Faisal menghempaskan dirinya di kursi kebesaran miliknya tepat saat ia berada di dalam ruangan kerjanya.
"Huh ..." Hembusan napas panjang keluar dari bibir sexy Faisal.
Akhir-akhir ini, tepatnya setelah menikah, Faisal terus mengeluh. Bagaimana tidak mengeluh, coba? Kelakuan istrinya sangat menguras kesabarannya.
"Siapa suruh menikah dengan anak kecil?" sahut Ryan dari balik pintu.
Rupanya sahabat sekaligus sekretarisnya itu juga sudah melihat perubahan sikap Faisal dari beberapa hari yang lalu. Ryan begitu paham dengan apa yang mengganggu pikiran sahabatnya.
Setelah menutup pintu, Ryan melangkah mendekati Faisal yang sedang duduk menopang dagu.
"Kenapa? Ada masalah lagi sama istrimu?" tanya Ryan yang langsung duduk di sebuah bangku tepat di depan meja kerja Faisal.
"Menurut kamu?" Alih-alih menjawab, Faisal malah berbalik tanya setelah ia menghempaskan lagi napasnya ke udara.
"Jelaslah ada masalah. Akhir-akhir ini aku perhatikan, raut wajahmu menjadi suntuk setiap kali datang ke kantor. Baru juga beberapa hari menikah. Sebulan juga belum, tapi sudah banyak kerutan-kerutan seperti itu?" Ryan menunjuk dahi Faisal dengan jari manis.
"Memangnya kenapa? Coba cerita. Siapa tahu aku bisa bantu? Atau kau sudah lupa, sahabatmu ini genius?" tambah Ryan mengingatkan lagi.
"Huh ..."
Faisal menghembuskan napas lagi. Kemudian, Faisal memberi isyarat kepada Ryan agar sahabatnya itu mendekat.
"Kupingmu, dasar mesum!" Bentak Faisal ketika melihat Ryan memajukan bibirnya.
Bukan namanya Ryan jika tidak bertingkah konyol. Bahkan saat seperti ini, Ryan masih sempat menggoda sahabatnya. Usai mendekatkan kupingnya, Ryan pun diam sesaat.
Setelah beberapa menit berlalu, Ryan tampak mangut-mangut seolah sedang mencerna perkataan yang barusan Faisal bisik ditelinganya.
"Jadi begitulah ... Menurutmu?" Tukas Faisal lalu kembali bertanya.
"Kalau begitu ..., sini." Ryan menarik kembali telinga Faisal lalu tampak membisikan sesuatu disana.
"Menurutmu? Kalau menurutku, itu rencana paling ampuh membuat istri kecilmu bisa mandiri dan berhenti menjadi istri yang bawel dan ngeselin. Plus, dia bisa paham dunia pernikahan itu seperti apa." Jelas Ryan dengan nada bertanya usai membisikan perkataan yang terdengar cukup konyol ditelinga Faisal. Dan mungkin bagi Faisal, perkataan Ryan tidak akan disanggupinya. Karena Ryan tahu, Faisal tidak pernah neko-neko dan paling malas berurusan dengan hal-hal yang menurutnya aneh.
"Jangan bilang tidak, yah. Ini bukan untuk kebaikanku. Coba dulu dan lihat apa yang terjadi setelahnya." Sela Ryan ketika melihat Faisal akan membantah ucapannya.
"Baiklah. Akan aku lakukan. Tapi hanya berlaku untuk bulan ini. Tapi jika tidak ada perubahan, mari kita coba cara lain. Bagaimana?" Tantang Faisal kepada dirinya sendiri tepat di hadapan sahabatnya.
"Setuju." Ryan mengangguk. Lelaki itu juga tidak sabar melihat sahabatnya yang cukup tertantang.
Setelah pembicaraan singkat di pagi hari itu berlalu, Faisal dan Ryan kembali disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Namun begitu, pikiran Faisal tidak pernah berhenti memikirkan tingkah menyebalkan, mengesalkan dan menjengkelkan istri kecilnya.
***
Amelia menguap, membuka mulut lebar-lebar lalu membersihkan kotoran di matanya sebelum energi dan kesadarannya terkumpul kembali.
