Mata itu bergerak gelisah dalam tidurnya. Ketidaknyamanan itu tergambar dari kernyitan di antara kedua alisnya. Sebagai akibatnya, dia mengubah posisinya dari telentang menjadi miring ke kanan. Tapi, hal itu tak banyak mengubah keadaan. Kerutan itu masih kentara, yang artinya gerakannya tidak mampu mengusir rasa tidak nyamannya. Maka, itu hanya bermakna satu hal.
Ini waktu baginya untuk bangun.
Sedetik kemudian, kelopak mata itu membuka, menampilkan manik kecokelatan miliknya. Dia mengerjap-ngerjap beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya baru yang masuk melalui kedua irisnya. Dia menduga ini sudah siang melihat betapa terangnya kondisi kamarnya. Mungkin, pukul delapan atau sembilan.
Dengan malas-malasan, mengangkat tubuhnya yang terasa amat berat. Saat itulah disadarinya sesuatu. Seluruh tubuhnya terasa pegal. Leher, bahu, dan punggungnya seperti baru saja ditimpa beban berat. Belum lagi kedua kakinya yang serasa lepas dari tubuhnya. Akhirnya, dia merasakan efek dari perjalanan panjangnya.
Ya, orang itu adalah Luna.
Dia menolehkan kepalanya ke kanan lalu ke kiri. Tidak ada siapa pun di sana selain dirinya. Memang apa yang dia harapkan? Rio atau rekan-rekannya yang lain mengunjunginya? Jangan bermimpi.
Ngomong-ngomong soal mimpi, sepertinya semalam dia tidak bermimpi. Padahal, dia penasaran bagaimana rasanya.
Luna menyibakkan selimut yang menutupinya. Setelah menjadi manusia, dia benar-benar baru merasakan betapa tidak menyenangkannya makhluk itu. Maksudnya, semua yang dirasakan manusia. Panas, dingin, gerah, lelah, dan banyak lagi. Dia tidak pernah merasakan semua itu seekstrem ini.
Sembari mempersiapkan diri untuk beranjak dari kasurnya, dia memikirkan kegiatannya hari ini. Apa yang mesti dilakukannya?
--
Langkah kaki Luna terasa ringan ketika menelusuri jalan berpaving di hadapannya. Usai mengisi perutnya dengan sepotong roti dan susu yang dibelinya, ralat, Rangga semalam, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar gedung apartemennya. Dia ingin mencoba untuk membaur di dunia manusia. Informasi yang diperolehnya selama bertugas menjadi malaikat maut dan menyusup di tengah aktivitas manusia agaknya telah cukup sebagai bekalnya mengarungi kehidupan barunya.
Ya, dia siap.
Target pertamanya adalah mendatangi supermarket terdekat. Dia perlu membeli kebutuhan hidupnya. Tentu, dengan uang yang Rangga tinggalkan untuknya.
Luna mengambil satu troli dari deretan troli dan keranjang belanja di depan supermarket lantas berjalan memasuki bangunan luas itu.
Seiring kakinya melangkah, otaknya bekerja untuk memperkirakan urutan barang-barang yang dibutuhkannya mulai dari yang paling mendesak. Makanan, dilanjutkan dengan pakaian. Tak boleh terlupa adalah peralatan mandi, sebuah panci ukuran sedang, dan satu set alat makan. Dia akan melewatkan rak sayur dan buah karena dia tidak mempunyai kemampuan untuk mengolahnya. Jadi, makanan cepat saja merupakan ide terbaik untuknya.
Dia mendorong trolinya menuju barisan mie instan dan makanan serba instan lainnya. Dirinya sering melihat manusia membuatnya. Jadi, dia percaya diri mampu melakukan hal yang sama. Lagi pula, terdapat instruksi di kemasannya sehingga seorang pemula pun sanggup mengikutinya.
Setelahnya dirasa cukup, dia menggerakkan trolinya ke deretan pakaian. Diambilnya dua kaos kebesaran--putih dan abu-abu--serta celana santai selutut berwarna krem. Tak lupa dia juga mengambil sepasang sandal jepit yang terpajang tak jauh di sana.
Lalu, dia beralih pada peralatan mandi. Dan yang terakhir adalah alat masak dan makan.
Kala memilih ukuran panci yang diperlukannya, tiba-tiba ada sesuatu yang menumbuk kakinya dengan lumayan keras. Sedetik kemudian, terdengar bunyi gedebuk yang kian menarik perhatiannya.
Luna berpaling dan mendapati seorang anak laki-laki tengah terduduk tepat di sampingnya. Usianya mungkin sekitar empat atau lima tahun.
