Chereads / Miracle Planet Kekuatan Elemen Kristal / Chapter 24 - Ketika Dia Jatuh Cinta

Chapter 24 - Ketika Dia Jatuh Cinta

Melihat lelaki itu duduk di jajaran anggota kerajaan tidak membuat Pysche terkejut. Dia telah menduga semua hal ini akan terjadi. Dia sudah tahu bahwa dia akan bertemu lagi dengan pangeran kerajaan Hwon di tempat ini. Ingatan tentang percakapannya dengan sang ayah tentang pangeran Woon kembali ke dalam benaknya. Setiap kata yang digunakan Binju untuk mendeskripsikan Woon diingat dengan detail dalam kenangan Pysche.

"lelaki itu datang menemuimu kembali karena tertarik dengan sihirmu Pysche.... Kau harus berhati-hati dengannya. Tentu saja kau tidak pernah melupakan cara orang lain yang menyukai sihirmu memperlakukanmu dengan kejam bukan? Woon pasti melakukan hal yang sama.... " ucap Binju memberikan peringatan keras kepada anak angkatnya. Rasa horor Pysche saat mengingat rombongan sirkus dulu membuatnya kembali ketakutan.

" Baik ayah.... Aku tidak akan menemui lelaki itu lagi.... "ucap Pysche dengan mantap.

" Tidak.... Bukan itu yang aku inginkan darimu... Aku ingin kau terus menemuinya " ucap Binju tidak mampu menyembunyikan seringai wajahnya. Ekspresi pria tersebut membuat Pysche merasa merinding. Dia tidak pernah melihat hasrat penuh dendam dan benci di sorot mata Binju sebelumnya. Hal ini membuat gadis tersebut bingung dan ketakutan.

"Bukankah kau berkata akan melakukan apapun yang membuatku bahagia dan bangga kepadamu bukan?" tanya Binju dengan sorot mata yang tajam dan mengerikan. Pysche tidak mampu berkata-kata dan hanya mengangguk pelan.

"Dekatilah lelaki itu, pikat dia dengan pesonamu dan bawalah kristal merah untukku.... Aku akan sangat berterima kasih jika kau mampu melakukan itu untukku...." ucap Binju dengan tegas. Untuk pertama kalinya Pysche ragu dalam menerima permintaan ayahnya. Binju tak nampak seperti sosok ayah yang dipikirkannya selama ini. Ada aura gelap yang memenuhi ekspresi wajahnya. Pysche tidak sanggup melihat ekspresi ketamakan yang dipancarkan dalam mata ayah angkatnya itu.

"Tapi ayah...." Pysche mencoba menyuarakan pendapatnya.

"kau tidak mau?" namun dengan cepat Binju menyelanya.

Gadis itu mencoba mencari alasan yang tepat untuk mengungkapkan keraguan ya. Binju yang kejam hampir mengepalkan tangannya di pegangan kursi, mencoba menahan amarahnya yang mulai memuncak. Namun dia tahu, menunjukkan sisi aslinya di hadapan Pysche saat ini akan menghancurkan semua rencananya. Binju mengangkat tangannya kemudian mengelus rambut putri angkatnya dengan lembut.

"Pysche.... Ayah pikir kau menyayangi ayah... Apakah ayah salah?" Binju mencoba menghaluskan nada bicaranya dan menatap Pysche dengan tatapan yang menyedihkan.

"aku sungguh menyayangimu ayah" ucap Pysche bersegera. Jawaban gadis itu membuat Binju tersenyum puas.

Dia kemudian mencoba meyakinkan Pysche bahwa sejatinya kristal merah kerajaan Hwon adalah miliknya. Namun Woon telah merebut kristal itu dari tangannya. Jadi jika Pysche mampu mengambil kristal itu kembali dan memberikannya kepada Binju, maka lelaki itu akan sangat bangga padanya. Dengan berat hati akhirnya gadis itu menyetujui permintaan Binju kepadanya.

Pikiran Pysche kembali lagi di saat kemunculan perdananya di aula kerajaan. Dia memandangi Woon dengan begitu intens sambil memikirkan bagaimana cara mengambil kristal merah dari tangan sang pangeran. Keduanya berpandangan sambil sibuk berkutat dengan pemikiran mereka masing-masing. Namun tatapan Woon terlalu tajam dan mempesona. Matanya yang indah membuat jantung Pysche tiba-tiba berdebar dengan sangat kencang. Pipinya merona merah dan membuatnya mengakhiri pandangannya kepada sang pangeran.

