Map berwarna cokelat tua dan yang sudah lusuh itu ditutup dengan hati-hati oleh Amelia. Ada rasa sedih dan bingung yang datang bersamaan karena isi di dalam map tersebut tak dapat ia pahami. Sementara itu, kenyataan yang berada didepannya saat ini membuatnya semakin takut. Yah, gadis periang, ego, petakilan dan cuek itu merasa takut kehilangan orang yang paling disayanginya.
"Ini, maksudnya apa Pa?" Setelah sekian lama termenung, barulah Amelia membuka suara ketika samar-samar terdengar suara ayahnya memanggil namanya.
Lain halnya dengan Fajar—ayah Amelia. Lelaki paruh baya itu begitu tenang menghadapi putrinya yang sudah membendung air mata. Dengan perlahan, Fajar meraih jemari putrinya lalu berbisik singkat.
"Papa gak tahu sampai kapan Papa bisa bertahan di dunia ini. Untuk itu, Papa ingin memberikan kamu kepada orang yang tepat agar bisa menjaga kamu, Lia." Lirih Fajar.
"Maksud Papa apa sih, Pa!?" Amelia dengan nada tegas bertanya. Namun pertanyaannya itu tak mendapat jawaban dari ayahnya melainkan dari ...
Klekk...
Suara pintu kamar terbuka, menampilkan dua orang yang masih berdiri di ambang pintu. Yang jelas, yang satunya ialah Maura—mama Amelia dan yang satunya lagi..., tunggu!!
Amelia menoleh, lalu dengan saksama memindai dua orang yang sedang berdiri di depan pintu. Suasananya sama sekali tak bisa dibaca oleh Amelia saat ini. Antara tegang dan canggung.
"Silahkan duduk dulu, Faisal." Maura melangkah masuk ke dalam kamar Fajar lalu menyuruh Faisal duduk di sofa putih di samping ranjang.
"Papa ingin kamu segera nikah, Amelia. Karena Papa gak punya banyak waktu lagi di dunia." Maura mendekati putrinya lalu mengatakan semuanya dengan jelas dan tegas.
"Menikah? Gak punya waktu lagi?" Amelia menepis tangan ibunya yang sedang merangkulnya lalu bangun dan menatap manik sang ibu dengan pasti. Gadis itu begitu tegang hingga kehadiran Faisal bagi angin lalu baginya.
"Kata siapa Papa gak punya waktu lagi, Ma? Kata siapa? Mama tahu kan Papa lagi sakit? Seharusnya gak usah bilang gitu!!" Tegas Amelia. Gadis kecil itu semakin bereaksi di hadapan ibunya. Gadis itu sama sekali tak cocok jika berbicara berdua dengan ibunya.
Sementara Faisal dengan tenangnya duduk di sofa sambil memangku kaki dan menatap apa yang sedang terjadi di hadapannya sekarang. Bukan hal baru baginya jika melihat hal seperti itu terjadi. Pasalnya semua sudah berjalan seperti apa yang dipikirkannya ketika ayahnya menyuruhnya menikah dengan anak sahabatnya. Karena ia tahu akan ada penolakan dan kebingungan hebat dan itu terjadi tepat didepan matanya sekarang ini.
"Kata Mbah dukun, Amelia!" Maura cepat menyela.
"Dukun? Mama dan Papa percaya sama dukun? Hari gini masih ke dukun? Seharusnya ke dokter, Ma! Ke dokter bukan ke dukun!!" Amelia tersenyum pelik. Jawaban ibunya bagi lelucon di petang hari. Di zaman sekarang, mana ada yang percaya sama dukun.
"Bukan hanya dukun saja tapi dokter juga mengatakan hal yang sama, Lia." Maura bisa merasakan jika putrinya tidak percaya dan menyangka ia hanya membual. Maka itu, ia harus lebih meyakinkan putrinya lagi.
"Mama gak lagi membual kan? Mama tahu aku paling kesal sama orang yang berkata omong kosong!!" Tegas Amelia tanpa memalingkan wajahnya.
"Mama kamu gak bohong!" Faisal beranjak dari sofa. Lelaki itu ikut nimbrung ketika menyadari waktunya terbuang semakin banyak dan ia harus cepat mengakhirinya.
Amelia, Fajar dan Maura menoleh kepada Faisal yang tiba-tiba saja bersuara. Entah kenapa Amelia merasa dirinya menegang saat melihat Faisal seolah itu kali pertamanya merasa jatuh cinta pada pandang pertama. Faisal dengan tubuh tegap berbalut kemeja hitam dengan lengan yang dilipat hingga sikut dan celana kain panjang merek vest yang membuat tubuhnya terlihat sangat proporsional untuk dilihat. Namun dengan segera Amelia menepis pikiran konyolnya.
"Seperti yang dikatakan Mama kamu barusan itu benar. Dokter telah sepenuhnya angkat tangan atas penyakit ayah kamu. Katanya, kita hanya bisa menunggu waktunya. Dan sampai waktunya tiba, kita harus ikhlas...," Faisal menjeda ucapannya saat hendak mendekati Amelia.
