"Kenapa kamu ke sini?" Luna bertanya setelah mereka, dirinya dan Rangga, memutuskan untuk makan malam bersama. Di rumah yang dihuninya, tentunya.
"Apa aku nggak boleh datang ke sini?" Rangga balik bertanya usai menelan suapan kedua nasi gorengnya. Awalnya, dia berniat berbagi kelezatan nasi goreng kesukaannya dengan Luna. Karena itulah, dia menyempatkan diri untuk mampir dan membelinya dari lapak langganannya di depan gedung apartemen ini. Sayangnya, rencana itu harus batal. Atau tepatnya, tertunda.
"Bukan begitu," elak Luna cepat. "Kenapa kamu nggak pulang dan malah ke sini?" Inilah maksud sesungguhnya dari pertanyaannya. Biasanya, orang-orang akan langsung pulang ke rumah masing-masing setelah seharian bekerja. Mereka butuh mengistirahatkan tubuhnya.
Itu yang dia tahu, kendati banyak orang lainnya yang juga senang mampir sejenak sebelum melajukan kendaraannya ke jalanan menuju rumah.
"Aku belum bilang? Aku juga tinggal di gedung ini."
"Oh ya?"
Itu informasi baru. Sehari sebelumnya, mereka memang tidak membahas soal kehidupan masing-masing. Mereka terlalu berfokus pada segala jenis bantuan yang Rangga tawarkan kepada Luna.
Anggukan pasti Rangga berikan sebagai jawaban. "Iya. Tiga lantai di atas unit ini."
Bibir Luna membulat membentuk huruf o. Itu menjawab keberadaannya di gedung ini, namun tidak dengan kehadirannya di apartemen Luna. Oh, bisakah dia menyebutnya demikian? Bagaimanapun, dia tinggal di sini sekarang.
Tetapi, dia memilih untuk tak menanyakannya. Tidak. Bukankah dia sudah melakukannya? Dan yang diperolehnya adalah balasan tersebut.
Kemudian, keheningan mengisi tempat itu. Kecanggungan pun kembali terasa saat keduanya berfokus pada makanan mereka.
"Apakah itu enak?" Luna bertanya dengan mata tertuju pada sekotak nasi goreng milik Rangga. Wanginya rupanya berhasil menarik minatnya, meski harum mie instan buatannya tak kalah menggoda. Sudah dia bilang, bukan, dirinya belum pernah mencoba jenis makanan itu? Dan dia tak menyangka baunya seenak ini.
Rangga yang melihat bagaimana Luna menatap bulir-bulir nasi kecokelatan di hadapannya, menawarkan, "Kamu mau coba?"
Luna hendak mengangguk antusias. Namun, dia teringat untuk menjaga reaksinya. Jangan menarik perhatian.
Dan yang dilakukan Rangga adalah mengambil satu sendok penuh lantas menyodorkannya kepada wanita yang duduk di depannya. Dengan kata lain, dia bertindak seperti akan menyuapkan makanan itu ke mulut Luna.
Bagaimana reaksi Luna?
Sejujurnya, Luna ragu. Dia bingung mesti diapakan suapan itu. Apakah dia hanya perlu membuka mulutnya atau mengambil alih sendok itu dari tangan Rangga?
Ah, ini akibat dirinya yang terlalu banyak menonton drama manusia. Dia jadi berpikir tidak-tidak tentang hal sederhana seperti ini.
Jawabannya, simple dan jelas. Dia cuma perlu membuka lebar mulutnya dan jangan berpikir macam-macam.
Maka, dia merealisasikannya.
Anehnya, Rangga justru menertawakannya. Apanya yang lucu?
"Kenapa tertawa?" Luna mengerutkan kedua alisnya, bingung.
"Nggak. Nggak apa-apa." Rangga menanggapi di sela-sela tawanya yang mulai menghilang. "Buka kembali mulutmu," perintahnya kemudian.
Mata Luna menyipit, memandang tajam dan penuh curiga kepada lawan bicaranya. Terlebih dengan raut geli di wajah tampannya. Dia merasa seperti menjadi seorang badut.
Walaupun demikian, dia tetap mengikuti perintah Rangga dengan membuka lebar mulutnya--seperti sebelumnya. Dan satu suapan pun mendarat di sana. Dia tersenyum senang karena akhirnya dia mengecap rasa makanan yang membuatnya penasaran.
Rangga mengamati setiap perubahan di wajah Luna. "Gimana? Enak, kan?"
Gumaman pelan mengalun dari bibirnya yang masih sibuk mengunyah nasi goreng pertama dalam kehidupan manusianya. Lalu, anggukan bersemangat pun dia tunjukkan. "Enak banget," ucapnya yang semakin memperjelas jawabannya. "Akan kumakan milikku nanti malam," imbuhnya lebih kepada diri sendiri.