Di sisi lain, Woon tidak mampu mempercayai matanya. Dia tidak mampu mempercayai bahwa gadis yang ditemuinya di hutan dan telah mampu membuatnya penasaran adalah sepupu angkatnya, putri dari Binju. Namun di sisi lain dia juga merasa senang karena akhirnya bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Pada saat itu Binju memperkenalkan putri angkatnya kepada semua orang yang hadir di aula.

"Pysche...." gumam Woon pelan saat mendengar nama gadis itu untuk pertama kalinya.

Sejak saat itu Pysche menjadi anggota kerajaan Hwon dan tinggal di istana. Dan sejak itu pula Woon mampu dengan lebih mudah menemukan gadis itu di sekitar istana. Sang pangeran diam-diam mulai mengamati semua gerak-gerik gadis bermata hijau itu dari kejauhan. Hingga pada suatu hari dia memutuskan untuk datang menghampirinya.

"Pysche.... Nama yang unik" sapa sang pangeran kepada anggota baru kerajaan. Pysche mengenali suara itu. Dia bersegera membalikkan badan dan memberikan penghormatan dengan membungkukkan badannya di hadapan sang pangeran.

"pangeran Woon...." sapanya dengan lembut. Sang pangeran tertawa ringan. Di hutan gadis itu memperlakukannya bagaikan seorang kriminal namun saat ini dia malah bersikap begitu sopan kepadanya.

"Apakah kau pikir aku akan memaafkanmu begitu saja atas perlakuanmu di hutan hanya karena kau bersikap baik kepadaku sekarang?" Woon memberikan komentarnya dengan nada bercanda. Namun gadis itu nampak kikuk dan canggung sekaligus merasa bersalah karena perilakunya yang tidak sopan sebelumnya.

" Ah maafkan saya yang mulia, saat itu... Semuanya terasa begitu canggung dan membingungkan" Pysche mencoba menjelaskan posisinya dengan wajah yang memerah karena malu atas sikapnya sendiri.

"hahaha tidak apa-apa, lupakan saja. Yah... Aku tidak bisa menyalahkanmu seutuhnya karena hal itu" Woon tertawa ringan sambil menggaruk rambutnya. Melihat sang pangeran yang tertawa dengan leluasa membuat gadis itu tak mampu menahan senyumnya. Woon yang melihat senyuman indah Pysche menghentikan tawanya dan ikut tersenyum dengan penuh kehangatan.

Sejak saat itu mereka berdua sering berbincang bersama dan perlahan menghilangkan kecanggungan di antara keduanya. Suatu ketika tanpa sengaja Woon melihat bahwa Pysche sedang belajar memanah di area halaman istana. Dia melihat bahwa gadis itu tengah serius menarik busur talinya dengan sekuat tenaga. Dia mencoba fokus kepada targetnya. Namun ketika gadis itu menembakkan anak panahnya ternyata anak panah itu malah melenceng jauh dari targetnya. Woon terkekeh melihat gadis itu, dia pun menghampiri gadis itu dan berjalan ke arahnya.

"Nampaknya kau sama sekali tidak memiliki dasar memanah" ucap sang pangeran yang telah berdiri di belakang Pysche. Gadis itu segera membalikkan badannya dan seketika nampak malu karena Woon telah menyaksikan kecanggungannya dalam memanah.

"ah... Maafkan saya" ucap Pysche meletakkan busur dan anak panah di tempatnya dan hendak berjalan menjauh. Karena tidak ingin gadis itu pergi begitu saja dengan refleks sang pangeran menahan tangannya untuk mencegahnya pergi.

Pysche menoleh dan melihat bahwa sang pangeran telah memegang tangannya. Kontak fisik yang tiba-tiba itu membuat gadis itu seketika merasa malu dan pipinya merona merah. Woon yang melihat sikap pemalu dari sang gadis pun seketika merasa malu dengan tindakannya yang cenderung agresif. Dia segera melepaskan tangannya dan mengusap tengkuk lehernya karena merasa canggung.

"Maafkan aku..." ucap sang pangeran pelan. Pysche tidak menjawab dan hanya menundukkan wajahnya. Mencoba menyembunyikan ekspresi malunya.

"Sebenarnya.... Aku hanya ingin menawarkan diri untuk membantumu belajar memanah... Itu saja...." jelas Woon dengan gugup.

