Chereads / Putri Salju Abad Ke-21 / Chapter 1 - Putri Salju, Ayah, Happy dan Grumpy

Putri Salju Abad Ke-21

kiky_ueky
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Putri Salju, Ayah, Happy dan Grumpy

Waktunya jam 5 pagi.

Waktunya jam 5 pagi.

Waktunya jam 5 pagi.

Bunyi alarm mengawali hariku. Sebenarnya aku sudah bangun lebih dulu, mungkin sekitar satu jam yang lalu. Sejak tadi malam jantungku terus saja berdebar kencang, membuatku kesulitan tidur semalaman. Sudah lama aku menantikan hari ini. Aku pasti bisa melewati hari ini dengan baik baik saja. Aku mulai bersemangat lagi. Almamater warna biru muda yang sudah lama ingin aku pakai, akhirnya hari ini aku bisa memakainya. Entah kenapa, tubuhku terlihat indah saat memakai warna biru muda. Mulai detik ini, biru muda adalah warna kesukaanku.

"Ayah hari ini masak apa? Nggak aneh aneh lagi, kan?" Tanya ku sedikit khawatir.

Dengan tatapan yang meyakinkan, ayah menjawab. "Percaya sama ayah."

Mau bagaimana lagi, tatapannya sudah terlihat meyakinkan begitu. Aku percaya saja dulu dan mandi.

Beberapa saat kemudian.

"Na, sarapannya sudah siap. Ayah berangkat lebih dulu. Jangan lupa dimakan!" Pesan ayahku sebelum ia berangkat bekerja.

"Iya, yah. Hati hati!" Jawabku sambil menggosok gigi.

Sepertinya hari ini ayah sibuk lagi. Aku sudah terbiasa sejak kecil ditinggal ayah. Maklum, ayah seorang dokter, tidak banyak waktu yang dapat ia habiskan bersamaku.

"Ayah tadi masak apa kira kira?" tanyaku dalam hati.

Ayahku tidak pandai memasak. Aku pun juga begitu. Like daughter, like father. Kami sering makan makanan instan, atau makan di luar.

Sejak kecil aku hanya tinggal bersama ayah, hanya ayah saja. Mama sudah pergi lebih dulu meninggalkan kami, sewaktu melahirkanku. Hari ulang tahunku bersamaan dengan hari kematian mama. Aku selalu teringat mama saat umurku bertambah satu tahun. Walaupun tidak ada mama, aku masih bisa tersenyum menghadapi dunia. Ada ayah, dua orang sahabatku, atau mungkin bisa dibilang tiga, orang ketiga adalah seseorang yang selalu mendukungku. Ditambah satu orang lagi, 'dia' yang selalu menemaniku. Iya, dia. Pacarku. Mereka semua membuatku merasakan bahwa sampai saat ini, dunia masih berpihak padaku.

Nasi goreng dan telur ceplok, menu andalan ayah. Tidak lupa satu toples kerupuk sebagai topping. Aku harus segera menghabiskan sarapanku dan berangkat ke kampus bersama dua sahabatku. Kami tidak boleh terlambat hari ini.

Tin tin.

Terdengar suara klakson mobil dari luar. Sepertinya dua sahabatku sudah datang. Farkas membawa mobil baru hadiah dari orang tuanya karena sudah lulus SMA. Ia yang baru seminggu mendapatkan SIM, bertugas membawa kami ke kampus.

"Sena… ya ampun cantik amat hari ini." Erika terlihat ceria seperti biasanya sampil menyapaku yang masih sibuk dengan nasi goreng.

"Udah selesai belum? Lama amat." Kata Farkas, sahabat laki-laki ku. Walaupun ia terlihat sinis dan pemarah, tapi sebenarnya baik.

"Sena, kalau makan lama. Sini gua bantuin!" Kata Erika sambil merebut sendok dari genggamanku.

"Masih jam 6 lebih dikit, nggak pa pa, nggak bakal telat. Udah santai." Jawab ku.

"Lu berdua tau kan, hari ini kita mulai ospek. Jam tengah 7 harus udah nyampe." Kata Farkas sambil mengerutkan keningnya.

