Bagian 1
Dua minggu telah berlalu semenjak Malik meminta untuk berpisah. Aku sudah berusaha meyakinkan dia untuk tetap melanjutkan hubungan, namun ia tetap menolak. Mungkin kami bukan jodoh. Memang sedih jika harus mengingat kenanganku bersama Malik. Banyak kenangan indah yang kami buat selama dua tahun bersama.
"Na… " Panggil ayah.
"Iya, Yah." Jawabku.
"Tolong bantu ayah bersih bersih rumah." Ayah meminta pertolongan.
"Hari ini minggu lho. Tumben ayah di rumah?" Tanyaku.
"Hari ini kita bakal kedatangan tamu." Jawab ayah dengan wajah serius.
"Siapa? Kenapa jadi serius gitu wajahnya." Tanyaku lagi dengan wajah meledek.
Ayah tidak langsung menjawab. Ia hanya terdiam dan berusaha mengalihkan pandangan.
"Siapa?" Tanyaku lagi gregetan.
"Ehmmm." Ayah hanya bergumam.
"Siapa sih, yah?" Aku tambah kesal.
"Debkolektor? Ayah punya utang?" Tanyaku sedikit bercanda.
"Ngak ngak. Bukan gitu. Itu ..." Kata kata ayah tidak diteruskan.
"Trus siapa? Penasaran ini." Tanyaku lagi.
"Tapi jangan kaget! Jangan marah!" Kata ayah.
"Iya, iya." Jawabku seadanya dulu.
Ayah mengambil napas dalam dalam.
"Itu….. Calon ibu kamu." Jawab ayah sambil menghembuskan napas.
Luka yang disebabkan oleh Malik masih belum kering, ayah menambahkan luka lagi. Aku meragukan pendengaranku.
"Ibu?" Tanyaku.
"Iya." Jawab ayah singkat.
"Buat aku?" Tanyaku lagi.
"Iya." Jawab ayah dengan senyuman terpaksa.
"Kapan, Yah. Sena bilang butuh ibu. Kapan?" Tanyaku dengan sedikit membentak.
Setelah berkata seperti itu, aku langsung pergi begitu saja. Aku tidak dapat melanjutkan pembicaraan kami. Saat ini sulit bagiku untuk berbicara dengan ayah mengenai masalah ini.
…
"Tumben pagi pagi udah kemari." Kata Erika sambil menguap karena baru saja bangun tidur.
Aku langsung memeluknya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Erika hanya menerima pelukanku dan tidak bertanya apa apa lagi.
Setelah beberapa saat, ia mulai bicara.
"Udah sarapan?" Tanyanya.
"Belum." Jawabku tidak bersemangat.
"Kita sarapan dulu kalo gitu. Nggak tau emak gua masak apaan. Lu ambil piring aja dulu. Gua cuci muka." Perintah Erika.
Sementara Erika mencuci mukanya, aku pengambil satu centong nasi untuknya dan dua centong untukku. Walaupun saat ini aku sedih dan marah, aku juga kelaparan.
Erika selesai mencuci mukanya. Kami sarapan dengan tenang. Setelah itu kami menonton berita pagi sambil duduk di ruang keluarga.
"Orang tua lu kemana?" Tanyaku memulai pembicaraan.
Orang tua Erika membuka sebuah toko yang menjual berbagai macam peralatan rumah tangga. Biasanya jam segini mereka belum berangkat. Sekitar jam setengah sepuluh pagi baru berangkat dan mempersiapkan toko untuk di buka jam sepuluh pagi.
"Hari ini buka cabang. Dari kemarin malem udah pada repot. Pagi pagi tadi kayaknya udah pada berangkat semua." Jawabnya dengan santai.
"Orang tua lu buka cabang?" Tanyaku kaget.
"Emang gue belum cerita?" Tanya Erika kepadaku.
"Kalo gue nanya berarti gue belum tau." Jawabku.
"Iya, sih. Gue yang lupa cerita." Katanya dengan santai sambil menggigit apel.
"hhhfft. Gue sedih banget hari ini." Kataku sambil menghembuskan napas. Aku mulai membicarakan inti kedatanganku ke rumah Erika.
"Kenapa? Malik ngajak balikan? Trus lu bingung mau nerima dia lagi atau nggak, gitu. Kalo gue, ogah. Dia yang ngajak putus duluan." Kata Erika sambil emosi.
"Bukan. Bukan Malik. Lu nggak usah nyebut dia lagi. Gue nggak mau denger nama dia." Pintaku.
"Lha terus?" Tanya Erika dengan santainya lagi.
"Ayah gua mau nikah lagi." Jawabku dengan sedih.
"Ya bagus dong. Terus kenapa harus sedih?" Kata Erika.
Aku kaget mendengar Erika berkata seperti itu.
"Bagus gimana? Ayah udah ngelupain mama. Mama gue di surga pasti sedih liatnya." Kataku dengan nada sedih.