"Namun begitu, seorang dukun yang terkenal di desa seberang mengatakan bahwa Ayah kamu masih bisa sembuh jika kamu mewujudkan keinginan terakhirnya. Keinginan terakhirnya berada di dalam map cokelat itu, Amelia." Faisal menepuk bahu Amelia lalu melirik map cokelat yang tadi gadis itu letakan.
Mendengar perkataan Faisal, Amelia masih diam. Namun perlahan-lahan ia mendekati map tersebut lalu mengambilnya dan membacakannya di samping ayahnya.
Di lain sisi, Faisal merasa lega mengakhiri ceramah panjangnya dengan baik tanpa menimbulkan celah. Barulah setelah itu, Faisal dapat melangkah, meninggalkan ruangan itu namun tetap saja lelaki 31 tahun itu merasa bersalah karena telah ikut membohongi Amelia.
"Rupanya kita bertemu lagi dengan cara ini." Faisal membatin seraya menutup pintu ruangan kamar tersebut. Dalam hati, Faisal merasa senang karena bertemu dengan gadis kecil yang petakilan itu.
"Ternyata dia sudah tumbuh besar dan cantik tapi tetap saja masih petakilan." Gumam Faisal dengan senyumnya yang nakal.
Setelah Faisal keluar dan pintu telah tertutup rapat, Amelia langsung berhambur ke pelukan Fajar—ayahnya sambil memegang map cokelat tua tersebut.
Butiran-butiran bening mulai menetas perlahan dari kelopak mata indahnya. Suara rintihan akibat tangis tak diperdengarkan Amelia di hadapan ayahnya. Gadis itu merasa sedih, kecewa dan terluka ketika mengingat kenangan sepuluh tahun silam bila terulang lagi.
Kenangan-kenangan pahit sepuluh tahun silam kembali datang bagaikan adegan yang ditayangkan secara eksplisit. Satu per satu berdatangan membuat Amelia akhirnya menyetujui perkataan ayahnya tanpa berpikir panjang bahkan menengok kembali sedikit isi di dalam map tersebut.
"A-aku setuju Pa. Amelia janji akan ngelakuin semua permintaan terakhir dari Papa." Lirih Amelia ditelinga ayahnya sembari mengusap sisa-sisa tetesan air matanya. Barulah setelah itu, gadis dengan senyum sehangat mentari menatap manik orang yang paling disayanginya di dunia.
"Jadi, apa yang harus Amelia lakukan sekarang Pa?" Tanya Amelia bersemangat.
Menyadari dirinya begitu bersemangat membuat Amelia merasa membohongi dirinya. Karena sebelum itu wajah yang bersemangat ini, telah menangis tadi.
Munafik!!!
***
Setelah mendengarkan penjelasan dari ibunya Amelia masuk dan mengurung diri di dalam kamarnya. Penjelasan ibunya membuat Amelia menyesali ucapannya yang ia katakan di hadapan ayahnya.
Gadis itu sempat berpikir; Jika waktu bisa ia putar kembali, ia ingin menarik kembali ucapannya tadi. Namun sialnya, jawabannya sudah terlanjur membuat ayahnya bahagia bagaikan tidur di atas kembang.
Husss....
Suara tubuh Amelia beradu dengan hembusan angin saat menyentuh ranjang. Hangat dan nyaman ranjangnya mampu membuat pikirannya tenang walau tak setenang hatinya.
Tiba-tiba saja, gadis yang periang dan heboh itu bangkit lagi dari atas ranjang walau beberapa detik tubuhnya baru menyentuh spring bed-nya.
"Tunggu!! Kata Mama, Papa gak hanya menyuruh aku menikah tapi memberikan apa yang aku mau selama ini. Apakah yang dimaksud Papa itu Map berwarna kuning itu?" Amelia menyipitkan matanya, garis-haris halus di dahi pun bermunculan seolah turut membantu pemiliknya yang saat ini sedang berpikir keras mengamati tumpukan berkas tersebut.
"Sepertinya aku harus banyak membaca." Amelia segera turun dari atas ranjang, meraih kacamata berlensa D miliknya, mengikat rambutnya yang terurai kemudian melangkah cepat mendekati setumpuk berkas yang dipenuhi dengan banyak map kertas. Dimana, di dalam map itu berisi tentang perjanjian, kontrak, surat wasiat dan juga surat perjodohan.
Setelah memeluk setumpuk berkas tersebut, Amelia melangkah mendekati balkon—tempat dimana ia melihat bulan. Namun, jendela kecil yang membatasi kamarnya dan balkon tidak dibukanya melainkan dibiarkannya tertutup lalu mengamati seseorang dari jauh.
"Mengapa... dia setuju menikah denganku, dengan gadis kecil sepertiku?" Batin Amelia ketika matanya menangkap sosok lelaki yang membuat hatinya berdebar.
Bersambung...