudah paham pengertian 'mama' dalam hidupnya itu apa.

"Omi mau mama?"

Kepala bocah berkuncir dua itu mengangguk. Gigi tengahnya yang ompong terlihat.

"Mama Pulung maunya."

Vokal khas orang tersedak menggema. Yang disebut namanya mendadak diam kaku membawa semangkuk salad buah.

"Nah itu pa. Itu mama Pulung. Omi mau mama Pulung."

Ya Allah, nak. Desah Ardika frustasi. Kamu paham nggak, sih artinya canggung?

Soalnya itu yang Ardika rasakan. Mendadak super canggung sekedar membalas tatapan Pulung. Sedang perempuan berstatus janda muda itu masih mencerna ucapan si anak asuh, matanya terus berkedip lucu. Tubuhnya juga diam tanpa ada gerakan.

"Papa mau, ya?"

Artinya begini: Omi mau mainan itu loh papa. Barbie satu set sama dapur komplit peralatannya.

"Sayang ..."

"No penolakan papa." Terpotong cepat.

Hei! Kira-kira dari mana anaknya itu belajar nggak sopan, ya? Karena seingat Ardika, tidak pernah dirinya ajarkan pada Naomi memotong pembicaraan orang lain.

"Omi mau mama. Titik! Ngambek kalau papa nggak kasih Omi mama."

Kedengarannya begini: Aku nggak mau jadi anak papa lagi.

Wasalam.

***

Inginnya Ardika membahas perihal nominal gaji yang hingga kini belum Pulung ajukan. Tapi begitu melihat perempuan berambut panjang itu memasuki ruang kerjanya, otaknya justru keluar jalur. Yang awalnya ingin menanyakan A justru berubah B. Yang semestinya B justru C dan merembet ke hal absurd lainnya.

"Kamu gimana?" Ini juga maunya Ardika. Sadar tidak sadar lidahnya memalihkan kata. Dari saya ke aku. Yang mestinya memanggil Pulung 'teteh' tapi kata 'kamu' yang meluncur. Ambyar sudah.

Hebatnya lagi—tengsin sebenarnya—Pulung justru terdiam. Kelopak matanya melebar. Hidung mancungnya kembang kempis. Detak jantungnya seolah berhenti. Wajah pucatnya melukiskan penampakan tersebut. Tapi memang dasarnya Ardika ndablek, jadi sekalian saja dirinya pasang wajah tanpa dosa.

Dan terkekeh. "Maksud ak—saya—" ralatnya cepat. "Teteh belum ngasih persetujuan soal gaji." Yang Ardika letakkan map hitamnya. Nanti saja. Sekarang mau fokus natap Pulung buat teman bobok. Eh?

"Saya ikut aturan semestinya saja pak Ar," jawabnya memberi putusan.

Embusan napas Ardika terdengar keras. Pandangan matanya meredup. Awalnya lekat menatapi Pulung tapi dengan satu tangannya menopang kepala dan memijit pelipisnya. Pikiran liarnya melalang buana. Membelah nirwana.

Menikah itu apa, sih?

"Pak Ar?"

"Hm?" sahutan Ardika terlampau santai. Mengerutkan kening Pulung. "Nggak perlu basa-basi lagi. Karena tugas teteh double ..." mestinya ngurusin aku juga—Ardika sambung dalam hati. "Nggak cuma jaga Omi tapi juga ajarin dia nari—"

"Secukupnya saja pak. Jangan berlebihan," potong Pulung cepat yang ia ketahui sebagai tindakan tidak sopan. "Sudah diijinkan berada di sini bagi saya lebih dari cukup. Saya bisa biayai kuliah adik di kampung dan bantu orangtua. Kalau pak Ar masih menawarkan yang lebih, saya pasti nggak tahu terima kasih."

Tidak begitu konsepnya. Ardika Aksara berhak memberi gaji berapa pun jumlahnya untuk para pekerja yang ada di bawah naungannya. Di perusahaannya juga berlaku hal demikian. Itu masuk dalam kekompetenan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.

"Jujur ..." Jeda Ardika. "Saya tertarik dengan permintaan Omi."