Yang sangat bersemangat justru Naomi. Pagi-pagi sekali sebelum matahari menyinari bumi Karawang, racauannya perkara mandi dan pakaian yang ingin di kenakan memekakkan rungu Pulung. Tapi mau bagaimana pun, Pulung hanyalah pengasuh yang bertugas dan di gaji mengikuti keinginan sang tuan putri. Jadi, ketelatenan yang Pulung berikan, selembut mungkin dalam bertindak, sesering yang bisa bibirnya rekahkah senyum, ia lakukan. Dengan harapan, semua rejeki yang sedang di carinya berkah. Kembali mengingat topik keluarga yang mendasari motif semangatnya.
"Mama harus pakai baju yang sama kaya Omi."
Mulai sekarang, pendengaran Pulung harus tebal. Dengan sengaja atau tidak panggilan itu Naomi serukan. Enak tidak enak, Pulung bawa santuy saja. Dasarnya, bocah selalu nggak mau di lawan. Like woman yang merasa benar terus.
"Duhh, nggak punya Omi."
Wajah cantiknya yang sudah Pulung poles dengan bedak bayi cemberut. Bukannya sangar malah lucu. Yang Pulung towel-towel pelan.
"Cantik-cantik ngambekan, ya," goda Pulung. "Tante pakai yang seadanya saja. Biasanya kalau nari itu pakaiannya—"
"Omi ada ide ma." Di potong sebelum selesai. Langkah kaki kecilnya berlari keluar kamar dan masuk lagi membawa paper bag. "Ini." Menyerahkan kepada Pulung. "Omi beli ini kemarin buat mama. Apa namanya kalau orang gede bilang... ketapel, ya?"
Hah?!
Ketapel yang buat nyolong mangga pak RT di komplek sebelah?
"Oh couple maksudnya?" Pulung koreksi cepat. "Itu artinya kembar sayang."
Bibir Naomi berbentuk O.
"Tante pakai ini, ya. Biar kita kelihatan kompak."
Pulung buka paper bagnya. Terlihat bungkusan dalam plastik baju berwarna senada milik Naomi.
"Ini mungkin punya papa, Omi."
"Buat mama. Baju itu nggak akan muat di badan papa."
"Maksudnya ..."
"Itu memang punya teteh. Naomi yang pilih."
Terpangkas oleh baritone lain. Pulung menoleh dan tersenyum kikuk.
"Berlebihan pak."
"Teteh harusnya panggil saya nama saja. Sejak awal ketemu sudah saya katakan."
Meringis tidak enak lagi-lagi Pulung lakukan.
"Ini berlebihan banget padahal saya baru mulai bekerja."
"Anggap saja bonus."
Ardika hengkang dari sana. Meninggalkan putrinya dan Pulung yang di berikan kepercayaan penuh. Seumur-umur bekerja, jika Pulung boleh jujur, baru kali ini dirinya mendapat hak istimewa. Bayangkan saja. Pekerjaannya belum berjalan selama satu minggu, putri bosnya sudah sangat nempel padanya. Di banding ke papanya, Naomi malah seruntal-seruntul mengekori Pulung. Atau memang dasarnya anak kecil suka begitu? Pulung kurang paham juga.
Sekarang saja, perkara tidur pun harus dengan Pulung. Sampai ke acara mandi dan makan hanya mau di urusi Pulung. Wajar memang. Itu masuk ke daftar tugas seorang pengasuh. Tapi peran papanya jadi berkurang untuk memanjakan anaknya.
"Mama ... Omi mau sup tahu putih."
"Pagi-pagi begini?" Omi mengangguk mantap. Pulung turuti namun tungkainya terhenti. "Kenapa nggak mau sama bibi?"
"Aku mau masakan tante Pulung. Masakan bibi pedas."
Bertambah saja agenda Pulung pagi ini.
"Omi main dulu deh di ruang tv. Nanti tante susul."
Menurut dan segera pergi menuju perintah. Yang belum Pulung mengerti tentang tatanan pekerja di sini. Begitu kakinya menginjak dapur, bibi yang biasa memasak sedang melaksanakan tugasnya. Pulung jadi enggan apalagi jajaran lauk pauk sudah siap sedia di meja dapur tinggal di usung ke meja makan.
"Gimana mbak?" kebetulan bibi ini dari jawa. Akses medoknya juga kentara. Pulung menggeleng. "Mbak sudah mau makan?"
"Bukan, sih, teh." Pulung gigit bibirnya. "Omi minta sup tahu putih." Terutarakan sudah. "Tapi teteh sudah masak begini, kan, sayang kalau—"
"Di buatin saja mbak. Omi suka ngamuk semisal nggak di turuti." Beruntung sekali karena bibi Sinah pengertian. "Saya nggak kaget lagi sama sikap Omi. Maklum lah—"
"Bi, kopi saya mana?"
Tepat sekali rasa penasaran Pulung mendadak membumbung. Sebenarnya, ada satu pertanyaan yang bercokol pada kepalanya. Bukan bermaksud ingin kepo. Tapi kalau terpangkas terus-terusan arwahnya bisa melayang ke antah berantah.
