Madan telah sampai di kelasnya yang terlihat masih sepi. Kawan-kawannya sedang berada di bawah sana.
Beberapa dari mereka tampak sedang sibuk dengan bukunya. Entah apa yang tengah mereka kerjakan.
Melihat Dina yang tengah sendirian disana, Madan pun langsung bertanya kepadanya, "Din, dimana Atala?" tanya Madan.
Dina tidak bisa menjawab pertanyaan Madan karena seharusnya Madan lebih tahu, "Loh! Bukankah seharusnya Atala bersama dengan kalian?" Dina justru bertanya balik.
"Aku tidak tahu!" jawab Madan sambil menaikkan kedua bahunya.
Madan butuh pendapat dari Atala tentang apa yang harus dilakukannya pada situasinya saat ini. Namun, Madan menyadari bahwa perlahan perubahan yang ada pada Atala terlihat semakin jelas.
Madan berjalan ke bagian kelas paling belakang. Wahyu tenang sekali mengerjakan tugasnya di belakang sana.
"Yu! Apa lo tau kemana perginya Kiel?" tanya Madan.
"Atala Dan? Atala ke gedung baru bersama dengan Kiel!" jawab Rafi yang paham dengan apa yang dicari Madan sebenarnya.
"Oalaa. Pantas saja gua tidak melihat mereka di kantin! Thanks Fi!" ucap Madan.
"Iya Dan!" saut Rafi.
Dibandingkan menghampiri Atala dibawah, Madan lebih memilih merebahkan tubuhnya di kelas. Ia mengambil tas Wahyu dan meletakkannya di depan tembok belakang. Lalu, Madan pun menyandarkan tubuhnya dan menjadikan tas Wahyu sebagai bantal.
"Ada apa Dan? Tumben sekali lu menanyakan kabar Atala. Biasanya kalian bertengkar!" singgung Wahyu.
"Tidak ada! Gua hanya sedang di kejar oleh sesuatu yang berbahaya!" jawab Madan tak mau mengatakan yang sebenarnya. Namun anehnya, Wahyu bisa langsung paham bahwa situasi genting yang tengah berusaha Madan hadapi ada kaitannya dengan Atika, "Ohh. Atika?" tanya Wahyu.
"Hah? Bagaimana lo bisa tahu?" sontak Madan langsung kembali duduk mata Wahyu dengan begitu kaget.
"Sudahlah! Mulai sekarang jangan terlalu lelah untuk menyembunyikan rahasia soal percintaan. Karena semuanya dapat di tebak dengan cepat! Coba tanyakan saja kepada teman yang lain! Gua yakin banyak dari mereka yang tahu tentang hubungan kalian berdua!" kata Wahyu.
Karena sebenarnya, Madan telah melakukan hal yang sia-sia. Ia berusaha menjaga rahasianya. Namun Madan tidak bisa mengontrol tingkahnya yang selalu mencurigakan.
"Ah yasudahlah. Itu tidak lagi penting! Tapi, inilah masalahnya Yu!" Madan pun terpancing untuk bercerita.
"Ada apa?" tanya Wahyu sambil terus menulis.
"Atika ingin bertemu dengan gua! Bayangkan betapa buruknya mimpi yang gua alami hari ini!" ujar Madan.
Mendengar ungkapan dari Madan, Wahyu tertawa terbahak-bahak.
"Ahahaha. Kenapa harus mengeluh? Temui saja! Memangnya, apa masalahnya?" kata Wahyu mengujarkan pendapatnya.
Madan sudah menduganya. Tanggapan mereka pasti sama.
"Sebenarnya, ini adalah hal yang sulit! Gua tidak mempunyai keberanian untuk menemuinya!" jelas Madan. Ekspresi wajahnya cukup emosional.
"Berarti masalahnya ada di lo sendiri! Atika bisa santai. Kenapa lo harus gugup?" kata Wahyu.
Secara tidak langsung, Wahyu membuka mata Madan. Madan sadar bahwa dirinya lah yang belum punya mental yang cukup untuk hal seperti ini.
Di dalam hatinya, Madan memuji Wahyu, 'Gua paham apa yang dia maksud! Ini adalah jawaban yang berbeda! Gua harus mengakuinya!' pikirnya.
Madan terdiam dan kembali merebahkan tubuhnya. Ia membuka ponselnya. Terlihat jelas adanya notif dari Atika yang enggan untuk dibukanya.
Tidak lama kemudian, teman-temannya dari kantin pun mulai datang.
