Chereads / Cinta Sang Malaikat Maut / Chapter 9 - Rasa yang Aneh

Chapter 9 - Rasa yang Aneh

"Apa Bapak nggak berlebihan?"

Pertanyaan itu seketika memecah keheningan yang belum lama tercipta di dalam mobil mewah tersebut. Hadi, sopir Rangga, yang mengujarkannya. Tentu, lawan bicara yang dimaksudnya tak lain adalah sang bos, Rangga.

"Apa?" Rangga, yang tidak mengerti, balik bertanya pada pria paruh baya itu. Hadi merupakan sopir tertua di kantornya, yang jika dia tak salah ingat, lima tahun lagi akan pensiun.

"Perempuan yang bernama Luna." Hati, hati, Hadi menyuarakan nama itu. "Apartemen, uang, makanan, dan sekarang handphone-" Dia menyebutkan semua yang dilakukan Rangga sejak atasannya itu bertemu Luna petang kemarin "-apa Bapak nggak terlalu berlebihan memberikan semua itu padanya? Kita baru bertemu kemarin." Dia melanjutkan dengan nada memperingatkan. Ya, dia tahu apa saja yang Rangga lakukan untuk wanita itu.

"Oh, itu." Rangga kini mengerti maksud Hadi. "Bukankah Pak Hadi pernah bilang kalau kita harus banyak berbuat baik?" Dia justru mempertanyakan kecemasan yang ditunjukkannya. Apa yang salah dengan membantu orang lain? Toh, dia sanggup dan memiliki kemampuan untuk melakukannya. Bantuan seperti ini sebenarnya bukan masalah besar untuknya.

"Iya, sih, Pak." Mau tak mau, Hadi setuju dengan pernyataannya. Bagaimanapun, dia pernah berkata demikian. Dan memang, tidak ada yang salah dengan berbuat kebaikan. "Tapi, berbuat baik juga perlu dipikirkan. Apa Bapak nggak curiga dengan Luna?" Akhirnya, dia mengutarakan maksud sesungguhnya di balik basa-basi cukup panjangnya.

Senyum samar terulas di bibir Rangga. Sebuah pemahaman pun memasuki benaknya. Rupanya, ini tentang kecurigaan Hadi terhadap Luna. Yah, dia tidak bisa menghentikan sopirnya berpikir begitu. Baru sehari mereka bertemu Luna, dan dia sudah memberikan banyak kepada perempuan itu. Jelas, itu akan memicu tanda tanya pada siapa pun yang melihatnya. Tak terkecuali Hadi yang terus ada bersamanya ketika pertemuan itu terjadi dan dia yang melakukan semua yang disebutkannya.

Namun, ada alasan kenapa dia melakukannya. Sejak pertama kali melihat Luna tergeletak di jalanan, dia merasakan rasa ketertarikan kuat kepadanya. Itu seperti cinta pada pandangan pertama.

Tidak. Tidak. Perasaan itu bahkan lebih kuat dari itu. Ada keinginan untuk melindungi sekaligus menyayangi yang teramat dalam. Dan tiba-tiba, dia menginginkan Luna menjadi wanitanya.

Apakah alasan itu terdengar masuk akal untuk Hadi?

"Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi, sepertinya, Luna bukan wanita berbahaya. Dan juga aku nggak mungkin membiarkan seorang gadis berkeliaran di jalanan di malam hari. Ini Jakarta." Makna lain dari kalimatnya adalah ibu kota bukanlah tempat yang aman di malam hari, entah itu bagi pria dan terutama, wanita. Dia memilih untuk tak mengujarkan pemikirannya. Untuk apa? Hadi pasti akan menambah panjang ceramahnya.

Hadi tidak merespons. Tampaknya, dia masih kesulitan untuk menyetujui perkataan Rangga. Jakarta di malam hari memang berbahaya. Tetapi, orang tak dikenal juga sama berbahayanya. Setuju?

Rangga yang melihat itu pun hanya dapat menghembuskan napas. Tampaknya, topik ini tidak akan selesai di sini. Masih banyak argumen-argumen lain yang bisa mematahkan keputusannya. Namun, dia sudah tak mempunyai tenaga untuk melanjutkan perdebatan mereka. "Aku akan waspada. Jadi, Pak Hadi tenang saja." Di akhir, dia berusaha menenangkan segala keresahan lelaki tua itu. Meski tanpa diminta pun, sedianya, dia akan tetap waspada. "Kita pulang sekarang," imbuhnya dengan memberikan perintah kepada sang sopir.

Hening beberapa detik sebelum Hadi menjawab, "Baik, Pak."

