Tari jaipong lahir dari kreatifitas seorang seniman Bandung bernama Gugum Gumbira yang menaruh perhatian besar pada kesenian rakyat seperti tari pergaulan ketuk tilu. Gugum Gumbira memang sangat mengenal pola-pola gerak tari tradisional ketuk tilu, seperti gerak bukaan, pencugan, nibakeun, dan gerakan-gerakan lainnya.
Pada awal kemunculannya, tari jaipong disebut dengan ketuk tilu perkembangan karena tarian ini memang dikembangkan dari tari ketuk tilu.
Karya Gugum Gumbira yang pertama kali di kenal masyarakat adalah tari jaipong "Daun pulus keser bojong" dan "Rendeng Bojong". Dari kedua jenis tarian itu, muncullah sejumlah nama penari jaipong yang terkenal seperti Tati Saleh, Eli Somali, Yeti Mamat, dan Pepen Dedi Kurniadi. Kemudian pada tahun 1980-1990-an, Gugun Gumbira kembali menciptakan tari lainnya seperti toka-toka, setra sari, sonteng, pencug, dan lain-lain. Kembali lagi muncul penari-penari jaipong yang handal seperti Ine Dinar, Aa Suryabrata, Yumiati Mandiri, Asep Safat, Iceu Effendi, dan beberapa penari lainnya.
Bisa dikatakan, tari jaipong sudah menjadi salah satu ikon kesenian Jawa Barat, dan sering dipertontonkan pada acara-acara penting untuk menghibur tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat. Juga, saat melakukan misi kesenian ke mancanegara. Padahal di awal kemunculannya, tarian ini sempat menjadi perbincangan hangat, terlebih karena gerakan-gerakannya yang dianggap erotis dan vulgar. Tapi hal itu justru membuat tari jaipong mendapatkan perhatian dari media, termasuk ditayangkannya tari jaipong pada tahun 1980 di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Semenjak itu, tari jaipong semakin popular dan frekuensi pementasannya pun semakin bertambah.
Kelahiran tari jaipong pun meginspirasi para penggerak seni tari tradisional untuk lebih lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Kumunculan jenis tarian ini juga membuka lahan usaha bagi para penggiat seni yang membuka kursus untuk belajar tari jaipong. Sementara pengusaha hiburan malam memanfaatkan tari jaipong untuk memikat pengunjung tempat usahanya.
Seperti sudah di tuliskan di atas. Penjelasan tentang tari jaipong dari awal terbentuknya sampai eksistensinya yang hampir punah bahkan di salah gunakan.
Tahun 2020 adalah tahun keterpurukan bagi seluruh manusia. Tidak satu atau dua negara yang merasakan dampaknya, hampir seluruh isi di dunia ini mendapatkan yang maha dahsyat. Merosotnya perekonomian yang turun dengan tajam, angka pengungguran yang berjubel naik, kemiskinan yang tidak bisa di elakkan dan kasus-kasus lainnya yang ikut mendukung.
Covid-19 menyapa Indonesia di bulan ketiga tahun ini—Maret. Bagi sebagian orang, mereka yang pegawai kantoran akan memanfatkan waktu work from home sebagai sarana mempererat tali keluarga atau mengganti waktu rodinya untuk bertukar cerita. Sedang bagi kaum bawahan, babu katakanlah begitu, akan menjerit tangis, legowo lan nerimo karena kehilangan pekerjaannya. Berusaha segigih apapun, jika atasan sudah mencantumkan namanya masuk daftar di rumahkan, tetap saja say good bye.
Pulung Rinjani salah satunya. Perempuan berdarah sunda, berumur 24 tahun yang harus menghela napas berkali-kali. Ibu kota begitu kejam untuk dirinya yang hanya lulusan SMA. Sudah sangat beruntung baginya mengenyam pendidikan sampai SMA. Di kampungnya, Garut, sekolah tidaklah begitu penting. Asal sudah laku di pinang oleh lelaki, menikah di jadikan ajang balapan. Bekerja bagi kaum hawa di daerah pegunungan bukan sebuah keharusan.
Sayangnya, Pulung tidak memiliki hak istimewa untuk berleha-leha seusai pendidikannya selesai.
Bertahun-tahun sejak lulus sekolah, Jakarta menjadi sahabatnya. Pekerjaannya ia jadikan rumah di mana untuknya bisa makan nasi dua kali sehari—minimalnya. Dan mengirim sebagian gajinya untuk ayah ibunya di kampung. Dari situ, bisa Pulung angkatkan derajat keluarganya dengan si bungsu yang masuk ke tingkat universitas.
