Madan tidak ingin membahas masalah itu di sekolah. Termasuk menghubungi Atika.
Namun tetap saja, Madan merasa bersalah. Meski sebenarnya, Madan sendiri hanya berusaha membuat dirinya merasa nyaman. Madan justru berusaha agar rasa tidak nyamannya tidak menyakiti Atika. Ia mencari hal lain yang dapat membuat hubungannya tidak terasa datar.
"Bagaimana ini?" gumam Madan sambil berjalan kembali ke dalam kelasnya.
Ketika Madan berada di kelasnya, Bima melihat ekspresi Madan yang tampak cukup cemas. Biasanya, ketika seseorang bertemu dengan pasangannya, orang itu cenderung akan salah tingkah dan girang sendirian. Tapi, Bima tak mendapati itu dari Madan.
"Dan? Bagaimana? Kenapa lo terlihat tidak senang? Apa ada yang mengganggu kencan kalian?" tanya Bima mencandai ekspresi Madan.
"Tidak ada! Tapi, sepertinya Atika marah dengan gua!" jawab Madan dengan tatapan yang kosong.
"Lho? Bagaimana bisa dia marah? Memangnya, apa yang terjadi di sana?" tanya Bima semakin penasaran dengan cerita Madan.
Namun Madan tidak ingin membahasnya sekarang. Madan bisa melihat sendiri, bahwa Jonathan dan Martinus ada di dekat mereka.
'Ini tidak aman! Masih ada mereka! Meskipun mereka sudah tau tentang hubungan gua, tetap saja gua tidak ingin melibatkan mereka!' batin Madan berkata sambil melirik Jonathan dan Martinus yang tengah menguping.
"Nanti saja, gua akan ceritakan!" kata Madan kembali berjalan ke tempat duduknya.
Di samping Madan yang tengah melamun sambil berjalan, kawan-kawannya membuat lelucon tentang sepenggal cerita yang dikatakannya barusan. Madan tidak mempermasalahkannya karena Madan menganggap bahwa tidak ada teman yang tidak bodoh.
Ketika waktu pulang tiba, seperti biasanya Madan pulang bersama dengan Bima dan Sidik.
Di tengah-tengah pembicaraan mereka, Madan memanfaatkan keheningan yang tercipta sendirinya dengan ceritanya.
"Bim. Gua ingin cerita tentang yang tadi di sekolah!" ujar Madan berubah ekspresi begitu cepat.
Sebelumnya, mereka tengah bercanda dengan lelucon yang acak. Ketika Madan mengingat tentang kebodohannya, Madan mulai merasa tidak enak.
"Oh iya. Lu sudah janji untuk menceritakannya pada saat pulang sekolah. Baiklah! Memang, apa yang terjadi tadi? Ceritakanlah!" Bima sangat menyambut Madan curhatan Madan.
Sementara Sidik tak mengerti apa yang tengah mereka bahas saat ini.
"Ini ada masalah apa? Dia dan Atika?" tanya Sidik sambil menunjuk Madan.
"Iya, sudahlah! Dengarkan saja! Nanti lo akan mengerti sendiri!" Bima yang begitu penasaran dengan cerita Madan langsung menghentikan Sidik yang mengganggu perbincangan mereka.
"Pada saat itu, gua merasa tidak nyaman sekali. Gua benar-benar tidak tahan dengan kecanggungan. Dia menceritakan tentang seorang lelaki yang menggodanya. Gua menggubrisnya! Namun, gua tidak tahu apa yang harus gua lakukan selanjutnya! Gua membutuhkan waktu untuk berpikir! Maka, gua pun masuk ke dalam kelas sebentar. Lalu, dia marah dan meninggalkan gua begitu saja!" kata Madan bercerita cukup rinci.
Terdapat perbedaan reaksi antara Sidik dan Bima. Sidik merasa bahwa Madan sangat bodoh. Tidak dapat diandalkan dan payah.
Sementara Bima, ia lebih memahami Madan karena mendengar cerita Madan lebih banyak daripada Sidik.
"Dih. Lihat orang bodoh ini! Bagaimana bisa dia meninggalkan pacarnya sendirian begitu saja ke dalam kelasnya? Apa lo tidak memikirkan perasaannya?" ketus Sidik memarahi Madan.
