"Nisa Amerlina Putri, siswi kelas X Ipa 1 yang gak ikut pelajaran plus ulangan ibu tadi pagi, kan?!"
Nisa menghela nafas mendengar suara Bu Tini yang terdengar begitu menggelegar di hadapannya.
"Kenapa terlambat?!" tanya Bu Tini semakin garang.
"...."
"Kenapa diam!?"
"Kesiangan, Bu." Nisa membalas apa adanya karena itu memang kenyataan.
Mendengar itu Bu Tini nampak menatap Nisa tak percaya. "Gak kasihan kamu sama kedua orang tua kamu yang udah biayain kamu sekolah besar-besar tapi kamunya malah kayak gini?"
"Ibu curiga didikan orang tua kamu yang gak bener makanya kamu urakan kayak, gini. Kamu itu perempuan! Kenapa bisa bangun kesiangan kayak gini? Terus juga, gimana nanti kalau kamu udah nikah? Mau jadi apa kamu?"
"Ya, manusialah, Bu," sahut Nisa santai. Rasa takut yang ada apada dirinya perlahan memudar sedikit demi sedikit setelah mendengar Bu Tini menyeret-nyeret kedua orang tuanya.
"Menjawab kamu?!" Pekik Bu Tini.
Lagi dan lagi Nisa menghela nafas. Jika diam salah, nyahut salah? Yang benarnya apa?
"Lihat tuh pakaian kamu!" Tangan Bu Tini menunjuk lurus ke arah rok Nisa dengan tatapan nyalang.
Sementara Nisa yang melirik ke arah pakaiannya merasa bahwa tak ada yang salah dengan penampilannya.
"Ke sekolah mau jadi lonte atau gimana sih? Ngapain pakai rok tinggi plus ketat kek gitu?!"
"...."
"Kenapa diam!!?"
Lagi dan lagi Nisa menghela napas. "Iya, Bu. Iya. Saya salah. Besok saya ganti deh!"
Bu Tini membuang napas kasar. Menghadapi anak muridnya yang satu ini memang tidak pernah ada habisnya. "Sekarang kamu kerjain soal ulangannya disana!"
Nisa mengambil soal yang di berikan Bu Tini lalu pergi ke arah yang di tunjuk perempuan itu. Ia tak lagi bersuara, tidak ingin mengundang keributan.
Nisa tersenyum lega melihat seorang cowok yang duduk di sana sambil mengerjakan soal.
'Mayan lah, seenggaknya gue gak sendiri. Ada yang bisa gue ajak sharing jawaban.'
Setelah sampai Nisa langaung duduk dan mulai membaca serta mencermati soal. Namun, aktivitasnya terhenti saat ia baru ingat kalau dirinya lupa membawa kertas dan pulpen.
"Hy, boleh minta kertas sama pinjam pulpennya gak?"
Cowok di sampingnya tak menjawab membuat Nisa pun memegang tangan cowok tersebut membuat sang cowok menatap ke arah Nisa.
Nisa membulatkan matanya setelah melihat siapa cowok yang ada di sampingnya. "Lo cowok yang tadi pagi, kan? Bayu kan?!"
"Tangan!"
"Maksud lo?"
"Tangan gue!"
Nisa menatap tangannya yang masih setia memegang tangan Bayu. Nisa pun menjauhkan tangannya dari tangan Bayu.
"Nih!" Bayu memberikan bukunya dan sebuah pulpen untuk Nisa. "Kalau sekolah modal dikit!"
Nisa mengelus dadanya. "Sabar, sabar. Orang sabar gak boleh es mocha, entar gak jadi selingkuhan bapaknya Chimmy."
"Jangan lupa hukumannya. Berani kabur, gue cari lo ke rumah lo!" Bayu berdiri dan segera meninggalkan Nisa.
"Njir!!" umpat Nisa kesal dengan mata terus menatap punggung Bayu yang kian menghilang dari pandangannya.
***
"Mau kemana lo?" Tanya Abi yang melihat Bayu ingin keluar dari kelas saat bel pulang baru saja berbunyi.
"Ngehukum adiknya Rehan."
Rehan yang merasa terpanggil pun mengalihkan pandangannya dari game mobile legend yang tengah ia mainkan. "Sekalian karungin aj, Yu! Ikhlas gue mah, lo jadiin tahanan juga boleh asal lo rawat kayak malika, kedelai hitam pilihan!"