"Sepuluh menit nyampe. Nyampe, kan?" Tanyaku sambil memandang ke Erika.

"Harusnya sih, bisa. Bisa kan, Kas? Ngebut gitu." Lanjut Erika memandang Farkas.

"Baru seminggu, dapet SIM. Udah disuruh ngebut aja." Jawab Farkas.

"Bisa sih, ngebut. Tinggal ntar slamet apa nggak nyampe kampus." Lanjut Farkas.

Jam menunjukkan pukul 6.15. Kami cepat cepat berangkat. Piring kotor bekas nasi goreng juga belum dicuci.

Aku dan Farkas duduk di kursi depan, sementara Erika duduk di kursi belakang.

"Kas, lu beneran bisa nyetir, kan?" tanyaku ragu ragu.

"Bisa bisa bisa. Tadi dia jemput gua." Jawab Erika.

"Udah siap semua, nih?" Tanya Farkas.

"Udah." Sahutku dan Erika secara bersamaan.

"Itu sabuknya kenapa belum dipakai?" Tanya Farkas kepadaku.

"Lha ini kan, udah gua pakai." Jawabku sebal sambil menunjukkan ikat pinggang yang sejak tadi sudah kupakai.

"Bukan ikat pinggang, seat belt maksud gua." Kata Farkas sambil melotot.

"Ha ha ha ha ha." Erika mendengar sambil tertawa di kursi belakang.

"Kadang gua bingung sama ini anak, kenapa bisa ketrima di kampus kita, gitu. Padahal kan kampus kita lumayan terkenal." Kata Erika tidak habis pikir.

"Ya masa gua nanyain ikat pinggang dia." Lanjut Farkas dengan sedikit tersenyum.

"Kan deket, cuma sekilo. Nggak pa pa kalau nggak usah dipake." Jawabku sedikit malu.

"Kalo lu nggak mau pake, nggak berangkat nih. Atau lu lebih milih jalan kaki?" desak Farkas.

"Nggak pa pa, Kas. Ini deket." Jawabku tidak mau kalah.

"Ya, udah nggak berangkat, nih." Farkas mulai ngambek.

"Sena udah. Cepetan pake!" Erika berusaha menengahi.

Klek.

"Demi menjaga keharmonisan dan kedamaian di dalam mobil ini, saya membiarkan diri saya kalah dan memakai seat belt." Jawabku dengan bahasa formal untuk mengakhiri perdebatan dengan Farkas.

"Itu lihat udah dipake. Cepetan berangkat!" Perintah Erika.

Dan pada akhirnya, setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, kamipun berangkat. Mudah mudahan tidak akan terlambat.

Aku dan Farkas sudah berteman semenjak kecil. Ayahku dan orang tua Farkas juga saling mengenal. Kami mengetahui kelemahan masing masing. Kemudian Erika, aku mengenalnya saat SMP.

Semasa SMP dulu, Erika menyukai Farkas. Dengan beraninya ia mengajak Farkas berkencan saat tahun baru. Bisa dilihat bagaimana hasilnya, tentu saja Farkas menolak. Farkas adalah seseorang yang berfokus pada pendidikan. Ia sangat berambisi dan mempunyai tujuan. Sampai saat ini, belum ada yang dapat menggoyahkan tekadnya.

Mungkin hanya sekitar sebulan ini, selama masa ospek kami dapat berangkat ke kampus bersama. Kami bertiga mengambil jurusan yang berbeda, tapi masih satu fakultas, jadi masih bisa sering bertemu. Aku mengambil matematika, Erika mengambil kimia, Farkas mengambil Fisika.

Di tengah tengah perjalanan.

"Kenapa macet parah kyak gini." Gumamku.

"Satu kilo yang biasanya sepuluh menit, bisa

nyampe satu jam kalo gini caranya." Lanjutku.

"Kan tadi gua udah bilang. Gua suruh cepet cepet. Malah nyantai." Kata Farkas agak sedikit emosi.

"Ya kan cuma sekilo, biasanya nggak selama ini." Sahutku ikut emosi.