Setelah melihat cahaya matahari yang terpantul melalui kaca jendela yang lupa ia tutupi semalam, Amelia mulai bangun.
Di dalam ruangan kamarnya, ia merasakan panas di sekujur tubuh yang cukup membuatnya mengumpat di pagi menjelang siang hari.
Yah, karena sudah jam sebelas, sinar matahari cukup menyengat. Mana mungkin matahari masih ditempat yang sama di jam seperti ini?
"Jam berapa ini? Kenapa dia tidak membangunkanku? Tumben." Amelia bergumam sembari mengusap ilernya.
Tangan gadis itu mulai meraba-raba di sekitar ranjang. Mencari handphonenya yang semalam ia buang entah kemana.
Setelah mendapatkan apa yang gadis itu cari, Amelia pun membuka ponselnya, melihat jam berapa sekarang di benda pipih tersebut.
"Oh ... jam sebelas." Gumam Amelia tanpa dosa.
"Lapar!"
Lirih gadis muda itu lalu menyusut turun dari atas ranjang dan melangkah keluar menuju dapur. Gadis itu tampak santai meninggalkan kamarnya yang terlihat seperti kapal yang baru saja pecah.
Bayangkan saja jika Amelia terlahir dari latar belakang keluarga yang sederhana? Kemudian menikah, dan tinggal seatap dengan mertua dan ipar yang cerewet?
Apa jadinya?
Jangan dibayangkan! Dipikirkan saja sudah mengerikan. Bisa-bisa gadis itu ditelah hidup-hidup karena selalu bangun kesiangan.
Beruntung Amelia terlahir dari keluarga kaya raya lalu menikah juga dengan anak konglomerat. Coba saja kalau tidak? Habislah Amelia dibuat.
"Umm ..." Amelia tersenyum manja di depan meja makan. Wajah khas bangun tidurnya mengembang dan itu mengemaskan. Walaupun dalam beberapa kasus terlihat menjijikkan, sih.
"Ternyata, om-om itu ada gunanya juga, yah? Untung aku dinikahi sama dia. Kalau engak, rugi aku. Hidupku pasti berantakan tanpa dia." Gumam Amelia tanpa malu.
"Cakep sih. Bisa masak juga, bersih-bersih rumah, pekerja keras dan paling penting, bisa urusin aku." Tukas Amelia sambil menatap meja makan yang sudah dipenuhi makanan buatan Faisal dan rumah yang ditinggal dalam keadaan bersih dan rapi.
Padahal yang seharusnya berlaku di muka bumi ini adalah istri yang bekerja melayani suami di rumah. Masak, nyuci, ngepel dan lain-lain. Namun kini, lihatlah sendiri? Dunia sepertinya sudah terbalik untuk rumah tangga baru ini.
"Seharusnya dia tidak usah menikah denganku jika bisa melakukan semua hal sendiri tanpa bantuanku. Lihat, semua dilakukannya begitu sempurna." Pikir Amelia polos. Gadis itu memang polos. Saking polosnya, hal-hal yang berada di sekelilingnya tak digubris.
"Ahh .., masa bodoh! Yang penting aku bisa makan dan hidup bahagia tanpa harus jadi babu disini." Amelia tersenyum lebar lalu menyabit piring dan sendok di atas mini rak kemudian memulai sarapan paginya.
Tampaknya, ada yang salah dengan pemikiran gadis berusia belasan tahun itu. Entah memang bodoh, polos atau pura-pura bodoh? Yang pasti, pemikirannya tentang hubungan pernikahan sudah disalahartikan olehnya sejak awal bertemu Faisal.
Amelia berpikir jika menikah hanya akan merusak dan merepotkan dirinya. Namun secara mental, gadis itu belum siap menjalani namanya bahtera rumah tangga. Dan itu .., terbukti sekarang.
Setelah makan, Amelia beranjak begitu saja dari meja makan. Sepasang piring dan gelas yang ia gunakan untuk sarapan tadi dilepas di wastafel begitu saja. Tanpa terbesit pikiran untuk mencuci piring. Gadis itu terlalu malas.
Uahh ...
Amelia membuka mulutnya lebar-lebar, ia menguap. Jujur saja gadis itu masih merindukan hangatnya ranjang.
