Chereads / Tiga Kali Menikah / Chapter 7 - Bab 7

Chapter 7 - Bab 7

Pagi itu, datang kurir berseragam orange khas Indonesia. Jarum pendek belum tepat menyentuh angka enam tapi lelaki berkisar umur 45 tahun membunyikan bel di kediaman Ardika. Yang langsung di buka si empunya.

"Surat, pak," katanya ramah.

Ardika terima. Melihat nama yang tertera di sana: Pulung.

"Terima kasih pak." Setelah Ardika torehkan tanda terima dan bergegas masuk kembali.

Bersamaan dengan itu, Pulung melewatinya. Dengan pakaian tidurnya yang tidak mencolok tapi cukup mampu membuat Ardika menelan ludah. Setelah sekian tahun menduda, rasanya cukup aneh mendapati pemandangan lain di dalam rumahnya.

Bermain dengan para wanita di luar sana bukan hal sulit untuk Ardika. Tapi Pulung?

Kepala Ardika pening dadakan. Kedua matanya terpejam sekedar meredam degup jantungnya yang bertalu. Dalam batinnya bertanya: perasaan apa ini. Jika hanya sesaat yang dirinya rasakan karena napsu, doa dalam hatinya cukup kuatkan imannya saja. Tidak etis jika sampai tindakannya kepada Pulung melampaui batas.

"Surat buat teteh."

Tiba-tiba tubuhnya sudah berada di dapur. Di perbatasan meja barnya dengan Pulung yang meracik sayur serta minuman. Yang semestinya tidak perlu dilakukannya mengingat statusnya sebagai pengasuh.

"Itu—"

"Omi yang minta pak." Ardika membulatkan bibirnya. Heran dengan tingkah putrinya. "Oh ya, makasih pak." Pulung terima suratnya.

Raut wajahnya berubah keruh. Ada ukiran kemerahan di hidungnya—menahan tangis.

"Teteh oke?" Ardika perlu melayangkan tanya. "Suratnya—"

"Nggak penting pak. Tapi saya senang."

Loh? Kok aneh? Katanya nggak penting tapi senang. Bisa jelaskan kepada Ardika bagaimana isi pikiran perempuan? Atau bentuk otaknya saja, deh.

"Ini harta gono gini dari sua—mantan maksudnya. Saya hampir lupa soal ini. Setidaknya, jumlah nominal uang yang saya terima bisa membantu keluarga di kampung." Cerita Pulung.

Yang membuat Ardika terus mematung adalah ekspresi wajah Pulung. Begitu tenang meski tangisan tertahan nampak tergambar. Suara seraknya yang bergetar masih di paksa bertahan untuk tidak membuat orang sekitar khawatir. Pancaran matanya kuat dan pekat.

Jadi itu surat sah perceraian dari mantan suaminya. Yang Ardika gariskan senyum semili. Entah kenapa dirinya bahagia. Ada degupan lain yang dirinya tebak ini normal. Dari awal menerima Pulung memang ada rencana untuk Ardiki miliki. Meski tahapnya belum seluruhnya terpenuhi, menunggu harus Ardika jalani.

"Saya nggak bisa bantu banyak teh. Tapi semoga pekerjaan ini cukup membantu keluarga di kampung. Saya juga nggak membatasi peluang teteh untuk mencari yang lain. Selama itu baik, saya dan Omi mendukung."

Dahi Pulung berkerut-kerut. Merasa tersanjung juga aneh sekaligus. Kenapa kalimat Ardika seolah mereka saling mengenal dan terbiasa berbagi? Kenyataannya, tak lebih dari satu minggu.

"Makasih pak."

Jadi ini akhirnya. Yang Pulung pikir, tadinya, hidupnya baik-baik saja nyatanya tidak demikian. Saat pulung pikir dirinya bisa mengukur seberapa besar kebahagiannya, bahkan saat dirinya berbagi atap yang sama dengan mantan suaminya dan berada di sudut yang sama dalam satu ruang, pikirnya itu cinta. Tapi lagi-lagi bukan. Lagi-lagi harus Pulung serukan bahwa cinta selalu memiki banyak arti tapi juga berbeda cara memaknainya. Entah kenapa itu sulit sekali di bedakan.

Seperti menangis di bawah hujan atau hujan dengan air mata. Mereka tercampur atau bercampur pun hampir di katakan sama.

"Kenapa teh?"

