Sudah hampir sebulan, aku tidak dapat bertemu dengan Malik. Kami hanya berhungan melalui WA saja. Itupun sudah membuatku bahagia. Dan sepertinya hari ini aku akan tambah bahagia.
Malik diterima di kampus yang berbeda denganku, di luar kota. Jadi selama sebulan ini, ia mempersiapkan segala keperluannya untuk tinggal di luar kota tersebut. Aku merasa sedih waktu itu tidak dapat menemani dirinya, karena aku juga sibuk dengan urusan administrasi kampusku sendiri.
"Pesan apa kakak?" Tanya pegawai kafe membuyarkan lamunanku.
"Oh, iya. Ehmmm. Ice Chocolate Banana, satu. Ice Green Tea, satu" Jawabku sambil kaget.
"OK. Ditunggu ya, kak." Balas pegawai tersebut.
Aku sudah sampai lebih dulu di kafe tempatku janjian dengan Malik. Kami sudah sering datang ke kafe ini semasa SMA dulu. Hari hari ku semakin bahagia semenjak bertemu dengan Malik.
"Oh… Farkas? Ngapain lu di sini?" Tanyaku kaget karena Farkas tiba tiba datang ke kafe ini.
"Lu sendiri ngapain di sini?" Farkas balik menyaiku.
"Kan gue udah cerita kalo hari ini ketemuan sama Malik." Jawabku.
"Di sini?" Tanyanya lagi.
"Iyalah." Jawabku tegas.
"Gue ada janjian juga sama temen, di sini." Jawabnya.
"Temen lu yang mana?" Tanyaku karena meragukan jawaban Farkas.
"Adalah. Lu nggak kenal. Temen baru dari kampus." Jelas Farkas.
"Emang ada yang mau temenan sama lu?" Tanyaku lagi karena masih meragukan jawaban Farkas.
Farkas adalah sosok yang arogan dan terlihat dingin terhadap orang lain. Sehingga, aku tidak yakin ada seseorang yang ingin berteman dengan dirinya.
"Ada." Jawabnya singkat.
"Ntar lu duduknya jauhan dikit. Awas kalo deket deket!" Ancamku.
"Siapa juga yang mau deket deket." Jawabnya lagi singkat.
"Ini, kak Pesanannya. Bayarnya di sebelah sana ya, kak." Kata pegawai kafe tiba tiba, menghentikan pembicaraanku dengan Farkas.
Aku meinggalkan Farkas yang masih menunggu pesanannya. Setelah membayar minuman, aku menuju meja yang berada di pojok kanan.
Farkas memilih duduk di meja yang berada di pojok kiri. Aku lega melihat dia berada jauh dari mejaku.
Tinggg.
Suara dari bel pintu kafe saat kedatangan pelanggan. Terlihat Malik mengenakan setelan warna coklat muda.
"Malik." Kataku pelan, sambil melambaikan tangan. Berusaha agar Malik segera melihatku.
Malik melihat lambaian tanganku, ia tersenyum sambil berjalan ke arah ku.
"Udah lama nunggu?" Tanya Malik begitu tiba dan langsung duduk.
"Nggak, sih. Nggak lama. Aku juga barusan nyampe." Jawabku tersipu sipu.
"Kamu udah pesenin aku minuman?" Tanyanya.
"Iya ini. Ice Green Tea, kesukaan kamu." Jawabku sambil menyodorkan gelas berisi ice green tea kepadanya.
"Makasih, ya." Balasnya.
Tiba tiba raut wajah Malik berubah. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Aku mulai sedikit khawatir.
"Na, aku mau ngomong sesuatu." Kata Malik dengan tatapan serius.
"Apa?" Tanyaku sambil tersenyum. Aku berusaha tetap tenang.
"Kelihatannya kita nggak bisa ketemuan kyak gini lagi." Terangnya.
"Maksud kamu apa?" Tanyaku lagi. Aku mulai khawatir.
"Kayaknya kita nggak bisa ketemuan lagi." Jawabnya dengan nada sedih.
"Loh, kenapa gitu. Apa gara gara kamu sekarang tinggal di luar kota?" Tanyaku lebih lanjut.
"Salah satunya itu. Buat nemuin kamu, aku butuh waktu empat jam perjalanan. Kayaknya aku nggak bisa gini terus." Terangnya lagi.
Aku tidak dapat berkata apa apa. Setelah terdiam selama beberapa menit, aku membujuk Malik lagi.
"Kalau jarak yang jadi masalahnya. Kita masih bisa ketemuan sebulan dua kali, nggak usah sering sering nggak pa pa. Atau kalau masih susah, sebulan sekali deh." Jawabku memberikan solusi.
"Susah, Na." Jawabnya singkat.
"Atau aku aja yang nemuin kamu. Aku yang ke tempat kamu." Aku membuat solusi yang lain.
