Chereads / I Love You, Om / Chapter 5 - Kebohongan

Chapter 5 - Kebohongan

Mobil Van hitam yang ditumpangi Amelia memasuki pekarangan rumahnya. Rumah dengan desain skadinavian itu masih terlihat sama. Halaman yang luas dan dipenuhi bunga itu tetap rapi dan hangat bagi Amelia. Namun ada satu yang berbeda di petang itu. Halaman rumah yang luas yang biasanya sepi kini telah ramai dengan kendaraan roda empat. Mulai dari mobil biasa hingga berharga fantastis terparkir disana.

Melihat mobil-mobil yang terparkir di halaman rumahnya membuat gadis itu mulai resah. Lipatan-lipatan di dahi muncul begitu saja menampakkan wajah khawatir dari sang pemilik mata indah.

"Disini saja, Mang." Amelia memukul-mukul tempat duduk sang supir agar segera menepikan mobil.

"Kita belum sampai, Neng." Supir yang memiliki nama Ujang itu memberitahu Amelia untuk tetap ditempat-nya. Karena jarak ke rumahnya masih jauh ke depan lantaran halaman rumah keluarga Pratama yang sangat luas.

"Disini saja, Pak!! Saya bilang berhenti disini!!" Wajah Amelia memerah saat suaranya terdengar meninggi. Gadis itu khawatir hingga saking khawatir, Amelia pun tersulut emosi.

Tanpa berkata-kata dan memperpanjang waktu, Ujang segera menurunkan Amelia. Dan tepar saat mobil berhenti, Amelia melompat keluar. Gadis itu berlari. Memacu langkah kakinya sekuat tenaga. Bersamaan dengan itu, air matanya pun menetes kala pikirannya memikirkan hal yang tidak-tidak yang akan terjadi dengan ayahnya nanti.

Masih jauh, gadis itu mendengar suara kekehan yang cukup nyaring ditelinga. Suara tawa dan nada percakapan mendominasi ruangan depannya. Walaupun Amelia sedikit bingung dan kesusahan menangkap situasi yang klise ini, akan tetapi saat mendengar suara kekehan itu membuat Amelia sedikit tenang. Karena jika terjadi apa-apa dengan ayahnya maka sudah pasti suara tangisan yang didengarnya bukan suara kekehan sepeti ini.

Baru saat langkah kakinya menginjak pintu depan rumahnya, gadis itu sudah dibuat kaget.

"Ada apa ini?" Amelia bertanya dalam hatinya ketika dirinya mendapati ruang tamu dipenuhi dengan teman dan kerabat dekat ayahnya.

Belum juga Amelia bertanya untuk menuntaskan rasa penasaran, sang mama sudah datang menyambut putrinya.

"Amelia, masuk Nak!!" Sapa Maura. Suaranya meninggi membuat orang-orang di dalam ruang tamu melirik kepada ibu dan anak itu dengan kebingungan. Bahkan, Amelia—anaknya pun menatap ibunya keheranan.

Namun bukan tanpa sebab Maura meninggikan suaranya. Wanita paru baya itu hanya sedang memberitahukan suaminya kalau anaknya sudah pulang. Maura takut jika suaminya belum berakting seperti orang sakit beneran. Karena tadi saat dia datang ke depan, Fajar masih setia menonton TV di dalam kamar dengan teman-temannya. Dan kekhawatirannya bertambah jika Amelia tahu permainan ini.

"Ma...," Amelia berlari mendekati mamanya yang masih memasang wajah tegang. Lain halnya dengan Amelia yang akan segera menangis.

"Pa-papa dimana, Ma?" Amelia dengan mata berkaca-kaca.

"Di.., di ka-kamar." Ucap Maura ragu-ragu.

Tanpa menunggu mamanya, Amelia langsung berjalan dengan langkah cepat menuju kamar ayahnya di lantai dua. Gadis itu sanggat menyayangi ayahnya. Dan wajar jika begitu.

Melihat anaknya yang sudah menjajal satu per satu anak tangga menuju lantai dua membuat mata Maura melotot. Wanita itu belum juga memberitahu suaminya tentang keberadaan putrinya yang sudah sampai di rumah. Dan akan bahaya jika Amelia tahu apa yang akan terjadi nantinya. Dengan cepat, Maura mengejar anaknya dan menghentikan langkah kaki putrinya.