"Makanya dipikir dulu. Ini tu hari senin. Hari mulai kerja, pada sibuk semua." Kata Farkas sambil membentak.

"Ya nggak usah teriak teriak gitu juga. Mana gua tau kalo hari ini sibuk kyak gini, biasanya juga nggak." Jawabku sambil cemberut.

"Ini anak berdua berantem mulu dari tadi." Erika mulai sedikit emosi.

"Kita pikir positifnya dulu." Kata Erika berusaha optimis.

"Emang ada?" Tanya Farkas kepada Erika.

"Bentar, gua mikir dulu." Erika berusaha menemukan solusi.

"Lu kenapa diem? Dari tadi ngomong terus. Udah nyadar kalo salah?" Farkas berusaha menyalahkanku.

"Apasih. Nggak usah ngomong sama gua, ya. Gua sebel ama lo. Jadi lo nggak usah ngomong sama gua. Ok?" Jawabku dengan nada marah.

"Semua diem!" perintah Erika tiba tiba.

"Ka, gua pindah di samping lu, deh. Gua nggak mau sebelahan sama dia." Kataku menyela perkataan Erika.

"Bentar, diem dulu. Ini gua mau ngomong." Erika melanjutkan perkataannya. Namun tidak ada yang menggubrisnya.

"Eh eh. Lihat deh, itu mobilnya kok bisa lewat." Kataku sambil menunjuk ke arah mobil yang baru saja lewat di sebelah mobil yang kami tumpangi.

"Itu mobil bisa lewat, masa lu nggak bisa sih, Kas? Kyak mobil itu, tu." Aku berusaha menyalahkan Farkas karena terjebak di kemacetan.

"Itu dia udah ahli. Kan gua baru dapat SIM-nya." Farkas berusaha mengelak.

"Halah alesan?" Kataku meragukan alasan Farkas.

"Gimana kalau lu aja yang nyetir?" Farkas hampir meledak.

"Kan gua belum ada SIM. Bikin aja belum." Aku juga marah.

"Makanya nggak usah nyalahin gua kalo gitu." Farkas tambah marah.

Bla bla bla.

Aku dan Farkas terus saja berdebat dan tidak ada yang mau mengalah.

"Gua mau ngomong nggak ada yang merhatiin. Tadi gua mau ngomong apa coba? Kan lupa." Erika bicara sendiri.

"Terus. Gitu aja terus. Bertengkar terus. Bodo amat, gua. Nggak peduli pokoknya." Erika masih berbicara sendiri.

Di tengah tengah pertengkaran antara aku dan Farkas, tiba tiba.

"Udah ijo. Udah ijo. Cepetan cepetan." Sahut Erika dengan suara lantang.

Farkas segera menginjak pedal gas. Ia juga tidak mau kita terlambat. Tapi, ini sudah sangat terlambat. Jam menunjukkan pukul 6.35. Entah hukuman seperti apa yang menanti kami.

Suasana jadi canggung. Semua terdiam. Tidak ada yang bersuara. Aku tidak ingin memulai percakapan karena masih kesal dengan Farkas, begitupun dirinya. Erika hanya mengawasi kami.

Erika tau kalau kami tidak benar benar marah satu sama lain. Beberapa jam lagi, kami pasti baikan. Ia sudah sering melihat kami seperti ini. Sudah hal yang wajar baginya.

"Hari minggu, Malik ngajak ketemuan." Kataku memecahkan keheningan ini.

"Kita nggak bisa ngumpul. Sorry ya?" Lanjutku sambil minta maaf.

"Malik terus." Balas Farkas dan terlihat sinis.

"Pasti ada maunya itu." Tambah Erika.

"Semua bisa berubah. Malik juga bisa. Lihat aja ntar." Balasku dengan positif.

Malik adalah pacarku. Erika dan Farkas tidak menyukainya. Malik pernah beberapa kali membuat kesalahan, namun aku dapat memaafkan dan menerimanya kembali. Aku akan membuat mereka menerima Malik.

WA dari Malik yang mengajak ketemuan, membuatku melupakan hukuman saat ospek nanti. Kira kira hukuman seperti apa.