Malik terdiam, dia tidak mengucapkan kalimat lagi, hanya sesekali mengambil napas dalam dalam. Aku juga ikut mengambil napas dalam dalam untuk mengatur emosiku.
"Kita nggak bisa kayak gini terus, Na. Kedepannya aku sibuk, kamu juga pasti sibuk. Lama kelamaan kita pasti disibukkan oleh kegiatan masing masing." Jelas Malik.
Aku tidak dapat mengomentari perkataan Malik. Selama ini aku dan Malik tidak ada masalah apapun. Tiba tiba ia datang dan memperdebatkan masalah jarak yang menjadi penghalang di antara kami.
"Terus mau kamu gimana?" Tanyaku lagi setelah berusaha menenangkan diri.
"Aku ngerasa sebaiknya kita udahan dulu." Jawabnya.
"Apa?" Tanyaku meragukan perkataan Malik atau pendengaranku yang bermasalah.
"Aku nggak bisa ngelanjutin hubungan kita lagi. Aku capek, Na." Jawabnya. Malik tidak berani menatap ke arah ku. Wajahnya tertunduk.
Dan sekali lagi, kami hanya terdiam. Aku terpukul mendengar perkataan Malik. Air mataku perlahan mulai menetes. Aku berusaha untuk tidak menangis. Sekali lagi aku berusaha menenangkan diri.
"Kamu tiba tiba kenapa jadi gini sih, Lik? Ada masalah apa? Cerita ke aku. Kita cari solusinya sama sama." Tanyaku ke Malik.
"Nggak ada, Na. Cuma, aku capek aja." Jawabnya, masih dengan wajah tertunduk.
Aku tidak dapat membalas perkataan Malik. Aku hanya diam dan mengusap air mataku yang menetes.
"Kamu pikir aja dulu. Tapi ini keputusan aku. Aku udah nggak bisa lanjut lagi sama kamu. Sebaiknya sekarang aku pergi." Kata Malik sambil berdiri dari kursinya.
"Kok kamu pergi gitu aja. Kita belum selesai ngomong." Kataku sambil meraih tangan Malik dan mencegahnya pergi.
"Aku nggak bisa liat kamu nangis kayak gini, Na. Nanti kalau kamu udah bisa ngatur emosi, kamu hubungin aku. Aku pergi, Na." Jawab Malik begitu saja.
"Malik…. Malik…" Kataku memanggil Malik.
Namun ia pergi begitu saja.
Malik pergi meninggalkanku sendiri. Ia bahkan belum meminum minuman yang ku pesan untuknya. Aku hanya bisa menangis sambil menundukkan kepalaku.
Aku berusaha mencari alasan atas tindakan Malik hari ini. Selama ini hubungan kami tidak apa apa. Tidak ada masalah. Tiba tiba ia memperdebatkan masalah jarak. Hanya karena jarak. Aku tidak bisa menerima alasan Malik.
Setelah mengangis selama sekitar 15 menit. Aku merasa sedikit tenang. Aku juga malu dilihat banyak pengunjung kafe.
"Hahhh." Aku kaget, tiba tiba Farkas sudah di depanku. Aku lupa kalau ia juga ada di kafe ini. Memalukan sekali ia melihatku saat menangis.
"Udah? Ayo pergi." Ajaknya seolah tidak terjadi apa apa.
Aku yakin ia melihatku dan Malik tadi.
…
"Ini. Rasa coklat." Farkas menyodorkan es krim rasa coklat.
Setelah keluar dari kafe, aku dan Farkas mampir ke Indomaret terdekat.
"Udah mendingan?" Tanya Farkas setelah beberapa menit kami hanya terdiam tak bersuara sambil menikmati es krim.
"Mmm…" Aku hanya mengangguk.
"Dari awal kan gue udah bilang, lu nggak bakal bisa langgeng sama dia." Kata Farkas sambil tersenyum sesekali.
"Udah nggak usah bahas itu lagi. Malu gue kalo inget. Mana banyak orang lagi." Terangku.
"Ya iyalah. Kafe terkenal gitu. Abang gua punya." Kata Farkas dengan sombongnya.
"Oh iya. Kak Adit kapan balik?" Tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Nggak tau. Paling semingguan lagi." Jawab Farkas.
"Terus gua ngapain sekarang. Masih jam dua." Tanyaku pada diri sendiri.
"Entah." Jawab Farkas juga bingung.
"Bukannya tadi lu ketemuan sama temen lu?" Tanyaku.
"Dia nggak jadi dateng, ada urusan katanya." Jawab Farkas.
"Hehhh…" Aku tidak mempercayai perkataan Farkas.
Selama beberapa jam, kami hanya duduk di depan Indomaret sambil mengobrol. Sesekali kami ke dalam untuk membeli bebrapa camilan sebagai teman mengobrol. Walaupun aku Farkas sering bertengkar, Kami bisa menjadi sahabat yang paling baik saat dibutuhkan.