Amelia kembali ke tempat duduknya sambil mencoba menahan gejolak yang terus berdesir didada. Gadis itu benar-benar kaget sekaligus kagum saat mengingat betapa manisnya lelaki itu menolongnya. Bahkan pipinya sampai merona.
Sungguh! Itu kali pertamanya berinteraksi dengan laki-laki sebayanya selain sahabatnya Reyhan. Dan itu juga kali pertamanya berdebar hanya dalam sekali pandang.
Bagaimana tidak berdebar?
Lelaki misterius itu sangat tampan. Kulitnya putih bersih, tinggi semampai, rambutnya hitam dengan model wave serta alis dan bulu mata yang lentik. Semuanya terlihat kontras dan itu membuat Amelia jatuh hati.
"Loe kenapa?" tanya Dea ketika melihat wajah Amelia merah jambu.
"Gak, gak apa-apa," sangkal Amelia yang langsung meletakan piring makannya di atas meja.
"Terus kenapa wajah loe merah merona, gitu?" tanya Reyhan yang sedari tadi memperhatikan sahabatnya.
"Gue gak apa-apa kok." Tukas Amelia.
"Bohong!" Tambah Dea dan Reyhan ikut mengangguk.
"Apaan sih loe berdua. Makan tuh nasi! Keburu dingin baru tahu!" Ketus Amelia kepada kedua sahabatnya yang masih menatapnya dengan tatapan penuh curiga.
Setelah itu, mereka bertiga mulai lahap menikmati hidangan malam itu. Sesekali mereka mengobrol dan bergurau ala kadarnya saja.
Sementara lelaki misterius yang tadi menolong Amelia itu tak sengaja menemukan sebuah cincin dengan motif A&F di belakang cincin tepat saat Amelia terjatuh.
Namun, cincin itu tak dikembalikannya saat itu juga. Malahan, lelaki itu menyimpannya untuk sementara walaupun dia sudah tahu bahwa cincin itu adalah milik gadis yang sempat ditolongnya.
***
Sementara Faisal masih setia menunggu istrinya di depan meja kerjanya. Ditangannya sudah ada perjanjian perkawinan dalam bentuk print out yang ia ketik sendiri sejak beberapa jam yang lalu.
Lelaki tiga puluh tahunan itu masih semangat menunggu sang istri walaupun beberapa kali ia menguap karena lelah. Namun, Faisal sudah bertekad. Jika istrinya pulang nanti, dia akan memberikan perjanjian perkawinan itu. Entah nanti akan ditentang Amelia, keputusan Faisal sudah bulat dan tidak bisa diubah.
Di lain sisi, Amelia dan kedua sahabatnya sudah selesai makan. Setelah benar-benar kenyang, kini mereka bertiga memilih bergabung dengan para mahasiswa lain untuk menikmati party yang belum kunjung usai.
Saat sedang asik-asiknya bergoyang di stand, Amelia merasa haus. Dengan cepat gadis itu berlari ke belakang mencari air minum. Namun saat dirinya sampai di depan mini bar, Amelia langsung menyeruput sebuah koktail berwarna merah yang berada di atas long table yang sudah disediakan. Dan bodohnya Amelia, ia tidak bertanya lebih dulu dan langsung meminumnya. Amelia pikir minuman berwarna merah terang itu adalah jus atau fermentasi buah stroberi yang tidak mengandung alkohol. Namun, Amelia salah.
Setelah meminum segelas koktail hingga tak tersisa, Amelia kembali ke dalam menjumpai kedua sahabatnya. Namun sepanjang perjalanan, langkah kaki Amelia semakin goyah. Tangannya mulai memegang dinding untuk menahan keseimbangan tubuh. Sementara badannya mulai berliuk-liuk layaknya orang mabuk. Karena memang, reaksi alkohol di dalam koktail itu sudah bereaksi di sekujur tubuhnya.