Mereka berteriak, "Woi Madan! Sialan lu!" teriak Bima sambil memukul pintu. Melihat Bima mengamuk, Jonathan ikut ikutan, "Mana nih si Madan?" ucapnya.
"Tuh Bim. Dia ada di dekat Wahyu!" Martinus menunjuk ke bagian paling belakang kelasnya.
Madan langsung berdiri dan kabur dari mereka. Ia harus menaiki banyaknya bangku dan meja di kelasnya.
"Tangkap Jon!" Bima menyuruh Jonathan.
Sementara Jonathan sendiri berada sangat dekat dengan Madan.
"Jon? Lo berani mendekat? Maju selangkah lagi gua injak kepala bau lo itu!" ancam Madan.
Kata-katanya yang lawak cukup membuat mereka tertawa.
"Hahahaha." Bima tertawa melihat aksi kedua kawannya yang terlihat seperti anjing dan kucing.
Situasi sedang seru saat ini. Berdiri di atas meja membuat Madan dapat melihat Atika yang tengah melewati kelasnya sambil sesekali melirik ke dalam kelas.
Seketika, Madan langsung turun dari mejanya. Ia benar-benar takut, 'Itu dia! Itu benar-benar dia!' ucapnya dalam hati.
Sebelumnya, Madan jarang sekali melihat Atika berada di lantai atas. Maka hal ini sangatlah membuatnya terkejut.
Mereka masih belum melakukan kontak mata. Atika belum melihat Madan di dalam kelasnya. Ia hanya berusaha memastikan keberadaan Madan di kelasnya. Menunggunya di balkon depan kelas Madan.
Melihat Madan yang tiba-tiba saja mematung dengan tatapan yang semakin kosong, Bima ikut kebingungan sendiri.
"Hah? Lo liat apa?" tanya Bima. Mengikuti arah pandang Madan ke luar kelasnya.
"Sepertinya, Madan sedang ditunggu oleh Atika!" ujar Jonathan.
Madan tidak memiliki waktu untuk memikirkan perkataan kawan-kawannya. Isi kepalanya sibuk berpikir tentang apa yang harus dilakukannya saat ini.
'Dia menunggu gua? Bukan kan? Dia datang ke tempat ini bukan untuk menemui gua kan?' tanya Madan dalam hatinya. Berharap bahwa apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan kecemasannya.
Bima langsung berjalan keluar kelasnya. Sebagai seorang teman, Bima ingin membantu Madan agar segera bertemu dengan Atika.
"Atika? Kedatangan lo ke sini itu untuk mencari Madan?" tanya Bima kepada Atika.
Madan dapat mendengar suara Bima yang memulai komunikasi dengan Atika. Atika pun tidak sendirian. Ia selalu ditemani oleh seorang temannya.
"Iya! Boleh tolong panggilkan dia?" pinta Atika.
"Iya!" jawab Bima dengan senang hati.
Sementara situasi di dalam kelas terasa begitu panas. Madan benar-benar tak habis pikir dengan Bima yang justru membantunya untuk bertemu dengan Atika.
"Anak bodoh! Ngapain dia harus membantu Atika?" ketus Madan dengan geram.
"Justru Bima melakukan hal yang bagus! Mengapa lo harus marah?" tanya Jonathan ikut bingung dengan Madan.
Madan tidak peduli dengan tanggapan mereka. Saat ini mereka semua tidak mendapat perhatian dari Madan.
Bima kembali ke dalam kelasnya dan Madan pun langsung mehampiri Bima.
Grabb!
Madan langsung mencengkram kerah baju Bima.
"Bima? Apa yang baru saja lo lakukan?" tanya Madan dengan wajah marah.
"Gua hanya membantu lo!" jawab Bima.
Madan tidak habis pikir dengan jawaban Bima. Bagi Madan, mereka tak bisa diandalkan. Meski mereka justru berusaha membantu Madan agar dapat menjalani hubungannya dengan Atika lebih baik.
"Akh!" keluh Madan. Ia berjalan ke berbagai sisi kelasnya sambil terus berpikir. Ia merasa ragu untuk melangkah keluar kelasnya.
"Ciee Madan! Pergilah ke luar sana!" kata Jonathan masih terus mengolok Madan.
Sementara temannya yang lain sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka tak begitu mempedulikan Madan yang tengah di himpit oleh rasa takut.
Setelah mengumpulkan keberaniannya cukup lama, akhirnya Madan pun kembali melangkahkan kakinya untuk berjalan keluar kelasnya. Ia berusaha untuk tetap terlihat tenang.
