Aku terus memikirkan dirinya. Setiap saat terbayang wajah tampannya. Saat pertama kali kubuka mataku di pagi hari, terbayang dirinya. Saat ku basuh tubuhku dengan segarnya air pagi, terbayang dirinya. Saat mengisi tubuhku dengan tenaga baru, terbayang dirinya. Hanya dirinya, dirinya, dan terus dirinya. Pangeran cahayaku, kak Laif. Kapan aku akan benar benar bertemu dengannya.
Dari parkiran ke gedung kuliahku, tetap saja terpikirkan dirinya. Jantungku berdegup kencang sepanjang waktu. Bunga bunga yang tumbuh di taman terlihat sangat indah hari ini. Daun daun yang berguguran juga terlihat sangat indah. Bahkan burung burung yang beterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain juga sangat menawan. Semua terasa sangat menakjubkan layaknya adegan di sebuah film.
Di jalan yang indah ini, disuasana yang seromantis ini, aku membayangkan bertemu dengannya. Kami berpapasan secara tidak sengaja. Tapi pertemuan kali ini, ia yang menabrakku, bukan sebaliknya. Lalu ia meminta maaf, dan aku memaafkannya. Di saat itu pula kedua mata kami bertatapan. Kami menatap satu sama lain. Selanjutnya terdengar bisikan entah dari mana, membisikkan sebuah kata, 'you are my destiny'. Aaaaaaaaaa. Kami menanyakan nama satu sama lain, nomor WA, dan merencanakan pertemuan selanjutnya. Aku sangat bahagia.
Drrt. Drrt.
Getaran smartphone membuyarkan imajinasiku. Ada WA masuk dari grup kelas mata kuliah landasan matematika.
'Kelas pagi hari ini tiadakan. Tidak ada kelas pengganti. Kelas dilanjutkan di jadwal selanjutnya.' Begitu isi WA nya.
"Terus gue harus ngapain? Harusnya ngabari lebih cepet, ini gue udah nyampe kampus." Kataku dalam hati.
Aku menghubungi Erika dan Farkas lewat video call, siapa tau pagi ini mereka senggang, jadi kita bisa nongkrong bareng.
"Geng? Lagi pada ngapain sekarang?" Tanyaku.
"Ini masih pagi woi." Jawab Erika dengan lemas.
"Ada apa?" Tanya Farkas.
"Kelas gue pagi ini nggak jadi. Padahal udah nyampe kampus. Nggak tau mau ngapain?" Terangku.
"Gue hari ini ada kelas siang." Jawab Erika yang ternyata baru saja bangun tidur karena video call ku.
"Gue sekarang lagi nemenin abang gue ngambil bahan." Jawab Farkas.
"Hi, Na. apa kabar?" Tanya kakak Farkas.
"Kak Adit, apa kabar? Kapan balik? Gimana liburannya, seru nggak?" Tanyaku karena senang dapat melihat wajah Kak Adit lagi. Sudah sekitar satu bulan ia pulang kampung ke rumah neneknya. Katanya mau refreshing, bosen dengan suasana kota.
"Seru, dong. Baru kemarin balik." Jawab Kak Adit.
"Kak Adit, bawain oleh oleh nggak?" Tanya Erika.
"Oh iya, oleh oleh. Nggak lupa, kan?" Tanyaku mendukung pertanyaan Erika.
"Nanti aja dateng ke kafe. Udah gue siapin oleh oleh spesial." Jawab Kak Adit.
"Beneran, nih?" Tanyaku memastikan.
"Ntar kita beneran datang loh." Kata Erika antusias.
"Beneran dateng aja." Jawab Kak Adit cengengesan.
"Udah udah. Ini kita lagi sibuk. Di terusin ntar aja." Kata Farkas.
"Lanjut nanti, ya. Na? Ka? Jangan lupa dateng ke kafe." Kata Kak Adit.
Setelah itu, Farkas mematikan panggilannya. Tinggal aku dengan Erika.
"Mayan dapet oleh oleh." Kata Erika antusias.
"Ka, ini gue beneran nggak tau mau ngapain lagi. Ini gue udah di kampus, eh kelasnya batal. Nggak mungkin juga gue pergi, soalnya ntar jam ketiga ada kuliah lain. Kasih solusi kek." Curhatku.
"Ke Perpus aja kalo gitu. Mayan sambil cuci mata." Jawab Erika.
"Hati gue udah jadi milik orang lain." Jawabku sambil cengengesan.
"Cieeee." Kata Erika.
"Ka, Ka. Bentar. Gue matiin dulu, ya. Ntar kita sambung lagi." Kataku.
Setelah itu aku langsung mematikan video call kami.
Dari kejauhan, aku melihat sosok seseorang. Seseorang yang berada di lantai 3 gedung biologi. Seseorang yang wajahnya sangat familiar. Mungkinkah, dia, pangeran cahayaku. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju ke tempatnya berada.