"Ah.., ngantuk." Lirihnya lalu melangkah menaiki tangga ke lantai dua dimana kamarnya berada. Padahal saat itu, jarum jam sudah berada di pukul dua belas siang.
Tanpa merasa bersalah, Amelia membaringkan tubuhnya di ranjang seraya menatap langit-langit kamar yang bernuansa futuristik itu. Sebelum benar-benar terlelap, Amelia kembali mengecek gawainya.
Pesan-pesan dari dua teman kampusnya bermunculan bak spam chat di handphonenya. Tak henti-henti dering notifikasi bergetar usai mode pesawat dinonaktifkan sang empu. Masing-masing nama kedua temannya memenuhi tangga obrolan aplikasi online. Baik aplikasi berwarna biru, merah, putih maupun hijau. Nama Dea dan Reyhan menempati posisi pertama disana.
"Dasar kalian. Baru juga ditinggal beberapa hari tanpa kabar sudah heboh." Desis Amelia sambil membuka pesan chat dari kedua temannya. Walaupun sambil mengeluh, tetap saja Amelia membalas satu per satu pesan dari teman-temannya dengan senang hati. Setidaknya ada teman dan sahabat yang bisa menghibur dirinya selain orang tua yang selalu menuntut.
***
Faisal memarkirkan mobil Ferari sport miliknya di garasi. Keningnya kembali berkedut. Bersamaan dengan itu, helaan napas dihembuskannya untuk kesekian kalinya di hari ini karena ulah sang istri.
Inilah resiko menikahi anak di bawah umur. Bikin pusing!
"Apa dia pergi dan belum pulang?" Faisal mencoba berpikir jernih walaupun sebenarnya ia sudah tidak tahan lagi.
"Jika benar, setidaknya lampu rumah dinyalakan." Lirih Faisal sembari memijat pelan pangkal hidungnya.
"Sabar. Kesabaran masih bisa bertahan beberapa jam sebelum di re-charger lagi, Fais." Faisal menyemangati dirinya sambil melangkah ke depan rumahnya dengan senter handphone ditangannya.
Penerangan malam itu sungguh payah. Lampu jalan di sekitar kompleks rumahnya entah kenapa mati. Tak ada satu pun yang menyala, dan cahaya rembulan di langit nampak redup karena mendung.
Sesampainya di depan pintu, Faisal mencoba mengetuk namun tak ada respon. Detik berikutnya, Faisal kembali menyisipkan benda pipi di saku jas miliknya dan perlahan membuka pintu rumah mereka.
Saat pintu rumah dibuka, betapa kagetnya Faisal melihat penampakan istrinya yang berdiri tepat di hadapannya seperti setan gila. Eh, salah. Maksudnya setan wanita. Penampakan istrinya bak setan karena cahaya lampu yang menyoroti tepat wajah pucat sang istri.
Huh ...
Faisal membuang napas seraya mengusap kasar dada. Bukan main ketakutan Faisal malam itu.
"Kamu ngapain disana?" tanya Faisal kepada Amelia yang sedang mencari-cari dalam keadaan gelap gulita. Terlihat senter handphone di genggamannya.
"Lagi cariin stop kontak. Om gak lihat apa? Gelap ini? Pakai nanya lagi, ish." Omel Amelia.
"Memangnya stop kontak di rumah ini Om sembunyiin? Kenapa sulit sekali nyariin kontak lampu? Kesel deh." Tambahnya gadis itu lagi.
Mendengar perkataan istrinya, Faisal hanya bisa menggeleng dalam kegelapan. Tanpa menjawab pertanyaan istrinya, Faisal diam-diam menekan kontak lampu.
Seketika itu juga, lampu langsung menyala bersamaan dalam hitungan detik. Cahaya lampu bergerak dari depan hingga belakang, membuat semuanya terlihat menarik dan kontras.
"Ini ... stop kontaknya ada di-," Ucapan Faisal terjeda ketika melihat Amelia berbalik menatapnya. Betapa cantik dan anggun Amelia dalam balutan gaun slim fit dan riasan tipis di wajah oval sang istri.
Sungguh, saat itu Faisal terdiam. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia kembali terpukau melihat kecantikan istrinya.