Pasalnya Pulung terkekeh dengan tatapan mata yang nyaris kosong. Sedang tubuh Ardika yang terpaku di depan meja bar hanya bingung memerhatikan. Secara langsung Ardika mengatai dirinya bodoh. Karena sejak dulu, tidak pernah dirinya pahami apa maunya perempuan.

Simpelnya begini. Saat perempuan berkata: 'Aku baik-baik saja.' Aslinya tidak demikian. Kalimat tersebut sudah menyiratkan makna bahwa kondisinya tidak baik-baik saja.

Atau saat seorang bucin di tanyai oleh kekasihnya: 'Aku cantik, kan?' Ekspresi si bucin datar saja. Dalam hatinya membatin: 'Cantik.' Namun mulutnya menjawab: 'Seperti biasanya; nggak pantas baju itu sama kamu.'

Eh ... tapi?

Ardika termenung. Jarinya mengusap dagunya. Kenapa otaknya baru bisa berpikir sekarang bahwa sebenarnya tidak laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki keribetan yang setimpal. Lantas, fungsi mulut untuk apa?

"Kehidupan ini aneh, kan, pak?" Bagian mana yang aneh? "Menikah cuma buat cerai. Ketemu cuma buat pisah. Bareng cuma buat nyakitin satu sama lain. Hukum alam kok sekeras itu."

Bahkan dalam bait sebuah lagu saja sudah di jelaskan. Perpisahan jelas ada dan pasti akan terjadi. Entah kapannya kita hanya bisa menunggu.

Ardika embuskan napasnya sebelum menjawab, "bukan aneh teh. Tapi memang wajar terjadi. Beberapa orang lebih memilih mengakhiri ketimbang bertahan. Kalau berjuangnya sama-sama itu lebih baik, nah kalau cuma diri sendiri yang memperjuangkan? Indonesia merdeka pun di usung banyak tokoh pahlawan teh. Begitu saja masih kalah."

Kalahnya sama penjajah barang-barang brended keluaran luar negeri.

"Saya nggak tahu ini bakal ngebantu teteh atau enggak," lanjut Ardika. Ia seruput kopi panasnya yang baru di sediakan bi Sinah. "Jalan kita masih panjang. Waktu yang ada saat ini, mesti kita pergunakan dengan baik. Hidup di masa kini yang sedang kita jalani, belajar dari masa lalu dan punya perencanaan untuk masa depan."

Ketika mengatakan itu, mulut Ardika merasa kebas beberapa detik. Entah pada rasa kopinya yang pekat pahitnya atau pada kalimat puitisnya. Manusia sering kali bisa memberikan nasihat untuk orang lain, namun untuk dirinya sendiri belum tentu bisa menerapkan. Mungkin itu artinya kita perlu bersosialisasi.

"Saya nggak tahu lagi selain pura-pura."

Yang hingga kini menaungi isi kepala Ardika. Maksud jawaban dari Pulung sungguh tidak dirinya mengerti. Hendak bertanya, Pulung sudah lebih dulu hengkang. Melangkah menuju sang putri yang minta di mandikan. Ketika di dalam mobil, mengantar keberangkatannya menuju sanggar tari, fokusnya juga bersama Omi. Jelas, Ardika tak memiliki kesempatan bertanya. Yang kini membuatnya penasaran setengah mati.

"Apa gue tanya saja sama Dante, ya?" gumamnya.

Bisa saja itu Ardika lakukan. Tapi mengetahui seberapa jahilnya Dante, Ardika urungkan niatnya. Padahal ponsel dengan dial nomor Dante sudah menempel di telinganya.

"Bisa di babat habis gue sama itu bocah." Karena keusilan Dante sungguh tiada tara.

Sebelum menyetujui Pulung untuk bekerja di rumahnya, godaan demi godaan Dante suarakan.

"Ciyee yang bentar lagi lepas status. Duren otw pamud." Apaan tuh? "Papa muda, elah." Mengerti ke mana ketidaktahuan Ardika perkara singkat-menyingkat. "Duren sih duren. Eh kurang gaul."

Begitu seterusnya. Ejekan demi ejekan terjalin. Sampai akhirnya Ardika setujui, yang makin-makin saja kicauan bocah 20-an itu.

"Anak cowok lho, ya. Gue mau gendong ponakan cowok. Awas kalau jebrol Omi jilid II. Gue kebiri lo."

Ini makin aneh lagi. Rejeki kok request. Kalau di minta oke saja, lah ini? Ya kali sudah keluar cewek di masukin lagi. Bisa gila Pulung nantinya.

Loh? Eh?

Mata Ardika mengerjap. Kenapa bisa ke sana ya pikirannya. Jangan-jangan?