"Na, denger gue. Ayah lu itu punya kehidupannya sendiri. Dia juga butuh pendamping. Mau sampai kapan dia memani lu? Ntar kalo lu nemu pasangan lu sendiri, ngejalani hidup lu sendiri. Ayah lu bakal sendiri. Lu nggak kasian?" Jelas Erika.
Perkataan Erika memang ada benarnya. Namun aku masih belum bisa mempercayai hal tersebut. Aku masih belum bisa menerika fakta tersebut.
"Gue nggak bakal ninggalin ayah." Kata ku berusaha menyangkal kenyataan.
"Udah belasan tahun, semenjak lu bayi, ayah lu udah sendiri. Sekarang dia udah nemu pasangan lain, temen hidup baru. Lu harusnya ikut seneng. Lu nggak mau lihat ayah lu seneng?" Kata Erika berusaha mayakinkanku.
"Mama gue pasti sedih, lihat ayah nikah lagi nantinya." Kataku masih dengan nada sedih.
"Tapi gua yakin kalo ibu lu pasti lebih sedih ngeliat ayah lu hidup sendirian, kesepian di dunia tanpa pasangan." Kata Erika.
"Nggak tau gua." Jawabku.
"Nggak usah sedih gitu. Ntar kalo lu liat ayah lu bahagia, pasti ikut seneng juga kok." Kata Erika sambil menyodorkan apel.
"Gue di sini dulu, ya, ampe sore?" Pintaku.
"Silahkan. Lu mau apa aja silahkan. Anggep rumah sendiri. Gue juga nggak kemana mana." Kata Erika.
"Maacihhh…" Kataku berusaha terlihat menggemaskan.
…
Malamnya, sekitar jam setengah delapan, aku pulang ke rumah. Aku melihat sepasang sepatu wanita dewasa dan sepasang sepatu anak anak ada di depan pintu masuk.
"Sena." Kata ayah kaget.
Aku memaksakan tersenyum agar ayah tidak khawatir terhadapku.
"Kenalin ini tante Rukma dan anak laki lakinya, Bayu." Kata ayah memperkenalkanku pada calon ibu baruku.
"Sena. Tante sudah lama ingin ketemu sama kamu. Tapi nggak dibolehin terus." Kata tante Rukma sambil tersenyum ramah.
Aku hanya dapat membalasnya dengan senyuman juga.
Anak laki laki yang bersama tante Rukma terlihat sangat menggemaskan. Mungkin ia berusia sekitar lima tahunan. Matanya besar dan pipinya tembam. Ia juga terlihat malu malu. Sama sepertiku yang merasa asing dengan kondisi ini, sepertinya ia juga merasakan. Ia memegang ujung baju ibunya dengan sangat erat.
"Na, udah makan belum. Ayah sama tante udah makan. Kalo kamu belum makan, ayah pesenin makanan." Kata ayah.
Ayah pasti mengkhawatirkanku karena tadi aku pergi begitu saja dengan marah.
"Udah kok, yah. Sena udah makan, tadi di rumahnya Erika." Jawabku dengan senyuman.
Aku bingung ingin berkata apa lagi. Suasana juga terlihat canggung.
"Ehmm… Ayah ngobrol aja sama tante. Ini anak biar Sena yang jaga." Aku tidak dapat bertahan lebih lama dalam kecanggungan ini.
"Nggak mau." Kata anak itu sambil merengek.
"Nggak pa pa. Nanti kakak beliin es krim." Ajakku.
"Es krim?" Dia bertanya dengan senyuman lebarnya.
"Ayo." Jawabku sambil menyodorkan tangan.
Anak itu maraih tanganku dan memegangnya dengan erat. Kami pergi ke toko terdekat untuk mencari es krim.
Aku membiarkan ayah dan Tante Rukma menikmati waktu mereka. Seperti kata Erika, aku harus merelakan ayah. Kalau ayah bahagia, aku juga pasti ikut bahagia. Untuk sementara, aku meyakini hal itu.
... ...
Bagian 2
"Enak nggak?" Tanyaku kepada anak itu.
"Ehem." Balas anak itu dengan anggukan.
"Nama kamu siapa?" Tanyaku penasaran dengan namanya. Ayah sudah memperkenalkan kami, namun aku lupa namanya.
"Bayu." Jawabnya pelan.
"Siapa?" Tanyaku lagi karena tidak mendengar perkataannya.
"Bayuuu." Jawabnya sedikit berteriak. Mungkin jengkel sebab aku menanyainya terus. Ekspresinya lucu sekali.
"Umur berapa?" Tanyaku ingin tau lebih lanjut.
"Enam tahun." Jawabnya sambil menjilati es krim. Bibirnya yang belepotan es krim, sangat menggemaskan. Membuatku tersenyum. Ingin sekali aku mencubit pipi tembamnya.