Madan dapat melihat Atika yang berada di balkon. Tubuhnya membelakanginya.
'Oke. Tenang!' ucap Madan dalam hatinya.
Madan berhasil melawan rasa takutnya. Ia menghampiri Atika dan memulai percakapan dengannya.
"Hai!" sapa Madan.
"Hai!" sapa balik Atika.
Setelah mereka saling sapa, mereka tak lagi berbincang cukup lama, 'Ini adalah situasi yang paling gua benci. Maksud gua, untuk apa kita bertemu jika hanya akan seperti ini?' teriak Madan dalam hati.
"Mmm. Ada apa? Tumben sekali mendatagni kelasku?" tanya Madan.
"Aku tidak datang ke kelasmu!" jawab Atika.
Jawaban Atika membuat mental Madan hancur.
"Ak. Emm. Iyaa! Maksud aku, ka-kamu memanggilku kan? Ada apa?" tanya Madan terdengar gugup.
Atika sendiri juga bingung bagaimana cara ia menjelaskannya. Ia hanya ingin bertemu dengan Madan. Ia punya masalah yang harus diselesaikan. Menjadikan alasan bagi pertemuannya dengan Madan saat ini.
"Ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu!" kata Atika.
Sepenggal kalimat Atika berhasil membuat Madan penasaran.
"Ada apa?" tanya Madan.
Cukup lama Atika hanya berdiam sambil terus mengusap layar ponselnya. Pada akhirnya, Atika pun mulai berbicara kembali.
Sementara Madan, ia hanya fokus dengan paras Atika yang menarik, 'Dia cantik! Tapi, kecantikannya tak terlihat ketika gua merasa takut!' kata Madan dalam hatinya. Menatap Atika dari samping.
Atika tampak ingin memperlihatkan sesuatu kepada Madan. Ia memperlihatkan layar ponselnya kepada Madan.
Madan pun dapat melihat isi obrolan antara Atika dengan pria lain. Pria itu berusaha menggoda Atika. Membuat Madan cukup kesal. Tapi, tetap saja Madan tak tahu bagaimana harus berekspresi, 'Oh. Jadi, dia ingin menjunjukkan bahwa dirinya tengah digoda seorang lelaki. Lalu, dia mau gua seperti apa?'
"Siapa namanya?" tanya Madan. Hanya pertanyaan itu yang terbesit di kepalanya.
"Dia bilang namanya Gibran!" jawab Atika terus memperhatikan ke arah lapangan.
'Lalu, apalagi?' Madan berpura-pura fokus pada layar ponsel. Padahal, isi kepalanya hanya penuh dengan rasa cemas.
"Apa dia sudah menghubungimu cukup lama?" tanya Madan.
"Cukup lama. Aku tidak menggubrisnya! Tapi, dia tetap menghubungi aku," jawab Atika.
Madan sungguh kehabisan kata-kata. Melihat respon Atika yang cuek terhadap pria asing itu sebenarnya sudah membuat Madan tenang. Tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi sekarang. Namun, Madan masih penasaran dengan apa yang diharapkan Atika.
"Y-yasudah. Ini sudah selesai kan?" tanya Madan. Ia mengembalikan ponsel itu kepada Atika. Ia terlihat sangat bodoh sekarang.
Madan tidak ingat, bahwa saat ini Atika sedang datang bulan. Melihat ekspresi Atika yang tak ada senyuman, berhasil membuat Madan tersadar.
"Sebentar!" Madan berjalan memasuki kelasnya dan meninggalkan Atika begitu saja.
Madan melarikan diri dari Atika untuk mendapatkan waktu berpikir.
Tidak sebentar waktu yang dihabiskan Madan untuk berpikir.
Sering kali Madan berharap jika Atika memiliki urusan mendadak yang membuatnya harus meninggalkannya.
Tetapi nyatanya, Madan telah melakukan kesalahan besar. Atika berjalan ke arah tangga dengan wajah yang terlihat marah. Atika kesal dengan Madan yang selalu menghindarinya.
"Atika!" panggil Madan. Namun Atika terus berlari begitu saja dengan temannya yang ikut mengejarnya dari belakang.
Madan pun juga mengikuti Atika sampai tangga. Namun, Atika tak kunjung berhenti.
'Bodoh! Bodoh! Bodoh! Lo terlihat semakin bodoh!' Madan mulai menyalahkan dirinya.
Pada akhirnya, Madan hanya menciptakan masalah baru. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri dan juga Atika. Madan sadar bahwa pandangan Atika tentang dirinya akan sangat buruk.