"Kurang dari satu hari maka aku akan sah menjadi istri orang yang lebih cocok kupanggil om-om. Aishh, sial!! Masa aku harus nikah sama orang tua apa? Di muka bumi ini hanya dia kah laki-laki yang bisa menikah denganku. Takdir macam apa ini, hah?"
Umpat seorang gadis yang pikirannya sedang berkelana kemana-mana.
Gadis yang sedang mengomel dan mengumpat gila-gilaan itu adalah Amelia Putri Pratama. Sudah berhari-hari ia sangat stres mengingat dirinya akan segera menikahi seorang om-om.
"Idih amit-amit."
"Mau taruh dimana muka elu, Lia?"
"Loe yakin bisa ke kampus setelah menikah?"
"Duh..., kenapa hidup gue ribet banget sih. Kenapa gua gak lahir jadi batu atau jadi kayu sekalian. Bosan gue hidup kalau gak sesuai rencana, ini mah."
"Nikah mah emang enak. Tapi nikahnya harus jelas siapa orangnya. Kenapa sih gue harus nikah sama sih tua bangka itu. Apa gak ada cowok ganteng atau kalau boleh oppa-oppa Korea gitu, hah? Gak apa-apa gak cinta asalkan sama-sama masih muda."
Amelia bergumam seraya mengumpat seorang diri. Selang air yang dipegangnya untuk membersihkan rumah bebek telah mengalir kemana-mana tanpa tentu arah dan hal itu tak disadarinya. Sama seperti dirinya yang kehilangan arah setelah ia mengiyakan perkataan ayahnya untuk menikahkannya untuk menyenangkan ayahnya di hari-hari terakhir hidupnya.
Tanpa disadari Amelia, seorang gadis tomboi yang adalah sahabatnya di kampung berjalan mendekatinya dan muncul tiba-tiba tepat di samping gadis cerewet itu dan langsung ikut nimbrung.
"Tapi dia ganteng, kan?" Seorang melempar pertanyaan membuat Amelia refleks menjawab tanpa menoleh lebih dulu.
"Iya sih ganteng, emang ganteng orangnya . Tapi masalahnya dia tua banget, tahu gak? Ehhh-," Amelia menjeda ucapannya ketika sadar ada yang tidak beres dengan dirinya. Sontak saja gadis muda itu menoleh ke arah datangnya sumber suara.
"Riskia?" Amelia tersenyum lalu memeluk gadis tomboi itu kuat-kuat. Selang ditangannya ia lepas begitu saja tanpa peduli yang akan terjadi nantinya.
Riskia Mahardika biasa disapa Kiki. Gadis yang memiliki paras ayu itu adalah gadis tomboi. Sejak kecil, gadis itu terlahir menjadi tomboi sejati karena sifat dan sikap Kiki bertolak belakang dengan wujud aslinya.
Kiki bersahabat dengan Amelia sejak masih dibangku sekolah dasar dan mulai terbiasa menjadi bodyguard Amelia yang cengeng. Selain menjadi bodyguard, Kiki adalah penasihat terbaik yang Amelia punya. Kemana-mana mereka selalu bersama. Makan, tidur, jalan dan ditemani pun selalu sama-sama.
Mereka tumbuh bersama dengan status dan kesenjangan sosial yang berbeda jauh. Itulah mengapa Amelia berkuliah di kota sedangkan Kiki tetap di desa dan berjualan seperti kedua orang tuanya. Kendatipun, mereka tetap bersahabat tanpa peduli semua hal yang membuat mereka merasa tidak nyaman.
"Sejak kapan kamu disini?" Amelia sangat antusias sekaligus merasa senang ketika melihat sahabat masa kecilnya datang menemuinya setelah hampir seminggu dia berada di desa.
"Sejak kamu bergumam sendiri kaya orang gila disini, Lia." Kiki menjawab dengan ketus seraya meraih selang air yang Amelia lepas di tanah.
"Nge-halu juga ada batasannya Amelia... Batasan yang hanya kamu dan diri kamu yang tahu sampai mana kamu harus berhenti. Jika tidak, batasan itu akan menenggelamkanmu dan berakhir seperti ini." Kiki menunjuk tanah tempat mereka berpijak yang kini telah berubah menjadi genangan air karena ulah Amelia yang selalu tidak peduli dengan hal-hal kecil di sekitarnya.
"What!! Kok bisa jadi gini sih?" Amelia bertanya pada dirinya sendiri.
"Bisalah Lia." Kiki melepaskan selang itu ke dalam genangan air lalu berjalan mendekati kran air.
"Itu karena kamu gak fokus sama satu masalah terus muncullah masalah baru karena kamu melepas masalah itu." Tegas Kiki lalu menutup kran air rapat-rapat.
"Maksud kamu apa sih, Riskia. Bukannya ngehibur temannya yang lagi stres malah nambahin stres. Sudah begitu, lama banget mengunjungi sahabatnya padahal aku sudah mau seminggu disini loh." Amelia merajuk.