"Kau bersedia mengajariku?" Pysche tiba-tiba menjadi bersemangat. Dia menampakkan keantusiasannya mata yang berbinar-binar. Woon tak mampu menahan senyum ketika melihat ekspresi gadis tersebut. Dia sangat cantik. Sang pangeran mengangguk pelan dan membuat gadis itu semakin bahagia. Sejak saat itu pangeran Woon akan selalu meluangkan waktunya untuk mengajari Pysche tentang teknik memanah.

Suatu ketika, saat Pysche sedang melakukan latihan rutin memanahnya dengan Woon, tanpa sengaja Siera yang sedang berjalan bersama Gwi melihat mereka. Sang putri baru saja keluar istana bersama pengawal setianya. Ketika dia melihat sang adik sedang nampak akrab dengan anak dari pamannya, Siera tak merasa senang. Dia memutuskan untuk menghampiri adiknya segera.

"Woon" panggil Siera dengan suara tegas kepada sang adik. Saat itu Woon sedang memegangi tangan Pysche yang sedang menggenggam busur. Sang adik dengan canggung langsung melepaskan pegangan tangannya dari Pysche.

"Oh kakak. Kau sudah kembali?" tanya Woon kepada Siera. Sang pangeran mengamati ekspresi kakaknya dan menangkap sesuatu yang lain dari mata Siera. Sang putri tidak nampak senang. Woon mengalihkan wajahnya kepada Gwi yang berdiri di belakang Siera untuk mencari tahu hal yang mungkin mengganggu kakaknya lewat pengawal setianya, namun Gwi juga tidak menampakkan ekspresi apapun dan nampak serius seperti biasanya.

"Bisakah kita berbicara berdua saja?" tanya Siera. Itu bukanlah permintaan, tapi sebuah perintah yang ditunjukkan kepada Gwi terutama Pysche agar meninggalkan kedua saudara itu sendirian. Pysche mengangguk pelan dan memandang Woon untuk meminta persetujuannya. Woon hanya mengangguk sambil tersenyum kepada Pysche. Gwi dan Pysche membungkukkan badannya kepada keduanya dan berjalan menjauh untuk memberikan keleluasan bagi kedua saudara itu untuk berbicara.

Setelah memastikan bahwa Pysche telah meninggalkan mereka dan tidak akan mampu mendengarkan pembicaraan di antara keduanya. Siera mulai membuka percakapan dengan adiknya.

"Woon, jangan terlalu dekat dengan gadis itu. Bagaimana pun juga dia adalah anak Binju" sang putri memberikan peringatan keras kepada adiknya.

Siera selalu bersikap waspada terhadap setiap hal yang menyangkut Binju. Meskipun selama bertahun-tahun dia telah lama tidak menunjukkan gerakan apapun yang mencurigakan, Siera yakin bahwa sang paman pasti belum menyerah untuk merebut tahta kerajaan Hwon. Kemunculan Pysche secara tiba-tiba di istana ini pasti bukan tanpa alasan. Dia yakin bahwa Binju dan putri angkatnya sedang merencanakan sesuatu yang jahat.

"Kak... Aku rasa Pysche tidak sama dengan paman, dia gadis yang baik. Jangan khawatir..." ucap Woon sambil tersenyum untuk menenangkan kekhawatiran sang kakak.

"Bagaimana kau bisa yakin bahwa dia berbeda dengan Binju? Bagaimana kau bisa yakin jika gadis itu tidak akan terlibat pada rencana jahat apapun yang sedang direncanakan Binju?" Siera tidak mau untuk berhenti bersikap waspada.

"aku memang tidak memiliki data konkret apapun untuk membuktikan bahwa Pysche berbeda... Tapi... Entah mengapa aku bisa merasakannya" Woon melihat ke arah Pysche yang diam-diam mengamatinya dari kejauhan. Sebuah senyuman baru saja tergulung di wajahnya.

"apakah kau menyukai gadis itu?" tanya Siera mencari konfirmasi. Woon mengalihkan pandangannya kepada sang kakak dan tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Dia menjarikan tangannya di rambutnya dan berfikir dengan keras.

"aku....." Woon tak mampu menemukan kalimat apapun untuk menjawab pertanyaan sang putri.