"Tempat jualannya dekat, kok. Di depan gedung ini. Jadi, kamu bisa membelinya daripada makan mie instan." Rangga memberikan sindirannya di akhir kalimatnya. Makanan instan tidak baik untuk dikonsumsi terus-menerus.
"Aku harus berhemat." Luna menimpali singkat dan mulai mengaduk kembali mie instan kepunyaannya yang barusan jadi bahan sindiran Rangga. Dia memang pernah mendengar manusia sering membicarakan betapa tidak bagusnya memakan makanan instan setiap hari dan dalam jangka waktu yang lama. Bahkan beberapa dokter--yang dia intip bagaimana cara kerjanya--juga menuturkan hal serupa.
Tapi, sekali lagi, dia bukan manusia seutuhnya. Apakah hal buruk itu akan berlaku pula kepadanya?
"Kalau uang yang kemarin habis, aku bisa memberimu lagi."
Luna melebarkan matanya, tak percaya atas apa yang memasuki indra pendengarannya. "Oh, nggak," tolaknya cepat. "Nggak perlu. Aku akan cari pekerjaan untuk membeli kebutuhanku sendiri dan membayar sewa tempat ini bulan depan." Dia melanjutkan. Tidak mungkin dirinya terus-terusan menggantungkan hidupnya kepada Rangga. Sudah terlalu banyak yang dilakukan pria itu untuknya.
"Kamu butuh pekerjaan?"
"Tentu saja. Aku butuh makan untuk hidup."
Rangga terdiam sejenak. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu. "Kamu mau bekerja untukku?" Tiba-tiba, dia bertanya.
"Pekerjaan apa?"
"Apa yang kamu bisa?"
Mulut Luna membuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, batal saat lagi-lagi fakta mengenai kehidupannya menerjang benaknya. Dia hanyalah malaikat maut yang bertugas membawa roh manusia ke dunia atas. Itulah pekerjaannya sepanjang eksistensinya.
Antusiasme itu pun seketika lenyap digantikan oleh hembusan napas berat dan kepasrahan di wajahnya. "Aku nggak punya keahlian istimewa," akunya jujur. Jika begini, bagaimana dia bisa mendapatkan pekerjaan? Lantas, hidupnya?
Menjadi manusia memang menyusahkan.
"Nggak ada satu pun?"
Luna mengangguk lemah. Keahliannya cuma berlaku di dunia atas, bukan dunia manusia. "Aku cuma pandai menemani orang bicara." Roh manusia, maksudnya.
Dia akan menjadi teman bicara para roh dan membantu mereka memahami kondisi mereka sebelum mengantarkan mereka ke dunia atas. Terkadang, dia pun mesti menenangkan mereka yang menangis ataupun marah atas kematian yang terjadi pada tubuh manusia mereka. Dan ya, dia harus selalu memastikan mereka ada dalam jangkauannya.
Rangga kembali berpikir. Tetapi, itu tak lama sebab kemudian, dia memiliki tawaran terbaru. "Gimana kalau kamu menemaniku ngobrol atau menjadi teman bicaraku? Setiap malam seperti ini?"
Luna berulang kali mengedipkan matanya, berusaha mencerna kata-kata lelaki itu. "Apakah itu bisa disebut pekerjaan?" tanyanya ragu.
"Tentu saja. Apa pun bisa disebut pekerjaan selama ada pihak yang membutuhkan."
"Dan kamu membutuhkanku untuk menjadi teman bicaramu?" simpulnya.
Rangga merespons dengan sebuah anggukan kepala. "Kamu juga bisa memasak makan malam atau yang lain sebagai teman ngobrol kita." Dia menambahkan detail lain.
Sejujurnya, itu tawaran yang amat menggiurkan. Hanya mendengarkan dan mengobrol, dia bisa mendapatkan uang.
Tetapi, ada satu masalah lain mengenai penjelasan terakhirnya. "Aku nggak bisa memasak." Luna benar-benar payah, bukan?
"Kamu bisa belajar. Dan aku akan menilai hasilnya. Gimana?"
Luna tertarik. Namun, terselip keraguan di hatinya. Apakah mungkin dia memperoleh keberuntungan seperti ini berturut-turut? Ataukah benar kecurigaan Rio?
"Kamu nggak bohong, kan?" Luna memastikan.
Sebuah senyum menenangkan terulas di bibir Rangga dan menghapuskan segala keraguan Luna. "Aku nggak suka berbohong," ujarnya penuh keyakinan.