"Kamu sedang berbicara dengan siapa?"
Luna nyaris terlonjak ketika suara berat itu memasuki indra pendengarannya. Sekali mendengarnya, bahkan sebelum dirinya berpaling, dia sudah menduga pertanyaan tersebut ditujukan untuknya. Memang siapa yang akan mengajukan pertanyaan serupa kepada manusia normal? Tidak ada.
Dan saat akhirnya dia menoleh, bukan hanya dirinya yang terkejut tetapi juga Rio.
Alasannya?
Karena keberadaan pria yang tak pernah mereka kira akan berdiri di sana dan tengah menatap mereka. Ralat. Cuma Luna.
Luna menelan ludahnya dengan susah payah. Keadaan ini sungguh mengejutkan hingga dia bingung harus bereaksi apa. Tetapi, memang, dia mesti bagaimana menjawab pertanyaan itu? Dirinya tengah berbicara dengan malaikat maut? Tidak mungkin! Tidak akan ada yang mempercayainya. Jika hantu, itu lebih terdengar masuk akal.
"A-Aku sedang bicara dengan diriku sendiri. Menghibur diri." Dia sedikit tergagap saat mengujarkannya. Meski demikian, dia berharap lelaki itu menerima saja jawabannya tanpa pertanyaan tambahan yang memusingkannya.
Rangga terdiam, namun wajahnya jelas menampakkan raut berpikir. Dia melirik sekilas pada sekeliling Luna. Dan ketika tak menemukan apa pun--yang artinya jawabannya benar--dia mengembalikan pandangannya pada wanita berpakaian serba hitam itu.
Hm, sejak awal dia sudah merasa aneh dengan gaya berpakaian Luna. Walaupun perempuan itu telah melepaskan mantel hitamnya dan menentengnya di tangannya, hal itu tetap mengganggunya.
"Kamu wanita yang tadi kutolong, bukan?" tanyanya kemudian. Sebenarnya, dia sudah tahu jawabannya. Namun, sebagai pembuka percakapan, dia menanyakannya. Yah, sekadar basa-basi. Juga, dia hendak menunjukkan bahwa dirinya bukan benar-benar orang asing yang tiba-tiba mengajaknya bicara.
"Iy-" Ucapan Luna terhenti kala dia menyadari sesuatu. Dia tidak seharusnya merespons begitu. Bagaimanapun, dia belum melihat wajah penolongnya kendati dia sudah mengetahui rupanya. "Jadi kamu yang menolongku siang tadi?" Ini reaksi wajar. Dia perlu memperlihatkan kemampuan beraktingnya semaksimal mungkin.
Tanpa menunggu balasan dari Rangga, dia berjalan menghampirinya. "Makasih sudah menolongku. Aku ke sini untuk mengatakan hal itu."
Sekarang, dia terdengar meyakinkan, bukan?
Sebuah senyum tipis tersimpul di bibir Rangga. "Kamu nggak perlu ke sini. Tadinya aku berencana menjengukmu."
Satu hal lagi yang mengejutkan Luna. Rangga hendak mengunjunginya? Dirinya? Seseorang yang baru hari ini ditemuinya?
Dan hanya cengiran lebar-lah yang bisa dia tunjukkan. "Aku sudah di sini." Bila tahu begini, dia lebih baik menunggunya di klinik, alih-alih melelahkan tubuhnya dengan berjalan kaki ke kantornya.
"Gimana kalau kuantarkan kamu pulang?" tawar Rangga sembari bergerak membukakan pintu mobilnya untuk Luna.
Luna bimbang. Tentu saja. Dia tidak punya rumah, dan dia tidak tahu bagaimana mengatakannya.
"Kamu nggak mau kuantarkan pulang?" tanya Rangga usai menemukan Luna cuma diam di tempatnya.
"Bukan begitu," sanggah Luna cepat. Dia menggigit bibir bawanya seiring keraguan yang kian besar menderanya. "Aku nggak tahu harus pulang ke mana." Lirih, dia mengutarakan kalimatnya. Sungguh, kesan pertama yang amat buruk.
Rangga mendengarnya sekaligus melihat keresahan yang begitu kentara di wajah cantik Luna. Otaknya pun bekerja merangkai semuanya. Hanya ada satu kemungkinan yang bisa dipikirkannya. Luna kabur dari rumahnya. "Aku punya apartemen kosong yang bisa kamu tinggali." Singkat, dia menawarkan bantuannya. Bahkan tanpa menggunakan nada tanya untuk meminta kesediaannya.
Oh, mestinya terbalik. Luna-lah yang perlu memohon kebaikannya untuk menolongnya dari takdir terburuk yang dapat terjadi kepadanya. Terlunta-lunta di tengah mencekamnya suasana malam Jakarta. "Bolehkah?" Sekali lagi, kemampuan aktingnya dibutuhkan di sini. Dia sangat membutuhkan bantuannya.