Di tengah tengah perjalanan aku memikirkan beberapa hal. Kira kira apa yang harus kukatakan padanya.
"Hi Kak, saya Sena. Mahasiswa baru." Kata ku dalam pikiran.
"Hi, Kak. Kita pernah bertemu di rumah sakit." Mungkin kalimat seperti ini.
Bagaimana jika ia menganggapku aneh. Aku harus berkata seperti apa agar terlihat sewajarnya.
Aku sudah berada di gedung biologi. Padahal ini kampus terkenal, kenapa tidak ada lift. Gedung empat tingkat tidak ada lift. Butuh banyak usaha untuk sampai di lantai tiga.
Selangkah demi selangkah aku menaiki tangga. Di setiap anak tangga yang ku pijak, aku terus memikirkan kata yang tepat agar terlihat tidak aneh di depannya.
"Ok. Tinggal satu lantai lagi. Istirahat bentar." Kataku sambil ngos ngosan.
Aku sekarang sudah sampai di lantai dua. Aku mengatur nafasku, agar terlihat tidak sedang terburu buru di depannya nanti. Aku sangat gugup.
Jantungku berdebar kencang, entah karena lari larian atau karena gugup.
Setelah sudah terkumpul cukup niat, aku melanjutkan menaiki tangga.
Aku hanya tinggal berbelok ke kanan.
"Oh." Gumamku karena kaget.
"Kemana? Jelas jelas tadi gue lihat." Kataku karena kaget tidak dapat menemukannya.
Aku melihat sekeliling. Di ujung lorong sebelah kiri juga tidak ada.
"Apa mungkin masuk kelas. Masa iya? Kan katanya lagi cuti." Pikirku.
Tapi aku tetap saja mengecek ruangan yang ada di lantai tiga, satu demi satu. Namun tetap tidak dapat menemukannya.
"Mungkin saja naik ke lantai empat." Kataku optimis.
Aku bergegas naik ke lantai empat. Aku juga mengecek setiap ruangan. Namun tetap tidak dapat menemukannya.
"Oh… Pangeran cahayaku." Kataku karena kaget melihatnya sudah berada di jalan yeng menuju ke arah parkiran.
"Kapan turunya. Kok gue nggak lihat." Kataku lagi.
Aku langsung bergegas menuruni tangga. Mengejarnya.
Aku benar benar ingin bertemu dengannya. Berkenalan dengannya.
"Plis, jangan pergi dulu." Kataku dalam hati.
Setelah bersusah payah menghampirinya, aku sampai di parkiran. Aku melihat sekeliling untuk mencarinya. Dan sekali lagi, aku kehilangan jejaknya.
Aku sangat sebal. Padahal tinggal sedikit lagi. Sudah dua kali ini aku hampir bertemu dengannya lagi.
Drrt. Drrt. Drrt. Panggilan dari Erika.
"Halo." Jawabku kesal.
"Apasih, Na. kenapa marah gitu. Gue salah apa?" Tanya Erika.
"Maaf, Ka. Gue lagi bete aja." Jawabku masih kesal.
"Kenapa Emang? Terus dari tadi juga matiin duluan. Kenapa tu?" tanya Erika.
"Tadi itu gue liat pangeran cahaya, Kak Laif. Trus gue samperin. Trus dianya nggak ada. Udah ada di tempat lain. Trus gue samperin lagi. Eh, sekarang nggak ada lagi. Kan sebel jadinya." Jawabku.
"Ya elah, gue kira ada apaan." Kata Erika dengan santainya.
"Sebel." Kataku melampiaskan kemarahan kepada Erika.
"Kalo jodoh, pasti ketemu ntar. Percaya." Kata Erika menyemangati.
"Ya, Tapi kan….."
Takk. Brukkk.
Smartphone ku tiba tiba jatuh, karena seseorang tidak sengaja menyenggolnya dari arah belakang.
"Maaf, maaf. Nggak lihat tadi." Kata orang itu meminta maaf.
Karena masih sebal aku tidak mengatakan sesuatu.
"Ini smartphone nya." Kata orang itu lagi.
"Na. Na. Ada apa? Jawab dong?" Kata Erika. Suaranya terdengar lantang.
"Ini." Kata orang itu.
Aku tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya memandangi wajahnya. Benarkah ini. Orang itu. Orang yang tidak sengaja menjatuhkan smartphone ku. Pangeran cahayaku. Kak Laif. Apa benar aku berhadapan langsung dengannya.
"Ini, smartphone nya." Kata Kak Laif sambil terus menyodorkan smartphone ku.
"Na. Na. Ada apaan. Lu nggak pa pa, kan?" Suara Erika.
Aku tetap membatu.
…