Nahas, pandemi ini menghancurkan impian sebagian orang yang awalnya sudah hidup dengan adem ayem.
Fakta itu diiringi dengan surat cerai yang suaminya kirimkan. Lelaki tampan yang Pulung nikahi satu tahun ini ternyata memilih menyudahi hubungan keduanya.
Katanya:
"Tahun ini susah. Ekonomi juga turun drastis. Kalau harus menghidupi kamu, saya bisa mati berdiri."
Aga Kusuma mengucapkan susunan kalimatnya dengan lancar. Pulung terima saja. Kalau harus bercerai, artinya sudah tidak jodoh. Yang hari itu juga Pulung bubuhkan tanda tangannya. Pertanda itu, usai sudah perjalanan kehidupan rumah tangganya.
"Maaf. Jika selama melayani saya kurang memuaskan."
"Beruntung kamu tidak hamil."
Tidak Pulung dengarkan. Kedua kakinya melangkah mantap keluar dari rumah yang mengayomi tubuhnya dari panas dan hujan selama masa pernikahannya. Kopernya Pulung seret menuju taksi online yang sudah di pesan.
"Ke mana neng?" Bapak Sopir sigap menaruh bawaan Pulung ke dalam bagasi dan bertanya tujuannya.
"Fatmawati Pak." Ada saudara Pulung di sana. Mungkin bisa memberikan dirinya pekerjaan.
Pasca di PHK dari pabrik yang menjadi pundi-pundi uangnya, Pulung harus lebih ekstra mencari. Tiga bulan di rumahkan, Pulung pikir suaminya—mantan—sudah pas menjadi lelaki idaman mengingat trackingnya yang penuh tanggungjawab. Mereka selalu bekerja sama dalam urusan keperluan rumah mulai dari air, listrik, belanja bulanan, sampai cicilan motor dan mobil. Yang bisa teratasi dengan mudah. Begitu Pulung menganggur, justru di campakkan lantaran tidak memiliki pemasukan.
"Jakarta mah kejam neng." Vokal bapak sopir mengudara. Membelah sunyinya mobil dan terbawa keramaian di luarnya. "Corona bikin yang miskin makin miskin. Yang kaya keenakan." Pulung benarkan dalam hati. "Cari gawe susah. Pemerintah kagak bisa kasih jaminan buat rakyatnya."
Ini salah satu contoh kesalahan di mana masyarakat getol menyalahkan pemerintah. Pemerintah sekali pun memiliki wewenang untuk bertindak, mereka tetap punya pertimbangan untuk menjalankan setiap kebijakan. Apakah peraturan yang mereka keluarkan berdampak pada kebaikan atau malah membuat suasana memanas.
"Mungkin belum rejeki pak." Pulung ulaskan senyum segarisnya.
Hatinya teriris pilu. Bukan pada perceraian yang baru di awalinya. Namun pada bagaimana pandangan masyarakat akan dirinya yang janda terlebih tanpa adanya anak. Penilaian netizen pasti pada unsur keburukan.
Seperti:
"Mandul kali."
"Nggak pintar di ranjang."
"Namanya sudah punya suami ya mesti pandai merawat diri."
"Cantik saja nggak menjamin."
"Ibarat kucing di kasih rendang, mana nolak!"
Mata Pulung terpejam. Ketakutan yang tidak pernah dirinya bayangkan mendadak membayangi. Status jandanya pasti buruk sekali citranya.
"Sampai neng."
Pulung sodorkan uang kertas sesuai nominal di aplikasi.
"Ambil saja kembaliannya pak. Jaga kesehatan. Masker dan hand sanitizernya jangan lupa."
"Nuhun neng. Sami-sami buat neng. Yang terbaik."
Kost mewah yang ada di hadapan Pulung menggambarkan seberapa banyak penghasilan saudaranya. Dan menjelaskan seperti apa pekerjaannya. Akankah Pulung ikut sertakan?
Demi kuliah adiknya. Demi ayah ibunya. Demi keberlangsungan hidupnya. Toh, bukankah dirinya sudah rusak sejak beberapa jam yang lalu. Jadi, tidak akan menimbulkan masalah yang pelik selama bangkainya tersimpan rapat.
Baik. Tidak masalah.
Demi adik dan keluarganya. Berjuang sekali lagi tidak akan menjadikan masalah bagi Pulung. Terlebih statusnya yang janda, Pulung yakin akan memberi kemudahan dalam mengurusi keluarganya.