Chereads / Putri Salju Abad Ke-21 / Chapter 8 - Prince

Chapter 8 - Prince

Bagian 1.

Senang rasanya bisa kembali lagi kesini. Sudah hampir enam bulan lamanya aku meninggalkan negaraku. Tidak banyak yang berubah. Semua masih terlihat sama saat aku meninggalkannya. Aku merindukan suasana ini.

Barisan mahasiswa baru yang mengenakan almamater warna biru muda, terlihat sangat menyegarkan. Rasanya baru kemarin aku menjadi mahasiswa baru. Tidak banyak kenangan yang aku buat selama masa masa itu.

"Andai saja aku dapat bergabung dengan mereka, pasti menyenangkan." Gumamku.

Banyak mahasiswa baru yang sudah rapi berbaris dan di pantau oleh senior mereka yang galak. Selalu saja seperti itu selama masa ospek. Banyak hal yang terjadi dan suatu saat akan menjadi kenagan yang tak terlupakan. Aku juga ingin menjadi salah satu dari senior itu.

Mahasiswa baru yang telat juga cukup banyak. Terlihat tiga orang mahasiswa baru keluar dari mobil berwarna putih. Tidak seperti mahasiswa baru lain yang datang dengan tenang, dua orang dari mereka malah bertengkar dan yang satu mencoba untuk melerai. Sepertinya mereka bertiga bersahabat.

"Gara gara lu kita telat." Kata maba laki laki.

"Enak aja cuma nyalahin gue. Lu juga salah." Bantah maba perempuan.

"Emang salah gue apaan?" Tanya maba laki laki.

"Lu bawa mobilnya nggak becus, lama." Jawab maba perempuan.

"Udah udah. Dilihatin senior itu. Cepet cepet." Kata maba perempuan yang lain untuk menengahi dua sahabatnya.

Mereke bertiga berlari menuju barisan dan bergabung bersama mahasiswa baru yang lain sesuai dengan jurusan mereka masing masing yang lokasinya tidak jauh dari parkiran.

"Lucu banget." Gumamku sambil sedikit tertawa.

Dulu sewaktu aku masih maba, apa aku juga seperti mereka. Terlihat lucu, polos, dan menggemaskan.

"Laif!" Kata seseorang mengagetkanku.

"Pak. Sudah lama Bapak saya tunggu." Sapaku.

"Tadi Bapak masih ada urusan lain. Ayo masuk kantor. Katanya mau ketemu sama Bapak." Kata Pak Saipul selaku dosen pembimbing akademik ku.

"Iya, Pak. Saya mau tanya tanya masalah kelanjutan kuliah saya, sekaligus meminta pendapat." Jelasku.

"Yaudah di dalam saja." Jawab Pak Saipul.

Aku dan Pak Saipul masuk ke dalam ruang dosen. Dan berbincang bincang. Sesekali terdengar suara dari luar.

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

"Kami berjanji tidak akan terlambat lagi."

Sepertinya mahasiswa baru yang terlambat tadi sedang dihukum. Aku juga pernah di posisi mereka.

….

Bagian 2

Adikku adalah alasanku meninggalkan Indonesia dan belum dapat melanjutkan kuliahku. Aku mulai cuti dari semester empat kemarin sampai semester lima ini. Rencananya semester depan aku mulai kuliah lagi kalau tidak ada kendala.

Alina, adikku menderita leukemia, sehingga harus di operasi. Kami memilih operasi di Negara Singapore, karena persentase keberhasilannya lebih tinggi. Ayah dan ibuku sibuk bekerja mencari biaya untuk operasi adikku, sehingga aku yang harus menemaninya berobat. Sejak kecil aku sudah sering menemaninya.

Sedih melihat dirinya yang kebanyakan waktunya dipenuhi oleh memori rumah sakit di usianya saat ini. Saat dia sembuh nanti, aku ingin melihat dirinya dapat tumbuh normal seperti anak anak seusianya. Dapat bermain sepanjang hari, berlarian, makan apapun yang mereka mau. Apapun yang dia inginkan, aku akan berusaha mewujudkannya.

Saat ini aku berada di rumah sakit. Beberapa minggu lagi adikku akan di pulangkan, namun masih harus dipantau. Sehingga aku ingin berkonsultasi dengan dokter yang menagani adikku, sekaligus dokter yang memberikan rumah sakit rujukan di Negara Singapore.

Bruukkk.

"Maaf." Kata seseorang perempuan meminta maaf kepadaku karena menabrakku.

"Tidak apa apa." Balasku sambil tersenyum karena aku yakin dia tidak sengaja melakukannya.

Karena aku harus segera bertemu dengan dokter adikku, aku langsung meninggalkannya, adikku jauh lebih penting untuk saat ini.

Setelah kupikir pikir lagi. Wajahnya sangat tidak asing.

"Siapa?" Gumamku.

Aku kembali untuk melihat perempuan itu.

"Senaaaaaaaa."

Terdengar seseorang berteriak dengan lantangnya. Dari kejauhan, dua orang tengah berlari ke arah perempuan tadi.

Aku ingat sekarang. Mahasiswa baru. Tiga mahasiswa yang datang terlambat tapi malah bertengkar di parkiran. Salah seorang dari mereka sepertinya sedang sakit.

