Chereads / Cinta Sang Malaikat Maut / Chapter 11 - Sumber Kenyamanan

Chapter 11 - Sumber Kenyamanan

Rangga mengembuskan napasnya setelah memastikan pintu di belakangnya tertutup dengan sempurna. Kemudian, dia berjalan gontai masuk semakin dalam ke dalam kegelapan yang mengelilinginya, walaupun remang-remang cahaya masih terlihat yang bersumber dari beberapa jendela besar yang tak tertutup tirai.

Ya, tempat ini adalah hunian yang dua tahun ini dia tinggali. Dan seperti yang, mungkin, sudah kalian tebak, dia hidup sendiri di sini.

Sebenarnya, keluarga besarnya juga tinggal di Jakarta. Hanya saja, dia membutuhkan sedikit privasi sehingga pilihan untuk keluar rumah pun diambilnya. Catatan. Tidak ada drama pengusiran!

Dia meletakkan secara asal tas kerjanya lantas mengarahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil air putih. Dia segera menenggak habis isinya sebelum keluar dari area tersebut. Kali ini, yang ditujunya adalah kamar tidurnya. Dia perlu berganti pakaian dengan sesuatu yang lebih santai.

Jadi, dia melakukan apa yang perlu dikerjakannya. Dan usai memastikan dia telah berada dalam kondisi nyaman, dia menggunakan sisa malamnya untuk duduk santai di sofa besarnya sembari menonton tayangan televisi yang dia ganti-ganti channelnya hanya menampilkan acara serupa.

Sinetron.

Kepalanya sontak mendongak untuk mengecek jam dinding yang terpasang tepat di atas televisi besarnya. Pukul setengah sembilan. Pantas saja sinetron masih mendominasi sebagian besar channel. Dan sayangnya, dia bukan penyuka tontonan itu. Jadi, mematikan televisi menjadi pilihan tepat.

Dia menghempaskan punggungnya agak keras ke sandaran sofa yang didudukinya. Hembusan napas berat pun keluar dari bibirnya. Biasanya, di jam segini, dia akan menyempatkan diri untuk memeriksa pekerjaannya.

Ya ya ya. Jam kerja memang telah selesai. Pun keberadaan dirinya yang tidak lagi berada di kantor. Tetapi, kedua hal itu tak berpengaruh banyak kepadanya. Sudah sering dia bekerja di luar kantor, yang tentu, juga di luar jam kerjanya. Bahkan, dia bisa tidak masuk ke kantor selama beberapa hari apabila proyek perusahaannya mengharuskannya pergi dan bertemu kolega bisnis di luar kota.

Ya, beginilah hidupnya sebagai seorang CEO. Tak ada hari baginya untuk benar-benar bersantai dan melepaskan beban pekerjaannya. Mengeluh pun tak ada gunanya. Yang ada, beban itu semakin berat dirasakannya.

"Kenapa nggak kembali saja ke rumah?"

Dia teringat pertanyaan Luna ketika dirinya menceritakan kesibukannya. Awalnya, dia tidak mengerti korelasinya. Namun kemudian, lanjutan kalimatnya membuatnya mengerti.

"Walaupun memang banyak hal menyebalkan di rumah, tapi berada di antara keluarga akan sedikit meringankan capekmu."

Pernyataan Luna tidak salah, meski juga tak sepenuhnya benar. Seperti keadaannya yang tinggal sendiri, situasi ini dapat menghadirkan dua rasa yang berkebalikan seratus delapan puluh derajat. Dia bisa merasa nyaman dengan kesendiriannya, atau bosan dalam keheningan tak berujung.

Namun, tenang saja. Dia tidak sepenuhnya mengisolasi diri. Dia akan pulang ke rumah setiap akhir pekan. Jika sedang luang, dia akan menginap. Dan bila sebaliknya, dia mungkin cuma berkunjung beberapa jam. Yang penting, dia harus memastikan ibunya melihatnya supaya tak cerewet untuk memintanya pulang.

Tipikal ibu-ibu kebanyakan.

Dan karena kebiasaan itulah, dirinya harus pulang besok. Atau bisa juga Minggu. Kenyataan ini pula-lah yang menjadikan malamnya lebih santai. Terlebih, dia tidak memiliki jadwal penting di akhir pekan ini. Itu artinya, dia bisa bersantai dengan nyaman malam ini.

Kenyataannya, tidak demikian. Dia merasakan kebosanan. Dan kalau boleh jujur, ada perasaan kesepian yang merambati hatinya. Dan semua itu muncul tepat ketika sosok Luna hilang dari pandangannya. Sungguh aneh, bukan?

Dia jadi bertanya-tanya. Kenapa dirinya bisa beraksi seperti ini kepada Luna? Padahal dunia tahu bahwa mereka baru saja bertemu. Tetapi, perasaan ganjil yang dirasakannya justru kian kuat dari hari sebelumnya. Berpisah darinya bak menjauhkannya dari sumber kenyamanannya.

Aneh, bukan?