Madan sempat merasa bahwa apa yang dikatakan Sidik ada benarnya.
"Tapi, ya begitulah perasaan gua Dik! Dia sangat cuek. Dia menyerahkan semuanya kepada gua! Seakan semua suasana yang terjadi diandalkannya kepada gua. Dia tidak punya usaha!" balas Madan.
Bima mengerti bahwa perdeatan ini akan menjadi panjang.
"Ya! Gua paham apa yang lo rasakan, Dan! Lalu, selanjutnya apa? Apa artinya lo tidak lagi tertarik dengan Atika?" tanya Bima frontal. Pertanyaan itu cukup bahaya.
Karena, Bima tidak ingin berdebat panjang dengan Madan, jika pada akhirnya aksi Madan tidak sesuai dengan perkataannya.
"Gua sendiri masih merasa tertarik. Tapi, gua juga bingung dengan perasaan gua ini!" jawab Madan. Ekspresi wajahnya sungguh mendeskripsikan perasaan bingung.
Orang yang paling mengerti tentang perasaan Madan saat ini hanyalah Madan sendiri. Tidak ada yang bisa di bantu kawannya. Karena pada akhirnya, rasa yakin akan sebuah keputusan berada di tangan Madan.
Madan sampai di rumahnya. Membuka pintu dan mengucap salam. Wajahnya yang tampak kelelahan menimbulkan pertanyaan bagi orang yang melihatnya.
"Assalamualaikum," ucap Madan.
Dilihatnya kawan-kawan mamanya yang tengah asyik berbincang.
"Waalaikumsalam," jawab mereka.
Meskipun jumlah mereka tidak banyak, Madan tetap merasa tak enak jika harus menekuk wajahnya.
Mereka terlanjur melihat wajah Madan yang begitu lesu.
"Kamu kenapa? Kok lesu sekali?" tanya mamanya Madan.
"Iya. Sepertinya ada kegiatan yang berat ya di kelas delapan ini?" tanya salah satu teman mamanya.
"Ehe. Tidak! Siang ini memang agak panas. Rasanya, lebih lelah saja!" jawab Madan memaksakan wajahnya untuk tetap tersenyum.
Madan meletakkan sepatunya di rak. Dan berjalan ke arah mereka untuk mencium tangannya satu persatu. Orang tua Madan sendiri tidak tahu bahwa Madan ternyata telah berpacaran dengan seorang perempuan.
"Apa nanti kamu les?" tanya mama Madan.
"Tidak!" jawab Madan.
Setelah mencium tangan mereka satu-persatu, Madan kembali berjalan. Tidak sabar untuk segera sampai di dalam kamarnya.
"Tinggi banget yaa?"
"Iyaa! Ihihihiihi."
"Anak smp jaman sekarang memang tinggi tinggi!"
"Iya! Waktu itu saja oaisajtqhrwoqhsai"
Cukup sering Madan mendengar pujian dari orang-orang, rasa senangnya berbeda dengan dulu. Saat ini, Madan hanya terfokus pada rasa lelahnya yang ingin segera dihilangkannya.
Bukk!
Madan membanting tubuhnya diatas kasur dengan ponsel di genggaman tangan kanannya.
Madan membuka ponselnya. Tidak ada pesan masuk dari Atika. Madan mulai merasakan adanya sebuah bencana pada hubungan mereka. Madan tidak merasa begitu sedih. Tidak juga merasa aman.
Hanya saja, Madan merasa bersalah. Karena berkali-kali ketika Madan mengingat kejadian itu, berkali-kali juga Madan merasa gagal menjadi seorang lelaki.
"Kenapa dia tidak mengirim pesan?" gumam Madan dengan suaranya yang sudah lelah.
Matanya mulai sayu. Niatnya untuk menghubungi Atika pun datang.
"Oh iya. Kan gua yang membuat kesalahan!" ucapnya Madan baru tersadar.
Puk!
Madan menepuk jidatnya.
Madan : Atika?
Atika : Apa ?
Madan : Apa kamu marah? Maaf. Karena aku terkejut dengan kedatanganmu tadi!