--

Luna sedang duduk di meja makan sembari mengaduk-aduk pelan mangkuk di hadapannya. Asap tipis mengepul dari dalamnya yang secara tak langsung menunjukkan suhu di dalamnya. Lebih tepatnya, makanan yang berada di mangkuk tersebut.

Dia barusan membuat mie instan, salah satu makanan cepat saji yang dibelinya pagi tadi. Kali ini, dia mencoba rasa kari setelah pagi dan siang mencicipi rasa soto dan bakso. Ternyata, ada bermacam-macam rasa dan ke-semuanya enak. Pantas, makanan ini menjadi favorit banyak orang.

Diambilnya satu suapan menggunakan garpunya untuk kemudian meniupkan udara pada permukaannya. Asal yang intens keluar dari sana membuatnya tak berani langsung memasukkannya ke dalam mulut. Cukup sekali dia melakukannya. Tidak akan ada yang kedua, kecuali dia menghendaki lidahnya terbakar.

Namun, sebelum dia sempat menikmati hasil dari usahanya mendinginkan suhu makan malamnya, bel rumahnya berbunyi. Dia cuma bisa menatap nanar makanannya dan dengan terpaksa memasukkannya kembali ke dalam mangkuk.

"Rangga." Dia menyematkan ekspresi terkejutnya tatkala menemukan sosok yang ada di balik pintu rumahnya. Tetapi, bila dipikirkan kembali, memang siapa yang akan bertamu ke apartemennya? Dia tidak mengenal siapa pun di dunia manusia, selain Rangga.

"Hai. Aku membawa sesuatu untukmu," balas Rangga dengan senyum cerah di wajahnya. "Boleh aku masuk?" tanyanya kemudian.

Kendati masih bingung dengan kedatangan mendadak Rangga, Luna tetap mempersilakannya masuk. Tidak mungkin juga dirinya menolak kunjungan orang yang telah berjasa besar kepadanya.

Mereka berdua pun mulai berjalan memasuki tempat itu dengan Rangga berada di depan dan Luna mengekor di belakangnya.

"Kamu lagi makan?"

Pertanyaan itu jelas merujuk pada satu-satunya benda yang ada di atas meja makan. Jika tidak sedang makan, tidak mungkin semangkuk mie rebus ada di sana, bukan?

"Iya. Kamu sudah makan malam?" respons Luna seraya melesatkan tubuhnya ke ruang makan. Wangi makanannya sungguh menggodanya. Dia merasa perutnya meronta, minta segera diisi.

"Padahal aku sudah membelikanmu nasi goreng," balas Rangga yang sejujurnya tak menjawab pertanyaan Luna. Dia justru terdengar seperti memberi kabar.

"Letakkan saja di meja." Luna menanggapi cepat. Dia, tentu, tak mau melewatkan kesempatan memperoleh makanan gratis. Ingat, uangnya terbatas. Itu artinya dia perlu melakukan penghematan secara maksimal. Salah satu caranya, yakni menerima makanan gratis yang ditawarkan kepadanya. "Aku bisa memakannya nanti malam kalau lapar," lanjutnya. Oh, makanan manusia benar-benar enak. Itu pula yang menjadi alasannya menerima kebaikan Rangga--lagi. Lagi pula, dia belum pernah mencoba nasi goreng.

Rangga mengikuti perintah Luna dan meletakkan seluruh bawaannya ke atas meja makan. "Kamu suka makan?"

"Tentu saja, suka. Makanan manusia sangat enak."

Salah!

Seharusnya, Luna tidak menjawab begitu. Pernyataannya pasti terdengar ganjil di telinga Rangga. "Eh, maksudnya makanan di sini banyak yang enak," ralatnya, sedikit ragu. Dia tidak yakin kalimat terakhirnya tidak akan mengundang kebingungan lawan bicaranya. Itu juga terdengar aneh.

Tidak ada reaksi dari Rangga. Entah kesunyian itu berarti dia mengerti perkataannya atau malah sebaliknya, tidak ada yang tahu.

"Aku membawa sesuatu untukmu." Rangga mengulang kembali kata-katanya di awal kemunculannya.

"Aku tahu. Nasi goreng."

"Bukan. Tapi ini." Lantas, Rangga mengeluarkan sebuah box dari salah satu paper bag yang dibawanya.

Mata Luna melebar ketika menyaksikan benda tak asing itu. Sebuah ponsel. Rangga membelikannya sebuah ponsel!

"Itu untukku?" Dia bertanya untuk memastikan. Siapa tahu, dia salah dengar, atau mungkin Rangga salah ucap.

"Iya. Aku sudah menyimpan nomorku di dalamnya. Jadi, kamu bisa menghubungiku kapan pun."