Sesampainya di depan Dea dan Reyhan, Amelia mulai goyah hingga hampir saja terjatuh. Untung saja, Dea cepat menarik tangan sahabatnya hingga gadis itu berdiri kembali.
"Loe ngak apa-apa kan, Lia?" Dea menunduk menatap wajah Amelia yang tampak aneh usai mengajukan pertanyaan demikian.
"Apa...!!! Gue gak dengar. Sudah gue bilang gue gak suka sama dia apalagi nikah!" Teriak Amelia membuat Dea dan Reyhan saling bertatapan. Keduanya heran bahkan sangat heran.
"Lia, loe ngak apa-apa, kan?" Reyhan menepuk pundak sahabatnya sembari menahan tubuh Amelia yang bergoyang tanpa arah
"Apaan sih. Gue gak apa-apa! Kan tadi sudah gue bilang." Tandas Amelia kemudian melepas paksa tangan Reyhan dari pundaknya.
Reyhan terdiam melihat tingkah Amelia terhadapnya. Gadis itu tidak baik-baik saja dan Ryan yakin itu. Karena tingkah Amelia menujukan hal sebaliknya.
"Sepertinya dia mabuk." Bisik Reyhan kepada gadis berbadan mungil disampingnya.
"What?!" Seru Dea. Gadis itu kaget.
"Loe tahu dari mana, Rey?" tanya Dea. Dea masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya barusan.
"Lihat saja gaya bicaranya dan bola matanya. Persis orang mabuk gitu." Jawab Reyhan tenang.
"Duh, kok bisa dia mabuk?" Tanya Dea yang kemudian sibuk menatap keadaan sekitar.
"Siapa sih yang kasih dia minum?" Batin Dea yang langsung melangkah pergi.
"Eh, mau kemana loe?" tanya Reyhan cepat ketika melihat Dea melangkah pergi dari sisinya.
"Mau gue marahin tuh orang yang kasih dia minum-minuman keras. Tahu masih di bawah umur juga!" Ketus Dea. Raut wajahnya tampak kesal.
"Memangnya loe tahu siapa orangnya? Ngak kan?" Reyhan berbalik tanya dan Dea menggeleng cepat.
"Daripada loe marah-marah gak jelas, mendingan kita bawa Amelia pulang. Kasihan dia, udah capek ngoceh tuh." Kata Reyhan kepada Dea sembari menatap Amelia yang sudah nyenyak di atas sofa.
"Ya udah deh." Amelia memutar bola matanya malas lalu dengan cepat merangkul Amelia.
Segera Reyhan dan Dea membawa sahabatnya keluar dari dalam Bar. Walaupun tadi suasana di dalam sempat berdesak-desakan ketika mereka bertiga keluar dari dalam. Ditambah lagi kondisi tubuh Amelia yang berada di bawah pengaruh alkohol. Maka sulit sekali Reyhan dan Dea membawa Amelia keluar dengan normal. Butuh waktu, tenaga dan kesabaran di atas rata-rata untuk membawa sahabat mereka keluar.
Setelah mereka bertiga keluar, grab yang sudah dipesan terlebih dahulu oleh Dea sudah terparkir di depan lobi. Dengan cepat mereka membawa Amelia masuk lalu mereka berdua pun ikut ke dalam.
Di dalam mobil, Dea langsung membawa Amelia ke dalam pelukannya, berhubung gadis itu sudah terlelap. Sementara Reyhan sibuk menujukan lokasi kos Amelia kepada supir grab melalui goggle maps.
"Di dekat Sudirman yah, Pak." Ucap Reyhan kepada sang supir grab usai memberikan lokasi. Selang beberapa menit, grab yang ditumpangi mereka bertiga pun melaju pergi menuju tempat tinggal Amelia yang lama.