Anggukan pasti Rangga berikan. "Ya. Kebetulan tempat itu belum lama kosong. Kamu bisa tinggal di sana daripada dibiarkan kosong."
Masuk akal. Bangunan yang dibiarkan lama tak ditinggali akan mengundang energi negatif, termasuk malaikat maut sepertinya untuk datang. Terlebih jika tempat itu masih bagus. Itu akan menjadi tempat favorit bagi kami.
Ehem. Malaikat maut. Dirinya yang dulu.
"B-Berapa harga sewanya?" Satu hal penting yang dipelajarinya dari dunia manusia. Tidak ada sesuatu yang benar-benar gratis.
Mata Rangga melebar, tak menduga akan mendengar pertanyaan tersebut. Tak lama, tawa kecil keluar dari bibirnya. Lucu juga mendapati wanita di hadapannya menanggapi bantuannya seperti itu. Padahal, dia tulus melakukannya dan sama sekali tak terpikirkan soal uang sewa atau apa pun sejenisnya. "Nggak perlu. Tapi, kalau kamu memang berniat membayarnya, bisa dimulai dari bulan depan."
Sebuah jawaban diplomatis, bukan? Rangga tetap memberikan keleluasaan bagi Luna untuk membalas bantuannya.
"Sungguh?" Ketidakpercayaan tergambar di seluruh ekspresi yang ditampilkannya. Itu tawaran menggiurkan sekaligus mencurigakan. It's too good to be true, right?
"Iya."
"Kamu nggak akan menarik kata-katamu, kan?" Luna kembali bertanya lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Rangga tak dapat lagi menahan tawanya. Reaksi Luna rupanya mampu menghiburnya dan melepaskan kepenatannya setelah bekerja seharian mengurusi perusahaan. "Kamu bisa memegang ucapanku," janjinya di sela tawa yang mulai mereda.
"Kalau begitu, aku mau menggunakannya," ucap Luna seraya tersenyum lebar dan menampilkan deretan giginya yang rapi. "Itu pun kalau bantuanmu masih berlaku." Di akhir, dia berusaha untuk menahan antusiasmenya. Sebagai pihak yang menerima kebaikan orang lain, dia tidak mau terlihat serakah.
"Tentu saja." Rangga langsung menimpali. "Masuklah." Dia kembali mengisyaratkan Luna untuk memasuki mobilnya. Sudah cukup lama pintu itu dibiarkan terbuka dan cuma menjadi penonton obrolan mereka.
Ups, ada satu orang lagi, yakni sopir Rangga.
Luna berjalan mendekati Rangga dan sedan hitamnya. Langkahnya terasa ringan seolah-olah beban di pundaknya telah terangkat. Dia tidak perlu lagi memikirkan di mana dirinya akan tidur. Satu masalah beres.
Tapi, tepat selangkah lagi sebelum dia memasuki mobil Rangga, kakinya terhenti. Dia menggerakkan tubuhnya sehingga mereka berhadapan dalam jarak tiga jengkal dan mengulurkan tangan kanannya secara mendadak. "Namaku Luna."
Ah, ternyata Luna hendak memperkenalkan diri. Jika diingat kembali, mereka memang melewatkan bagian pembuka itu.
Rangga menjabat tangan itu sembari menyebutkan namanya, "Rangga."
"Senang bisa berkenalan denganmu, dan makasih sudah mau membantuku."
"Ucapan makasihnya nanti saja kalau kita sudah sampai di sana."
"Oh!" Luna sedikit berseru merespons kalimat yang sekilas seperti sebuah perintah halus itu. Mungkin, kesabaran Rangga sudah habis untuk meladeni omongannya di trotoar jalan yang ramai, panas, dan berdebu. Siapa yang tahan berlama-lama di luar tatkala ada tempat lain yang lebih nyaman dan menawarkan privasi yang lebih terjamin?
Dia menarik tangannya. "Aku akan masuk," lanjutnya, lebih kepada bergumam ke dirinya sendiri. Lantas, dia bergerak memasuki mobil diikuti Rangga di belakangnya.
Setelah seluruh pintu tertutup rapat, laki-laki paruh baya dengan uban mewarnai rambut hitamnya mulai menjalankan mobilnya. Perlahan namun pasti, kendaraan mereka beranjak meninggalkan area tersebut dan bergabung dalam kemacetan panjang.
"Sopir ini juga seharusnya mati hari ini."
Dan tentu, mereka bukan hanya bertiga di dalam sana. Ada Rio yang terus menempel di sisi Luna dan ikut ke mana pun mantan malaikat maut itu pergi.