"Selamat pagi, Luna."
Sapaan itulah yang pertama kali memasuki indra pendengarannya. Seketika itu dia tahu jika salah satu rekannya mengunjunginya. Tetapi itu bukan Rio, melainkan...
"Alice," panggilnya lemah. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Begitu pun kondisi tubuhnya yang memerlukan waktu untuk pulih. "Hari ini kamu yang menemaniku?" tanyanya seraya bangun dari posisi berbaringnya.
"Aku cuma datang mengecekmu sebelum mereka mengirimkan tugas baru untukku." Malaikat mau berpakaian serba hitam itu lantas duduk di dekat Luna.
"Jadi, kamu akan pergi?" simpul Luna dengan minimnya kapasitas kerja otaknya usai istirahat panjang. Alice datang hanya untuk pergi. Itulah yang dia tangkap.
"Nanti. Pekerjaan kita datangnya nggak tentu. Ingat?"
Alice mengingatkan seolah-olah sudah lama Luna meninggalkan dunia atas. Padahal kenyataannya, dia baru pergi selama dua hari. Mana mungkin dia melupakan kehidupan lamanya secepat itu? Lagian, dia akan segera kembali ke dunia atas untuk bergabung kembali bersama mereka.
"Aku ingat." Dia cuma bisa mengeluarkan dengusan kecilnya. "Jadi, ada kabar apa?"
"Beberapa malaikat maut baru bergabung," jawab Alice singkat.
Luna memutar bola matanya dengan malas. Apabila soal itu, dirinya tidak lagi kaget. Setiap harinya, minimal ada satu wajah baru malaikat maut di dunia atas. Hal itu sebenarnya membawa dampak positif kepada Alice dan rekan-rekan lamanya. Pekerjaan mereka sedikit berkurang. Yah, walaupun itu menghadirkan ironi lain di hatinya. Rasa kasihan melihat sang malaikat maut baru mesti mati dengan cara bunuh diri.
Dan satu lagi. Hilangnya seluruh ingatan semasa masih hidup. Itu adalah salah satu hukumannya.
"Apa kamu yang bertugas mengajari mereka?"
Alice menggeleng. "Untungnya bukan. Tapi, aku mendapatkan tugas untuk mengamati keadaanmu di sela tugas-tugasku menjemput arwah," jelasnya.
Oh, hampir lupa. Para malaikat maut lawas akan ditugaskan untuk mengajari yang baru. Biasanya satu banding satu. Maksudnya, satu guru untuk satu murid. Dan perintah itu lagi-lagi datang dari pihak atas di dunia mereka.
"Lebih baik bersamaku daripada menjadi guru mereka, bukan?"
Alice menatap tajam lawan bicaranya. "Kalau aku datang ke sini cuma untuk mengobrol denganmu, sih, nggak masalah," ujarnya tak setuju.
Luna tersenyum dan menampilkan deretan gigi putihnya. "Kalau begitu, nikmati saja pertemuan kita. Toh, nggak ada hal baru lain yang terjadi kepadaku. Semua masih sama seperti waktu aku terbangun dan jadi manusia."
Ya, dia pun turut mengamati tubuhnya sendiri. Bagaimanapun, dia perlu mempelajari situasi barunya semaksimal mungkin.
Kemudian tatapan tajam itu melembut dan berganti menjadi sorot iba.
Luna yang melihatnya lalu berkata, "Jangan melihatku seperti itu. Aku sudah mulai bisa menerima keadaan ini. Jadi, jangan buat rasa penyesalanku kembali."
"Maaf."
"It's okay, Alice."
Dan senyum pun Alice sunggingkan sebagai rasa bersalah sekaligus kelegaan usai melihat sisi positif yang ditunjukkan oleh Luna.
"Sepertinya kehidupanmu di sini akan baik-baik saja. Kamu tinggal di tempat yang sangat bagus." Alice berkomentar sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Oh, soal itu-"
Belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya, bel di rumahnya berbunyi. Dan dia langsung dapat menebak siapa pelakunya.
Rangga.
Ingat, cuma pria itu yang memiliki akses penuh ke apartemen yang ditinggalinya.
"Siapa?" Alice bertanya dengan dahi berkerut. Tentu, dia merasa aneh karena ada tamu yang datang ke rumah Luna. Baru tiga hari dan wanita itu telah memiliki kenalan yang tak lain adalah seorang manusia? Sulit dipercaya.
"Rangga." Luna menjawab cepat. Disibakkannya selimutnya, lantas dia beranjak dari ranjang besar tersebut.
"Siapa Rangga?" Alice ikut bangkit mengikuti Luna.
"Penolongku sekaligus sumber masalahku."