"Daripada nasihatin aku mulu dengan nasihat klise kamu itu, lebih baik kamu dengerin kisah pilu aku." Amelia merangkul lengan Kiki lalu membawanya pergi ke pinggir penangkaran ikan mas.
"Aku sudah tahu kok, Lia." Jawab Kiki yang malas bergerak namun tetap saja ditarik paksa oleh Amelia.
"Dasar wanita pemalas, pokoknya hari ini kamu gak boleh pulang. Titik." Amelia mengoceh sembari tertawa ringkih.
"Gak pakai koma, yah?"
"Engakk!!"
"Pakai koma aja."
"Engakk!!"
"Hahahha."
***
Faisal melepaskan jaketnya lalu melempar dirinya ke atas ranjang. Tampaknya lelaki yang berada di usia yang matang itu sedang sedih juga terlihat letih. Mulai dari raut wajahnya, cara berjalan bahkan tingkahnya terlihat aneh sehabis pulang dari rumah Amelia. Seperti ada sesuatu yang menekan pikirannya.
Yah, tadi Faisal sempat berkunjung. Lelaki tiga puluh dua tahun itu hanya ingin memastikan semua seserahan yang dikirimkan keluarganya telah sampai dengan aman. Selain itu, tujuannya pergi ke rumah Amelia adalah mengajak calon istri kecilnya agar berkunjung ke katedral untuk bersama-sama melihat persiapan pemberkatan nikah mereka di esok hari nanti. Namun, kesempatan terakhirnya untuk dekat dengan Amelia malah semakin membuat mereka jauh.
Semua hal itu membuat Faisal sadar. Mulai dari hari pertama dia mengunjungi Amelia sampai hari terakhir dia menjadi bujangan pun, kesempatan untuk mendekati Amelia sama sekali tidak ada kemajuan.
Faisal pikir dengan setiap hari dia berkunjung, Amelia dapat mengingatnya dan mengenalinya atau setidaknya bisa menyapanya. Namun lihatlah, sudah H-1 pun belum ada tanda-tanda kedekatan di antara mereka. Mungkin itulah penyebab Faisal sedih ditambah lagi perkataan ayah Amelia tadi pagi saat Faisal berkunjung ke peternakan keluarga Pratama dan melihat langsung calon istrinya itu sedang mengurus ternak ayahnya bukan melihat persiapan pernikahan mereka esok nanti.
Saat sedang melamun, sekilas perkataan ayah Amelia membuat perhatian Faisal teralihkan sepenuhnya.
"Dia pasti sedang stres." Ayah Amelia menjawab pertanyaan Faisal ketika lelaki tiga puluh tahunan itu bertanya mengapa Amelia berada di dalam peternakan sejak pagi saja.
"Melihat Amelia saat ini sedang mengingatkan saya pada diri saya yang dahulu." Kemudian Fajar mulai bercerita.
"Dahulu saat Amelia kecil, saya selalu membawanya ke peternakan. Di peternakanlah tempat saya bisa menangis dan melepas stres. Ada kalanya saya terisak dengan kerutan-kerutan di dahi yang menandakan saya lagi stres. Entah stres karena pekerjaan atau masalah pribadi. Saya enggan berada di rumah jika stres karena alasan tidak ingin Mamanya Amelia melihat saya. Bagi saya, masalah saya adalah masalah saya yang tidak perlu melibatkan anggota keluarga. Namun saya pikir hal itu adalah hal yang haik namun saya melupakan satu hal bahwa anak saya, Amelia sedang melihat saat itu. Luka, rasa sakit dan stres yang saya rasakan terbagi dengannya membuatnya menjadi sama seperti saya. Dia tidak pernah mengeluh ataupun menangis jika mendapat masalah. Semuanya selalu disimpannya sendiri dan pada akhirnya, peternakan adalah tempatnya melepas stres."
"Nak Faisal tahu, saya menyesal menipunya untuk menikahkannya di usia yang muda tapi saya tidak menyesal karena anda-lah orang yamg menikahinya. Rasa percaya saya sama berikan kepada kamu sama besarnya dengan rasa percaya saya kepada ayahmu. Maka itu, jangan kecewakan saya dengan rasa percaya ini. Jagalah anak saya dan jangan biarkan dia stres dalam waktu yang lama."
"Mungkin belum saatnya kalian jatuh cinta namun perlahan, cinta itu akan tumbuh mengisi hati kalian."
Mengingat akan perkataan ayah Amelia membuat Faisal bersemangat kembali namun tak bisa dipungkiri jika hatinya masih memikirkan Amelia.
"Jika dia stres saat ini itu artinya pernikahan inilah yang menjadi beban pikirannya hingga dia stres. Dan itu artinya, dia tidak menginginkan pernikahan ini." Batin Faisal bertanya-tanya.