Atika : Aku tidak marah.
Meski obrolan mereka sederhana, namun Madan bisa menyadari hal yang sebenarnya, 'Wah. Dia benar-benar marah dengan gua! Jelas sekali dari wajahnya pada saat dia pergi tadi. Itu sangat mencolok!' pikir Madan tidak percaya dengan pesan Atika.
Madan mulai membuka ruang obrolannya yang lain. Merasa muak dengan hubungannya yang tak membawa rasa seru lagi.
Dibukanya obrolan yang ada pada grup kawanannya, 'Hah? Ada tournament game online? Wah, ini akan menjadi tournament yang sangat menguntungkan!' Madan begitu histeris ketika melihat informasi dari grupnya.
Madan diajak oleh kawan-kawannya untuk menjadi bagian dari tim mereka.
'Gua pasti ikut dong! Mengapa tidak? Kalau gua tidak ikut, lalu siapa yang akan membawa kalian ke kemenangan?' pikirnya mulai membanggakan diri sendiri.
Rasa senangnya membuat mata Madan tak lagi redup. Masalahnya dilupakannya sementara.
Hingga akhirnya, Madan baru mengingat bahwa ia juga harus menyelesaikan masalahnya dengan Atika. Madan tidak bisa meninggalkan Atika begitu saja dan membuatnya menunggu pesan masuk darinya.
"Oh iya Atika!" gumam Madan cukup cemas.
Ketika Madan melanjutkan obrolannya dengan Atika, semuanya tampak normal. Meski mereka masih membahas masalah itu dengan tutur kata yang berusaha dijaga.
Namun entah darimana datangnya perasaan ragu dihatinya, Madan merasa seakan berkabar bukanlah yang tepat sekarang.
'Ah. Masalah ini semakin rumit. Hm. Apa yang harus gua lakukan ya? Jika masalah kecil tadi saja bisa seperti ini, maka apa jadinya nanti?' pikir Madan.
Madan berpikir cukup lama. Menatap berbagai benda di sekitarnya berharap mendapatkan ide agar dapat menjadikan membuatnya tahu apa yang harus dilakukannya.
Namun, bukannya mendapatkan solusi, Madan justru memiliki niat yang sangat buruk. Madan sempat tersenyum ketika ide tersebut terlintas di kepalanya. Ia merasa bahwa dirinya akan bermain di lautan api.
"Ihihihihihi." Madan tertawa gila.
Ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Pada saat itu, Madan tidak sadar bahwa dirinya mulai kelewat batas. Rasa kantuknya masih berpengaruh pada otaknya. Hanya saja, Madan tidak dapat merasakannya. Seakan semuanya tetap berjalan dengan normal.
Madan mulai membalas pesan dari Atika.
Madan : Oh iya. Sebentar lagi aku akan ikut tournament game online denga kawan kawan aku!
Atika : Wah, serius? Lalu?
Madan : Aku boleh ikut kan?
Madan harus mencari bukti lebih dulu untuk menyelamatkan dirinya nanti. Meminta izin dari Atika akan menjadi caranya untuk menghindari berbagai pertanyaan yang akan membuatnya bersalah nanti.
"Ihihihi!" tawa Madan kegirangan sendiri.
Tidak lama kemudian, Atika menjawab pesan dari Madan.
Atika : Hmmm. Boleh. Kenapa tidak?"
Madan : Karena, aku akan lebih sulit menghubungimu!
Disinilah letak permainan yang Madan buat dimulai.
Atika : Oh begitu ya? Yasudah kalau begitu. Ikut saja!
'Ini dia letak kesalahan dia. Dia langsung mengizinkan gua? Padahal pertanyaannya masih kurang rinci!' ujar Madan dalam hati sambil tertawa kecil.
Madan : Dan, turnamen itu akan memakan waktu kira kira dua minggu! Maka, aku tidak akan menghubungi kamu selama itu!
Sambil mengirim pesannya, Madan tidak berhenti tertawa. Atika sempat terdiam cukup lama. Ia terlanjur menyetujui permintaan Madan.