Jarak dari Bar ke kos Amelia yang dahulu lumayan dekat. Bahkan tak sampai belasan menit, mobil yang identik dengan warna hijau tua itu sudah terparkir di depan. Setelah membayar ongkos grab, Dea dan Reyhan mulai mengambil alih. Keduanya dengan hati-hati membawa Amelia ke dalam kos.
Namun ketika mereka sampai di depan pintu kamar kos Amelia yang lama, Dea menyadari ada yang aneh. Tanpa berlama-lama, Dea dengan cepat meraih mini bag Amelia lalu mencari kartu akses kos dua lantai tersebut. Namun sama sekali Dea tidak menemukan kunci maupun kartu akses disana.
"Ada apa?" tanya Reyhan ketika melihat Dea yang tampak bingung mencari-cari.
"Ngak ada kartu akses sama kunci kamar di tas Lia. Yang ada hanya ini doang." Jawab Dea seraya menujukan dompet dan handphone yang berwarna senada.
"Mungkin Amelia lupa bawa kunci kali, yah?"
"Ya udah, panggil ibu kos saja biar lebih cepat. Berat nih sih Lia." Reyhan memberi saran dan Dean pun menurut. Namun saat Dea hendak pergi, telepon genggam Amelia bergetar.
Drtt... drtt... drtt...
Benda pipi itu bergetar. Bersamaan dengan itu, nama kontak yang memanggil muncul di depan layar. Melihat nama kontak "Om jahat" dengan banyak emoji marah disana membuat Dea kebingungan menatap layar kaca.
"Nih..." Dea menyodorkan handphone Amelia ke arah Reyhan.
"Apaan?" tanya Reyhan ketika melihat Dea memberikan handphone Amelia kepadanya.
"Angkat saja. Siapa tahu Om-nya." Tukas Reyhan usai menatap benda pipih itu.
"Kalau Om-nya jahat gimana?" Dea bertanya lagi.
"Apaan sih?" Reyhan melirik Dea sekilas.
"Nih, aku kasih tahu. Emoji marah plus emoji galak itu biasanya kode yang diketik Lia di log panggilan untuk orang yang galak dan jahat menurut Lia, tahu gak?" Tukas Dea seraya menunjuk emoji di benda pipi itu.
"Yah, gimana dong? Loe mau biarin saja? Siapa tahu Om-nya khawatir atau panggilan penting, gimana?" Tukas Reyhan. Keduanya masih berdebat hingga bu Marni, ibu pemilik kos yang dulu ditempati Amelia muncul.
"Eh Dea, Reyhan, ngapain malam-malam kesini?" Tanya Marni kepada keduanya. Bu Marni cukup akrab dengan Dea dan Reyhan karena mereka sahabatnya Amelia.
"Duh.., syukurlah Ibu datang tepat waktu." Dea mengusap dada seraya meletakan kembali handphone Amelia ke dalam mini bag. Dan, sengaja tidak mengangkat telepon dari Faisal, suami Amelia.
"Memangnya ada apa?" tanya Marni. Ibu kos yang dulu menampung Amelia sejak 3 tahun yang lalu itu belum menyadari kehadiran Amelia.
"Nih Buk, Amelia tadi pingsan di acara kampus. Jadi kita antar ke kosnya. Tapi kunci kamarnya gak tahu dimana. Mungkin sama Ibu?" Tanya Reyhan kepada wanita paruh baya yang sedang berdiri di hadapannya.
"Oh.., Neng Amel," Marni mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum melanjutkan perkataannya usai melirik Amelia sekilas.
"Setahu Ibu, Neng Amel sudah pindah dari 3 bulan yang lalu ketika Ibu pulang kampung. Teman kalian udah gak ngekos lagi disini." Kata Marni.
Mendengar perkataan Bu Marni, Dea dan Reyhan saling memandang. Jelas sekali keduanya terlihat sangat bingung dengan apa yang baru saja dikatakan.
"Lalu dimana Amelia tinggal sekarang?" lirih Dea.