"Ada apa, Ma? Kenapa?" Amelia menatap mamanya kebingungan. Sementara Maura sedang mencari akal untuk memperpanjang waktu.

"Aduhh anak mama. Pasti kamu cape kan? Jauh-jauh kesini hanya mau ketemu papamu yang penyakitan itu!!" Maura dengan nada suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

"Ma, a-ada apa?" Amelia mencoba melepaskan pelukan mamanya yang sialnya sangat erat menempel ditubuhnya.

"Mama kangenlah sama kamu, Lia. Masa mama harus nge-jelasin lagi." Jawab Maura. Ibu dan anak itu tampak berpelukan di tengah-tengah tangga menuju lantai dua.

Di lain sisi, Fajar—ayah Amelia masih belum tahu tentang kedatangan putrinya yang lebih cepat dari dugaannya. Sementara itu, di kamar Fajar, bersama dengan teman-temannya termasuk Alex, ayah Faisal. Mereka sedang asik menonton ulang siaran motor Gp dengan volume tinggi sehingga suara teriakan istrinya tidak didengarnya.

Saat sedang asik-asiknya menikmati camilan dan menonton TV, Alex—ayah Fajar yang tak sengaja berjalan ke arah balkon untuk menghirup udara segar dan melihat mobil Van hitam milik Fajar yang sudah terparkir di halaman.

"Bukannya itu mobil Van yang dipakai untuk menjemput Amelia?" Tanya Alex seraya melangkah masuk ke dalam.

"Mana?" Fajar melangkah mendekati Alex namun suara Maura istrinya membuatnya sadar. Dari situlah, Fajar akhirnya mengetahui bahwa putrinya sudah kembali lebih cepat dari dugaannya dan saat ini, Maura sedang menahan Amelia yang akan pergi ke kamar ayahnya.

Dengan segera, Fajar menyuruh teman-temannya membantunya membereskan semua kekacauan ini dan bergegas kembali ke atas ranjang layaknya orang sakit usai memberi instruksi kepada teman-temannya.

TV dimatikan segera, plastik-plastik camilan disesek begitu saja di bawah kolong tempat tidur karena waktunya tak banyak lagi. Sementara Amelia sudah berhasil lepas dari pelukan mamanya dan kini menatap keheranan ke arah mamanya.

"Ada apa sih, Ma? Aku gak lapar, gak haus!! Aku hanya kau ketemu, Papa!!" Tukas Amelia lalu berjalan melewati Maura yang sedang berdiri di sampingnya.

Langkah kaki Amelia semakin cepat saat melewati ibunya. Gadis itu hanya ingin bertemu dengan ayahnya dan memastikan semuanya baik-baik saja.

"Pa!!" Amelia dengan nada suara yang meninggi saat membuka pintu kamar ayahnya namun suasana di dalam kamar ayahnya membuat gadis itu tercengang. Air mata yang membendung dan siap meluncur kembali tertahan kala melihat situasi di dalam kamar ayahnya.

"Ada apa ini?" Amelia mengusap anak rambutnya seraya melangkah masuk ke dalam kamar. Saat masuk, matanya tak henti-hentinya menatap kamar ayahnya yang seperti kapal pecah. Sampah-sampah dimana-mana dan syal berwarna merah maroon terbuang sejauh belasan meter.

"Papa gak apa-apa?" Tanya Amelia seraya memungut syal berwarna merah itu dan melangkah mendekati ayahnya yang hendak merebahkan diri di atas ranjang.

"Kenapa kamar Papa ramai begini? Bukannya papa sakit tapi kok kelihatannya seperti sedang berpesta?" Amelia berkata seperti itu karena ia kebingungan.

"Papa kamu memang benar lagi sakit sekarang." Jawab Alex seraya memberi perintah kepada Fajar untuk memperbaiki posisinya. Dengan memanfaatkan kesempatan yang ada, Fajar segera meraih syal miliknya yang berada di tangan Amelia lalu mengenakannya cepat. Sementara itu, Maura—mama Amelia masih berdiri di depan pintu sembari menyaksikan situasi yang jelas-jelas tak bisa ia jelaskan. Wanita paruh baya itu hanya takut jika Amelia mengetahui semua permainan ini.

Lama semuanya berdiam diri membuat Fajar membuka mulutnya.

Uhukk!! Uhukk!!

Lelaki tua yang dua tahun lagi akan mencapai umur setengah abad itu sengaja batuk. Ia batuk hanya untuk mencairkan suasana yang terlihat dingin.