"Di meja pak."
Langsung minggat dalam sekali jawaban. Dan bi Sinah nggak mau melanjutkan apa yang akan di sampaikannya tadi.
"Tahu putihnya di kulkas bagian tengah mbak." Malahan instruksi macam itu yang keluar. "Kasih wortel juga nggak apa-apa. Kata bapak mesti di ajarin makan sayur."
Pulung patuhi titah bi Sinah. Karena bagaimana pun—wanita yang berumur kisaran 35-an itu lebih berpengalaman di banding Pulung.
Semua bahan yang di butuhkan tersedia dan Pulung racik semuanya. Menuang air rebusan ke dalam panci lantas memasukkan potongan tahu putih dan wortel ke dalamnya setelah matang.
"Bibi asli mana?" Pulung coba membangun interaksi. Sekali pun terkesan canggung, nampak dari wajah bi Sinah sikap ramahnya.
"Purworejo mbak."
"Jauh, ya, bi?"
"Lumayan mbak. Satu malaman lah naik bis. Mau main ke sana pha?"
Khas sekali bahasa jawa. Pulung tertawa. Bi Sinah ramah sesuai perkiraannya. Sumeh jika masyarakat jawa bilang.
"InsyaAllah ya bi."
***
Sampai di sanggar tari, secepat kilat Omi bergabung dengan kumpulan lainnya. Isinya kebanyakan anak-anak TK. Sepantaran dengan Omi. Sedang Pulung berada di ruang lain mengobrolkan hal-hal mengenai pengajar di sanggar ini.
"Gajinya mungkin terbilang sedikit mbak."
Namanya bu Endang. Asli karawang berumur 40-an.
Gelengan serta senyuman Pulung rekahkan. Katanya, "Saya ingin berbagi ilmu bu. Kebetulan dulu nari juga di kampung. Soal gaji, itu bonus atas kerja saya."
"Syukur kalau mbak Pulung nggak memusingkan hal itu. Saya takutnya nggak cocok. Takutnya sudah setengah jalan malah mandek. Kan sayang mbak. Kalau mbak sudah siap, ayo kita temui murid barunya. Saya dengar ada anaknya pak Ardika yang ikut, ya?"
"Iya bu. Mumpung ada waktu dan sekolah masih daring."
Bu Endang mengembuskan napasnya. Gusar dan gelisah. "Tahun ini lumpuh total ya mbak. Semua kalangan sektor nggak bisa bergerak sesuai semestinya. Pabrik yang biasa ekspor sebulan sampai tiga-empat kali berkurang."
Berjalan beriringan, Pulung setuju dengan topik yang bu Endang angkat.
"Belum lagi RUU Cipta Kerja yang amat sayang di sesalkan justru ketok palu. Covid-19 belum bisa tertangani eh masalah lain di munculkan."
"Kita ambil segi baiknya saja bu. Berdoa, semoga dengan adanya ini akan ada perubahan. Walaupun nggak signifikan, ini yang di harapkan warga Indonesia."
Ya, semoga saja. Harapan lewat aksi yang para buruh serta mahasiswa terjunkan membuahkan hasil. Dan semoga saja, pada setiap doa yang di panjatkan menyembuhkan negara ini. Semoga saja. Yang tiap-tiap manusia gemakan lewat sujudnya. Semoga saja.
***
Hari pertama menjadi guru tari di sanggar lancar. Banyak ucapan syukur yang Pulung sematkan lewat senyuman. Anak-anak asuhnya juga sedikit banyaknya lihai dalam mengikuti instruksi gerakannya. Kecuali yang benar-benar baru dalam menjajaki latihan tari, Omi salah satunya.
Bocah berkepang satu dengan dress biru motif bunga-bunga cerah terlihat kesal. Sesekali bimoli—bibir monyong lima senti—yang Pulung tahan tawanya. Takut tersinggung. Anak kecil di banding di tertawakan karena aksi konyolnya, pujian lebih senang mereka kantongi.
"Begini sayang." Sejatinya Pulung pun tidak tahu sudah seberapa dekat dirinya dengan Naomi sehingga kata sayang meluncur begitu anteng. Tapi seperti yang Pulung katakan, anak kecil suka dengan sanjungan dan pujian. "Nah begitu. Tahan sebentar saja. Tahan, ya."
Kembali Pulung berjalan. Memerhatikan mana-mana saja gerakan muridnya yang belum pas dengan arahannya.
"Kaki kamu lebar sedikit." Pulung pindah ke pojok ruangan. Bocah perempuan berumur tujuh tahun kurang merapatkan kakinya. "Lemasin saja kakinya. Rileks biar nggak sakit."
Sampai selesai jam mengajarnya. Pulung nikmati peran baru pada pekerjaannya. Tidak ada yang namanya sia-sia jika kita mau belajar. Tak akan hasilnya berkhianat jika kita benar-benar berusaha. Kini, Pulung buka lembaran baru juga menutup luka lamanya. Tak ada celah baginya mengeluh atau pun berhenti berjuang. Demi masa depannya. Demi adiknya. Dan demi keluarganya.