Chereads / Cinta Sang Malaikat Maut / Chapter 7 - Mati Hanya Sekali

Chapter 7 - Mati Hanya Sekali

"Mencurigakan."

Suara tersebut menggema ke penjuru ruangan cukup luas namun hening itu. Tak ada orang lain di sana, selain Luna dan Rio, dua rekan sejawat yang tiba-tiba menjadi akrab. Bagaimana tidak? Mereka terus bersama dari siang hingga langit berganti malam.

"Apa yang mencurigakan?" tanya Luna, satu-satunya lawan bicara sang malaikat maut, sembari membuka kotak putih di hadapannya. Itu adalah makan malamnya hari ini. Seporsi nasi goreng yang mulai dingin karena mereka membelinya dalam perjalanan pulang tadi. Praktis, ini menjadi makanan pertamanya sebagai manusia.

Oh, dia jadi tak sabar untuk segera mencobanya.

"Rangga." Rio menyebutkan satu nama yang menjadi sumber petaka bagi Luna. Yah, walaupun itu sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa dia baik sekali sampai mau menyewakan tempat ini untukmu dengan gratis? Belum lagi sejumlah uang yang dia tinggalkan untukmu." Dia mengutarakan asal muasal prasangkanya. Dua kebaikan berturut-turut rasanya ganjil. Tidak. Tiga kebaikan dengan bantuannya kepada Luna saat wanita itu pingsan.

Hal itu terdengar 'it's too good to be true', bukan?

Luna mengangkan bahunya tanda tak tahu. Dia tidak memiliki kemampuan khusus untuk membaca pikiran seseorang. "Apa pun itu, yang penting aku punya tempat tinggal dan uang untuk makan." Dia lantas menggunakan sumpit kayu yang tersedia untuk mulai menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya. "Dan sepertinya, aku juga membutuhkan baju baru," imbuhnya sambil mengunyah mie gorengnya. Rasanya sungguh nikmat!

Rio berteleportasi sehingga kini dirinya telah berada di depan Luna. "Apa kamu nggak curiga?" tanyanya tak percaya.

"Hm." Luna menggumam dengan mulut penuh. Barulah ketika dirinya selesai mengunyah dan menelan seluruh makanan di mulutnya, dia membalas, "Lalu aku harus apa? Menolak bantuannya dan membiarkan diriku terlantar dan kelaparan di jalan?" Dia sengaja menggunakan nada menantang. Rio perlu ingat bahwa mereka sekarang berbeda. Dia hidup di dunia manusia, yang artinya dia harus mengikuti aturan yang ada di sini. "Aku nggak punya pilihan lain. Kamu tahu itu." Dia melanjutkan dengan kesimpulan yang sama-sama mereka ketahui.

"Aku tahu. Tapi-"

"Memang hal buruk apa yang bisa terjadi kepada mantan malaikat maut sepertiku?" Luna memotong cepat. "Apakah aku bisa mati untuk kedua kali?"

Siapa pun tahu hal terburuk yang dialami manusia adalah kematian. Tentu saja, itu versi manusia. Bila menurutnya, dia akan bilang setelah kematian tatkala seluruh tindakan manusia selama hidup memperoleh balasannya. Namun, manusia tak tahu itu. Jadi, kita akan membahas hal-hal dalam kacamata manusia biasa.

Dan berhubung, Luna bukan termasuk ke dalam kategori tersebut, semua ketakutan itu tidak berlaku kepadanya. Benar, bukan?

"Kematian cuma terjadi sekali." Rio menanggapi usai keheningan beberapa detik.

Karena itulah, Luna tidak akan mati. Setidaknya, tidak dalam wujud manusia. Ingat, dia sudah pernah mati.

"Jadi, hal terburuk yang bisa terjadi kepadaku adalah musnah. Benar?"

Rio menganggukkan kepalanya pelan.

"Dan kalau aku nggak memanfaatkan keadaan, itulah yang akan terjadi kepadaku." Luna berkata dengan pandangan menerawang. Dia tidak mau musnah. Bagaimanapun, dia ingin seperti rekannya yang telah menyelesaikan pekerjaannya untuk melaju ke langkah selanjutnya dalam eksistensinya.

Oh, menjadi malaikat maut juga merupakan caranya untuk menebus kesalahannya semasa hidup.

"Kamu yakin?" Ragu, Rio bertanya. Meski tidak terlalu dekat, dia kenal kepribadian Luna yang emosional melihat kematian. Sebenarnya, semua malaikat maut merasakan hal itu. Mungkin, itulah hukuman atas tindakan mereka yang pernah menyia-nyiakan hidup.

"Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku untuk mendekati Rangga? Kenapa mendadak berubah?" Luna ganti menyuarakan kebingungannya. Seseorang yang mendesaknya untuk menghampiri Rangga malah berubah mencurigainya. Aneh. Lebih aneh, kecurigaan itu sama sekali tidak akan membantunya.

Rio kembali terdiam, tampaknya menyadari akan tingkah plin-plannya. "Maaf. Aku cuma mengkhawatirkanmu."

Hembusan napas Luna keluarkan, memaklumi kecemasannya. Barangkali, dia akan bereaksi serupa apabila hal ini terjadi kepada rekan kerjanya. Tetapi, sayangnya, dialah korbannya. Ralat. Tersangka yang mendapatkan hukumannya. Jadi, kekhawatirannya hanya tertuju kepada nasib buruknya.

"Kamu nggak kembali ke atas?" tanyanya, memilih untuk mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama terus-menerus tidak akan mengubah apa-apa. Yang ada, keresahan mereka akan meningkat seiring dengan ketakutan dan keraguan atas situasi yang baru terjadi.

Tunggu. Apakah hal ini pernah terjadi sebelumnya? Maksudnya, malaikat maut menjadi manusia.

"Tugasku untuk menemanimu sampai jam dua belas."

Artinya lima jam lagi dia akan sendirian.

"Apakah setelah itu ada yang lain untuk menemaniku di sini?" Membayangkan kesendiriannya, rupanya, membawa sedikit rasa gentar di hatinya. Apa yang mesti dilakukannya seorang diri di sini?

Tidur. Dia membutuhkannya, bukan?

Rio menggeleng. "Aku nggak tahu. Perintah dari atas sering datang tiba-tiba."

Luna manggut-manggut, setuju akan pernyataan terakhir pria itu. Perintah mereka akan muncul ke masing-masing tablet malaikat maut tanpa diduga. Bisa saja sejam sebelumnya, atau lebih lama lagi. Bahkan lima menit sebelum kematian pun pernah, terutama pada kematian tak terduga.

"Kalau begitu, temani aku sampai kamu dapat perintah selanjutnya," pinta Luna seraya memainkan sumpitnya pada makanan di hadapannya.

Lagi, Rio menggelengkan kepalanya. Kali ini lebih yakin daripada sebelumnya. "Aku harus membuat laporan ke atas." Itu adalah sebuah penolakan.

"Laporan apa? Soal aku yang meminta bantuan Rangga?"

"Itu salah satunya. Tapi juga soal insiden siang tadi. Aku perlu membuat laporan tertulis ke atas."

Luna mendesah pasrah. Jika berurusan dengan dunia atas, dia sudah tidak dapat ikut campur lagi.

"Makanya, cepat bunuh Rangga supaya kamu bisa kembali lagi ke dunia atas."

Dan desahan itu pun berubah menjadi dengusan kecil. "Kamu ini benar-benar minta kupukul, ya. Daritadi menyuruhku membunuh, tapi lalu ragu. Dan sekarang memintaku membunuh lagi," ucapnya mengeluarkan kekesalannya atas sikap tak punya pendirian jelas Rio. "Dasar plin-plan!"

Rio tertawa keras mendengarnya. Dia memang memiliki kecenderungan seperti itu, terlebih mengingat masa kerjanya yang tidak jauh berbeda dari Luna. Sebelas tahun. "Aku berencana mencari tahu soal lebih dalam soal yang terjadi kepadamu." Sebenarnya, sifat plin-plannya lebih diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan yang dimilikinya. Jadi, ketika dia telah memperoleh cukup informasi, dia mungkin dapat membantu Luna mengambil keputusan dengan lebih baik.

"Kalau begitu, bisakah kamu mencari tahu tentang kemungkinan kasus yang sama di masa lalu?"

"Tentu saja. Aku akan mengabarimu nanti."

Luna menghentikan gerakan tangannya kemudian tersenyum kepada Rio. "Makasih."

Rio menjulurukan tangan kanannya dan berlabuh tepat di atas kepala Luna. Diusapnya perlahan area tersebut. "Kamu akan baik-baik saja. Aku dan yang lain pasti akan membantumu."

Senyum Luna kian lebar. Dia bahkan menampilkan cengirannya yang membuat gigi-gigi rapinya terekspos. "Sekali lagi makasih, dan aku minta maaf untuk semua yang terjadi akibat kesalahanku. Sampaikan juga maafku untuk yang lain."

"Pasti."