"Pasti, dia sedang memikirkan kembali kata katanya. Kalau ada fitur edit pesan, gunakan lah Atika! Ihihihihi." Madan tidak bisa berenti tersenyum.
Ia Madan mengaggap bahwa ini adalah salah satu keseruan yang ada pada hubungannya. Ia sengaja berbohong kepada Atika. Padahal, tournament itu tak memakan waktu se lama itu.
Madan tidak berpikir jauh. Ia tidak sadar bahwa sebenarnya dirinya tengah memainkan perasaan seseorang.
Cukup lama Atika terdiam, akhirnya ia membalas pesan Madan.
Atika : Apa kamu yakin? Apa itu harus?
Madan mulai kebingungan sekarang. Atika mulai menahannya. Itu karena Atika dapat merasakan ancaman yang ada pada pesan yang dikirim Madan.
Madan : Tentu saja aku yakin. Ada apa Atika?
Atika merasa kebingungan dengan Madan yang tidak paham dengan apa keinginannya. Atika berharap bahwa Madan peka terhadap keinginannya yang tidak menginginkan Madan untuk menghilang selama itu.
Atika : Tidak ada apa apa. Have fun!
Madan : Oke. Terima kasih!
Namun Atika memilih untuk memendamnya. Rasa gengsi membuat Atika merasa enggan untuk menahan Madan. Pada akhirnya, Madan berhasil mengeksekusi niatnya untuk menjauh dari Atika sementara.
'Akhirnya, gua bisa merasakan dunia gua yang asli untuk sementara!' kata Madan menyandarkan kepalanya di tembok sambil menatap langit-langit.
Entah apa yang ada di kepalanya pada saat itu, yang Madan rasakan saat ini justru hanyalah rasa lega. Sekejap, masalahnya dengan Atika bisa dengan mudah dilupakannya.
Madan menceritakannya kepada Bima tentang apa yang baru saja dikatakannya kepada Atika.
'Ah, gua harus menceritakan ini kepada Bima. Dia juga menjadi penyelamat dalam masalah ini!' ungkap Madan dalam hatinya.
Bima sendiri pun juga telah menjadi bagian dari grup tournament yang dibuat ketua mereka. Bima sempat merekomendasikan Madan karena skill permianannya yang bisa diakui kawannya.
Namun, belum sempat Madan menceritakan semuanya kepada Bima, kesadarannya sudah menghilang. Ia tertidur pulas.
Masalahnya benar-benar beres sekarang. Tidak ada hal lagi yang membebani pikirannya. Sehingga, Madan bisa merasa tenang dan merileskan otot yang ada pada otaknya. Tertidur tengkurap diatas kasurnya dengan ponsel yang masih menyala.
Malam harinya, Madan mencoba menceritakannya kepada Bima. Namun saat ini, pikiran Madan telah kembali normal. Ia bisa memilah mana yang benar dan salah dengan lebih tajam.
Sehingga, ketika Madan melihat kembali obrolannya dengan Atika tadi siang, Madan mulai merasa bahwa dirinya sangat bersalah.
'Aduh! Madan! Bodoh sekali! Kenapa gua harus membohongi perempuan se baik dia? Mengapa gua harus berbuat jahat? Apa yang sebenarnya gua pikirkan tadi siang?' Madan mempertanyakan dirinya sendiri sambil melihat layar ponselnya berisikan ruang obrolan antara dirinya dengan Atika.
Madan mengusap kepalanya dan merasa bersalah. Namun semuanya telah terjadi. Lagipula, Madan juga tidak berpikir jauh dan merasa bahwa setelah ini tidak akan ada yang terjadi dengan hubungan mereka.
'Yasudahlah! Setelah dua minggu ini, gua akan menjadi pria baik!' pikir Madan berjanji pada dirinya sendiri.
Madan menutup ponselnya.
Sejak saat itu, Madan bisa lebih fokus mengerjakan semua kegiatannya. Pikirannya tidak lagi terbagi. Karena, Madan menganggap bahwa dirinya tidak lagi bersama dengan Atika. Semua yang dilakukannya harus dipikirkannya sendiri. Madan juga tidak merasa khawatir lagi dengan ponsel yang akan membuatnya terkejut akan panggilan dari Atika.