"Gimana gimana. Udah nggak pa pa, kan? Tanya sahabat perempuannya.

"Nggak liat apa, ini rumah sakit. Nggak usah teriak teriak gitu." Kata sahabat laki lakinya.

"Wajahmu pucet banget." Kata sahabat perempuannya menghiraukan sahabat laki lakinya.

"Sekarang udah nggak pa pa." Jawab perempuan itu.

"Lu mau kemana? Ke toilet? Gua anterin. Ayo." Tanya sahabat perempuannya.

"Enggak, ini baru dari toilet. Mau ke UGD lagi." Jelas perempuan itu.

"OK. OK. Kita balik." Kata sahabat perempuanya.

Mereka bertiga kembali ke ruang UGD.

Seandainya aku juga memiliki sahabat. Sahabat yang bisa mememaniku setiap saat.

Siapa tadi nama perempuan yang menabrakku.

"Sena." Gumamku tidak yakin.

Aku yakin dia dipanggil Sena tadi. Benarkah? Aku mulai bertanya tanya.

Bagian 3

Hari ini adalah malam inagurasi untuk mahasiswa baru. Aku menghadiri acara ini karena sudah lama tidak bertemu dengan teman teman sejurusanku. Dan sekalian ingin melihat wajah wajah mahasiswa baru secara lebih dekat. Malam ini adalah malam yang paling dinantikan oleh semua mahasiswa baru. Sekaligus dapat menjadi hiburan untuk diriku sendiri.

"Oh." Kataku kaget.

Aku melihat seseorang berkaos merah tengah duduk di bangku taman sendirian di depan gedung yang dipakai untuk acara inagurasi. Perempuan yang menabrakku saat di rumah sakit.

"Siapa ya namanya." Kataku sambil mengingat ingat namanya.

"Oh iya… Sena." Kataku kemudian.

Aku ingat namanya Sena. Sepertinya dia dari jurusan matematika karena mengenakan kaos warna merah.

"Pandai ternyata." Kataku.

Seseorang dari jurusan matematika selalu di bilang pandai karena kata orang tua, orang pandai adalah orang yang mampu mengerjakan matematika.

"Kenapa sendirian? Dua sahabatnya kemana?" Gumamku sendirian.

Terlihat ia tengah berteleponan dengan seseorang.

Tidak lama kemudian, dua sahabatnya yang lain datang. Mereka bertiga memang benar benar sahabat sejati. Aku selalu melihat mereka bertiga bersama.

"Lama banget." Kata Sena.

"Mampir dulu beli camilan." Jawab sahabat perempuannya.

"Lu beli camilan. Beruntung banget, gue emang agak laper." Jawab Sena sambil mengecek isi tas sahabat perempuannya.

"Nanti kita duduk barengan? Bisa nggak kalau gue pulang aja, nggak usah ikut ke dalam?" Tanya sahabat laki lakinya.

"Kita kan udah janji mau foto foto pas masuk kuliah. Kapan lagi kalau nggak hari ini. Buat kenangan." Jawab sahabat perempuannya.

"Betul." Tambah Sena.

Sebenarnya aku iri melihat kebersamaan mereka.

"Laif." Kata seseorang memanggilku.

"Dimas. Lama nggak ketemu. Gimana kabarnya?" Sapaku. Ia adalah Dimas, salah satu teman jurusan terdekatku.

"Baik. Lu sendiri gimana? Kapan mau nerusin kuliahnya?" Tanyanya.

"Semester depan paling. Ngomong ngomong, lu sekarang jadi ketua BEM?" Tanyaku.

"Iya." Jawabnya malu malu.

"Wuihh. Keren." Kataku.

"Ayo masuk. Acaranya udah mau mulai." Ajaknya.

Kami berdua masuk ke gedung. Aku melihat tiga sahabat itu tengah asyik berfoto kesana kemari dan terlihat teman laki laki mereka enggan untuk melakukan kegiatan itu.

Aku duduk bersama dengan temanku di bangku yang khusus di tata untuk para senior.

"Kita foto sekali lagi, ya? Di sini?" Kata sahabat perempuan Sena.

"Lagi? Nggak capek?" Tanya sahabat laki lakinya.

Dan sekali lagi mereka bertiga berfoto bersama. Aku merasa kasihan melihat laki laki yang bersama mereka.

Sudah hampir satu jam acaranya berlangsung. Karena begitu menariknya, tidak terasa kalau sudah satu jam lamanya.

Derering. Derering. Smartphone ku berbunyi. Telepon dari dokternya Alina, adikku.

"Iya, Dok?" Sapaku.

"Gini. Saya mau jelasin tentang pengobatan Alina. Ayah dan Ibumu susah untuk dihubungi, makanya saya menghubungi kamu. Apa kamu ada waktu sekarang? Soalnya besok saya dinas ke luar kota." Jelas Dokter itu.

"Iya, Dok. Bisa bisa. Saya ke rumah sakit sekarang. Dokter tunggu." Jawabku.

"Ok. Saya tunggu." Jawab dokter itu.

Setelah berpamitan dengan temanku. Aku langsung meninggalkan acara itu sebelum acaranya selesai.