"Woon! Kau gila!" Siera nampak marah dan tidak mampu mempercayainya. Ekspresi wajah Woon melembut dan menatap kakaknya dengan penuh senyuman. Dia memegang kedua bahu kakaknya dan memandang lekat wajah Siera.

"Kakak.... Aku tahu kau mengatakan semua ini karena kau mengkhawatirkanku... Dan aku sangat berterima kasih kepadamu atas hal itu, namun... Tolong, percayalah padaku... Semua akan baik-baik saja...." ucap sang pangeran tanpa menjawab dengan pasti pertanyaan Siera dan malah mencoba meyakinkan sang kakak agar tidak cemas dengan hal yang belum terjadi.

Siera menghela nafas panjang, dia masih tidak mampu menerima semua ini. Tapi dia juga tidak bisa memaksa adiknya untuk melakukan hal yang tidak dia inginkan. Dia memegang punggung tangan Woon di bahunya dan menepuknya dengan lembut.

"Baiklah" ucap sang putri mengakhiri pembahasan keduanya.

Keesokan harinya, Woon membawa Pysche untuk pertama kalinya pergi berjalan-jalan untuk melihat daerah sekitar ibu kota. Pysche sangat bersemangat karena hal itu. Ini adalah pertama kalinya dia pergi ke dunia luar tempat dimana banyak manusia berkumpul tanpa merasa takut. Gadis itu tidak lagi takut dengan para manusia karena dia tahu, Woon akan melindunginya.

Setelah berkeliling di sekitar ibu kota, Woon mengajak Pysche beristirahat di suatu tempat yang lebih sepi di dekat danau. Woon mengajak Pysche untuk duduk bersama di sebuah kursi kayu dan menikmati sepoi semilir angin yang menyejukkan. Saat itu Woon mengambil bungkusan besar yang sejak tadi dia bawa di punggungnya dan memberikannya kepada Pysche.

"ini adalah hadiah untukmu" ucap Woon memberikan bungkusan tersebut kepada Pysche.

"hadiah?" tanya Pysche tak mengerti. Gadis itu perlahan membuka bingkisan yang dia terima dan menemukan ada busur yang sangat indah di dalamnya. Busur itu merupakan hasil buatan oleh peri hutan yang sangat langka. Pysche tidak mampu mempercayai matanya. Dia memandang ke arah Woon dengan tatapan yang dipenuhi dengan tanda tanya.

"hadiah karena kau telah mampu menguasai teknik memanah dengan baik. Selamat" Woon tersenyum tulus dan memandang gadis itu dengan tatapan lembut. Pysche mampu merasakan ketulusan yang terpancar dari ekspresi wajah Woon. Kebaikannya membuat gadis itu mulai berkaca-kaca dan menangis dalam diam.

"Terima kasih..." Pysche memeluk busur itu ke dalam dekapannya. Woon merasa tersentuh dengan cara penerimaannya. Saat itu pertanyaan Siera kembali terngiang di ingatannya.

"Kau tau Pysche... Kemarin kakakku menanyakan hal yang sangat serius kepadaku" ucap Woon kemudian.

"Hmm... Pertanyaan apa itu?" Pysche mengusap matanya yang telah di penuhi air matanya.

"Apakah aku menyukaimu?" Woon memandang lekat mata Pysche seolah ingin membaca pikirannya. Gadis itu tercekat mendengar pertanyaan tersebut. Membayangkan jawaban yang diberikan Woon membuatnya merasa berdebar, secara instan pipinya pun bersemu merah. Tapi nampaknya sang pangeran itu tidak akan langsung memberitahunya tentang jawaban yang dia berikan kepada Siera.

"La .... Lalu?" tanya Pysche dengan gugup. Woon tersenyum penuh makna.

"Ya... Aku menyukaimu... Hmm... Mungkin akupun telah mencintaimu?" sang pangeran mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya dengan wajah yang bersemu merah.

Seketika itu Pysche langsung merasa bersalah, di sisi lain dia merasa bahagia dengan perasaan Woon terhadapnya. Namun ketika dia mengingat perjanjiannya dengan sang ayah, Pysche tidak bisa menahan hatinya untuk merasa dilema. Ada tetesan air mata yang seketika jatuh di pipinya. Woon mendekatkan wajahnya kepada Pysche dan mengamati responnya. Gadis itu tidak menunjukkan ekspresi penolakan. Sang pangeran pun mengecup bibirnya dengan lembut untuk mengekspresikan kasih sayangnya.