"Papa gak apa-apa?" Amelia dengan segera berpaling menatap ayahnya.

"Gak apa-apa, Nak." Lirih Fajar seraya memainkan matanya menyuruh Maura—istrinya untuk peka agar membawa teman-temannya pergi dari kamarnya. Dengan memanfaatkan situasi yang ada, Maura segera bergerak dan membiarkan ayah dan anak itu sendiri di kamar.

Setelah kamarnya berangsur-angsur sepi, Fajar mulai memainkan perannya. Wajah yang ceria mendadak sayu. Mata yang berseri-seri perlahan-lahan menujukan kelelahan membuat Amelia merasa sedih. Namun begitu, gadis itu masih merasa penasaran kenapa banyak sekali plastik camilan di kamar ayahnya.

"Papa benar-benar sakit?" Tanya Amelia seraya menarik satu plastik dari bawah kolong tempat tidur.

"Yah.., sakit lah sayang. Kalau gak sakit untuk apa Papa di atas ranjang. Lebih baik ayah pergi ke peternakan." Fajar dengan nada suara melemah ketika menjawab pertanyaan putrinya.

"Lalu ini?" Amelia menujukan plastik camilan kentang goreng kepada ayahnya.

"Huh.., kan teman-teman Papa datang jadi Mama kamu siapkan camilan untuk mereka." Jawab Fajar usai menghela napas panjang. Dia pikir anak gadisnya tidak akan banyak tanya jika dia terbaring sakit seperti ini. Namun lagi dan lagi ia salah, Amelia adalah putrinya yang sangat teliti dan gemar bertanya.

"Lalu itu, Pa?" Amelia bertanya lagi sambil menatap tombol TV yang masih menyala. Rupanya teman-teman ayahnya lupa mematikan tombol on/off tersebut.

"Kenapa bertanya seperti itu Amelia Putri Pratama? Dari pada bertanya yang tidak jelas, lebih baik kamu tanya Papa kamu. Apa sudah sehat apa belum? Sakit dimana kek atau apa kek. Datang-datang langsung bertanya. Kamu anak Papa atau bukan sih?" Fajar sudah tak tahan lagi.

"Yah, anak Papa lah!!" Ketus Amelia sambil naik ke atas ranjang ayahnya.

"Cihh.., kamu lebih seperti hakim yang terus bertanya seolah Papa terdakwa." Gurau Fajar dengan nada serius. Melihat ayahnya merajuk membuat Amelia segera memeluk ayahnya.

"Gak, gak!! Aku anak Papa kok!!" Ucap Amelia sambil memeluk erat tubuh ayahnya.

"Ahh!! Ahh!! Sakit itu, Nak!!" Fakar menepuk pundak putrinya.

"Sakit yah Pa? Maaf yah, Amelia kekencangan peluknya." Sontak Amelia langsung melepas pelukan dari tubuh ayahnya padahal ayahnya sedang berakting.

"Gak apa-apa, Li. Lagipula, kamu juga gak akan bisa peluk Papa untuk selama-lamanya." Kata Fajar dengan sedikit lirih. Lelaki tua itu sudah mengeluarkan rencana jitunya.

"Kok Papa ngomongnya gitu sih?" Raut wajah Amelia langsung berubah. Tidak biasanya ayahnya bergurau lalu berpindah pada topik yang serius ini.

"Papa, akan baik-baik saja. Ada aku sama Mama disini." Tanpa berlama-lama, Amelia langsung memeluk erat ayahnya seolah ia tidak mau mendengar fakta yang terjadi setelah ini.

"Justru itu yang buat Papa sangat khawatir." Fajar menghela napas lagi. Kali ini, dia melepaskan pelukan Amelia lalu menarik sebuah map cokelat dari dalam laci dan memberikannya kepada putrinya.

"Apa itu, Pa?" Sebelum Fajar memberikan map tersebut kepada putrinya, Amelia lebih dulu bertanya.

"Kamu sudah bisa baca sendiri kan? Bacalah, Nak. Papa yakin kamu akan mengerti." Fajar menyodorkan map tersebut ke arah putrinya sembari menunggu Amelia meraihnya.

Mata Amelia kembali berkaca-kaca, padahal ayahnya sedang memainkan peran. Walaupun begitu, Amelia tetap sedih bahkan ia sudah tahu maksud di balik perkataan ayahnya yang terawang sebelum dirinya membuka map tersebut.

Bersambung...