"Kakak harusnya hati-hati agar nggak menabrak Tante ini." Suara seorang wanita terdengar tak jauh dari mereka. "Ayo berdiri dan minta maaf ke Tante," lanjutnya tepat di belakang sang bocah.
Anak lelaki itu menatap cukup lama Luna, selanjutnya melaksanakan perintah wanita yang kemungkinan merupakan ibunya tersebut untuk bangkit dari posisinya. Tanpa protes dan juga tangisan. Hebat sekali.
Dan lebih hebat, bocah itu langsung meminta maaf kepada Luna. "Maaf, Tante." Lirih, dia berujar. Tapi, kedua wanita di sana mampu melihat setitik raut penyesalan di wajah menggemaskannya. Tampaknya, dia telah mempelajari bahwa perilaku tidak hati-hatinya mengakibatkan tumbukan itu.
"Iya, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati, ya." Luna menunjukkan sikap seramah mungkin. Ini cuma masalah kecil. Yang penting si anak mengetahui kesalahannya, itu sudah cukup. Dia tak perlu membesar-besarkannya karena, toh, dia tidak terluka.
Bocah laki-laki itu mengangguk pelan dengan mata yang awas tertuju kepada Luna. Kelihatannya, dia cemas kalau-kalau mendadak orang yang ditabraknya marah.
"Kakak dengar kata Tante, kan? Harus hati-hati." Nada bicara wanita itu terdengar tegas kendati didominasi kelembutan. Itu bukan ditujukan untuk memarahi, melainkan memperingatkan. "Maafkan anak saya, ya, Mbak." Dia mengganti lawan bicaranya menjadi Luna ketika mengatakannya.
Luna tersenyum memaklumi. Anak kecil biasa melakukan kesalahan. Tidak. Anak kecil memang semestinya melakukan kesalahan sebab dari sanalah mereka belajar. "Nggak apa-apa, Mbak."
Kemudian, mereka berbasa-basi singkat sampai sang bocah menarik tangan ibunya supaya meninggalkan area itu dan mengikutinya. Sementara pandangan Luna terus mengikuti kepergian mereka dengan senyum tersimpul di bibirnya. Dia selalu menyukai anak kecil. Baginya, mereka begitu lugu dan lucu.
Namun, ada sesuatu yang membuat senyum itu seketika menghilang. Keberadaan seorang malaikat maut di sana yang dikenalinya bernama Rosa. Dan otaknya langsung menghubungkan kehadiran makhluk itu dengan duo ibu dan anak yang baru saja ditemuinya.
Bagaimana dia bisa seyakin itu?
Sorot mata Rosa yang terarah kepada mereka adalah jawabannya.
"Yang mana? Si ibu atau anaknya?" tanya Luna setengah berbisik tatkala dirinya dan Rosa berpapasan. Dia tahu hanya satu yang akan mengakhiri kehidupannya karena cuma satu malaikat maut yang bertugas di sekitarnya.
"Si anak. Kasihan sekali." Ada keprihatinan dalam suara Rosa.
Tak dapat dipungkiri, Luna pun merasakan perasaan yang sama. Dia yang menyukai anak kecil harus melihat mereka mati. Sungguh menyedihkan. "Apa penyebabnya?"
"Tersedak." Rosa tak perlu menengok tabletnya untuk menjawabnya. Dia sudah menghafalnya bahkan sejak pertama dia membacanya. Sebuah takdir malang yang merenggut kehidupan satu makhluk suci.
Luna kembali menoleh ke arah kepergian duo itu. Rasa tidak tega benar-benar menyelimutinya. "Apakah aku perlu memperingatkan mereka?" Itu merupakan gagasan absurd yang dia sendiri sangsi mampu melaksanakannya.
Rosa memandang Luna dengan tatapan tidak percaya. "Jangan mencampuri takdir manusia lagi. Walaupun dia masih kecil, tapi kematiannya sudah dituliskan." Dia memperingatkan Luna. Intonasinya mirip seperti yang ibu si bocah tadi gunakan.
Cengiran penuh kecanggungan tergambar di wajahnya. Berita soal dirinya pasti sudah menyebar. Buktinya, malaikat maut yang tidak terlibat dalam insiden kemarin berbincang dengannya yang seorang manusia.
"Aku pergi dulu. Waktunya hampir tiba," pamit Rosa tanpa menunggu reaksi Luna. Dah dalam sekejap, sosoknya sudah tak lagi ada di sana.
Mata Luna masih terarah ke tempat yang sama. Sebuah kepanikan sebentar lagi terdengar, dan dia tak bisa melakukannya apa-apa dalam situasi tersebut.
Hembusan napas panjang dia keluarkan. Pasrah.
Kematian memang ada di mana-mana.