"Enam tahun? Kok kelihatan kayak masih lima tahun. Bohong, ya?" Ledekku.
"Bener, Enam tahun. Tahun depan aku kelas satu SD." Terang Bayu.
"Halah, pasti bohong." Ledekku lagi.
"Kalau nggak percaya, Ya udah." Jawabnya sinis.
Aku tidak tahan lagi melihat kelucuannya. Tanganku tidak dapat menahan hasrat ingin mencubit pipi tembamnya.
"Ihhhhh. Lucu banget sih, kamu." Kataku sambil mencubit pipinya.
"Aduhhhhhhh… kak kenapa, Sih? Sakit tau." Katanya.
Wajahnya memerah dan terlihat marah. Matanya berkunang kunang. Apa aku terlalu keras mencubitnya? Ia beranjak dari bangku dan seakan ingin melarikan diri.
"Sini! Kakak beliin lagi, es krimnya." Bujukku.
Ia hanya terlihat sesenggukan dan ingin menangis.
"Maaf, kakak gemes lihat kamu. Kamu lucu banget soalnya." Aku meminta maaf.
"Nggak mau es krim lagi." Katanya pelan sambil sesenggukan. Ia berusaha menahan air matanya. Aku merasa sangat berlasah.
"Apa?" Tanyaku lagi.
"Nggak mau es krim. Keripik kentang." Katanya dengan lebih jelas.
"Sini dong. Duduk sini. Nanti kak beliin." Bujukku lagi.
Ia kembali duduk di sampinku. Dengan masih sesengukkan, ia melanjutkan menjilati es krimnya dan sesekali mengusap air matanya. Ia juga terlihat lucu saat menangis.
"Udah enam tahun, masa gitu aja nangis. Cengeng." Aku meledeknya lagi.
"Nggak nangis. Siapa yang nangis?" Bantahnya.
"Itu. Air matanya netes. Masih keliatan bekasnya." Kataku sambil menunjuk belas air mata di pipinya.
"Nggak. Mataku Cuma perih aja. Anginnya kencang. Terus perih." Jelasnya.
Aku tersenyum mendengar penjelasannya. Aku tau kalau ia hanya beralasan. Seandainya nanti ia benar benar menjadi keluargaku, sepertinya aku tidak akan membencinya. Ia terlihat sangat lucu dan tampan, cukup pantas untuk menjadi saudaraku. Aku menerimanya, namun belum bisa menerima ibunya.
"Ntar, kalau mama kamu jadi nikah sama ayah aku. Kita bakal jadi saudara. Kamu seneng nggak?" Tanyaku.
"Nggak." Jawabnya tegas.
"Kok nggak seneng?" Tanyaku lagi.
"Soalnya kakak jahat. Trus nggak cantik. Masih cantikan mama." Jelasnya.
"Kamu masih kecil. Masih belum bisa bedain cantik dan nggak. Di kampus, banyak cowok cowok yang ngejar kakak." Kataku sedikit berbohong.
"Bohong. Aku nggak percaya." Kata Bayu.
"Beneran." Kataku membela diri.
"Palingan kakak baru aja diputusin, soalnya kakak nggak cantik." Sindirnya.
Aku syok mendengar perkataannya. Dia mendapat informasi dari mana kalau aku baru saja putus dengan pacarku, Malik. Apa mungkin ayah bercerita padanya. Tapi aku belum pernah menceritakan hal ini dengan ayah.
"Punya pacar nggak?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Punya. Cantik." Jawabnya tegas.
"Masa? Nggak percaya." Aku meragukan jawabannya.
Ia mencari sesuatau di dalam tas kecil yang dibawanya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan HPnya.
"Aku punya fotonya." Katanya sambil mencari cari gambar seseorang.
"Mana?" Aku penasaran.
"Ini lihat. Cantikkan? Namanya Alina." Jawabnya sambil tersenyum.
"Cantik juga. Tapi kenapa dia mau pacaran sama kamu?" Ledekku.
"Soalnya aku ganteng." Jawabnya percaya diri.
"Kata siapa?" Aku masih meledeknya.
"Kata Alina. Terus aku tiap hari juga bawain dia camilan." Jawabnya dengan wajah sedih.
"Kenapa jadi sedih?" Tanyaku penasaran.
"Alina udah lama nggak masuk sekolah. Dia sakit, harus dirawat di rumah sakit. Jadi nggak bisa ketemu beberapa hari ini." Jelasnya sambil merengut.
Anak usia enam tahun ini ternyata juga memiliki masalah sendiri. Kami berdua sama sama tersakiti oleh seseorang.
"Ayo, milih camilannya. Terus pulang. Udah malem. Tokonya juga mau tutup." Ajakku.
Ia mengikutiku dari belakang. Setelah memilih camilan masing masing, kami pulang ke rumah. Pertemuan pertamaku dengannya tidak terlalu buruk.
... ...