"Adek lo woe!" tekan Abi kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Stress nih orang keknya. Kalau gak mau punya adek kayak Nisa, kasih gue aja deh. Gak apa-apa, ikhlas gue punya adek kayak Nisa walaupun bobroknya gak ketulung."
"Enak aja!" ujar Rehan tak terima kemudian menatap Bayu lagi. "Tapi kalau Abang Bayu yang mau halalin mah boleh-boleh aja. Ikhlas gue."
"Beneran sinting nih orang!" ujar Abi lagi.
"Gue pergi!" Bayu pun pergi meninggalkan kedua temannya itu setelah merasa bahwa percakapan mereka tidak ada manfaatnya sama sekali..
"Lah? Kulkas ngambek gak tuh? Samperin gih," ujar Rehan sembari menyikut lengan Abi.
"Kok jadi gue?!" tanya Abi tak terima.
"Lah?" Rehan meletakkan ponselnya di atas meja. "Iya juga, kenapa jadi salah lo?"
"Duh Gusti, ngapain gue punya temen aneh kek lo!" teriak Abi sedikit prustasi.
***
"Sekarang lari!" Bayu menatap Nisa yang ada di hadapannya sambil sedikit menunduk untuk melihat wajah cewek itu mengingat tingginya yang hanya sebatas rahangnya.
Nisa mengangkat wajahnya dan ikut membalas tatapan Bayu. 'Tinggi amat nih orang! Ini dianya yang ketinggian kek tiang listrik atau guenya yang kembaran kurcaci?"
"Lari!" tekan Bayu sekali lagi saat Nisa tak kunjung berpindah dari posisinya.
"Nggak, panas! Kulit gue nanti gosong, sia-sia aja gue skincare-an rutin kalau ujung-ujungnya harus kayak gini!"
"Lari gak?!" tekan Bayu sekali lagi.
"Enggak mau! Tunggu suhuna turun dikit aja."
"Gue bilang lari!"
Nisa menatap sekelilingnya. Area di sekitar lapangan yang tadinya begiu sepi sekarang berubah menjadi lautan manusia. Tak hanya di pinggi lapangan, bahkan ada beberapa yang tetap diam di balkon kelas lantai 2.
Mereka seakan-akan tak ingin melewatkan kejadian yang akan segera berlangsung saat ini.
'Kenapa jadi ramai gini? Mereka kira lagi ada sumbangan sembako apa?' batin Nisa saat melihat semakin banyak siswa-siswi yang datang untuk menonton.
"Lari!" bentak Bayu kesal. "Gue bakalan ngasih hukuman yang lebih dari ini kalau lo masih ngeyel dan nunda-nunda waktu kayak gini!"
"Iya, Yu, iya! Rese banget sih lo? Suka banget bikin gue kesel, curiga gue kalau lo--" Nisa menghentikan ucapannya setelah melihat tatapan tak bersahabat milik Bayu.
Nisa menghela napas sejenak kemudian mulai berlari mengitari lapangan di bawah teriknya sinar matahari. Sesekali ia menyeka keringat yang membanjiri wajahnya serta melihat ke arah sekitar lapangan yang suasananya masih begitu ramai.
Di putaran ke lima, langkah Nisa mulai melamban. Ia menumpu kedua tangannya di atas lutut sambil mengatur napasnya. Nisa kelelahan.
"Lari!" pekik Bayu lagi.
Nisa melirik ke arah sumber suara dan melihat Bayu yang berdiri dengan beberapan siswi terlihat begitu sengaja mendekat ke arah Bayu. Namun, Nisa tak peduli sama sekali.
"Dasar anjiing tuh ketos! Minta disleeding sumpah!"
Nisa kembali berlari, tubuhnya semakin lama semakin banyak mengeluarkan keringat membuat tubuhnya terekspos.
"Kan, kan? Jadi tontonan gratis kan gue!" gerutu Nisa saat semua mata terlihat fokus padanya hingga tak berkedip.
Saat memasuki putaran ke lima belas, kaki Nisa terasa lemas, kepalanya pun berdenyut, namun ia masih berusaha untuk lari.
Akhirnya, saat memasuki putaran ke enam belas, telinga Nisa berdengung, matanya menggelap dan dalam hitungan detik tubuh Nisa pun lantas ambruk ke tanah.
Samar-samar ia dapat melihat seseorang yang berlari kearahnya beserta teriakan para siswi sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya.