'Tidak biasanya dia seperti itu!' ucap Madan dalam hatinya.
Hingga akhirnya sadar bahwa mengherankan sikap ramah seseorang adalah hal yang tidak berguna. Ia pun kembali berjalan ke arah masjid.
Sekolah telah berakjhir. Pada saat di perjalanan pulang, Madan ditemani dengan Bima dan Sidik. Madan banyak mengeluh tentang harinya yang seakan tak ada bedanya.
"Hari ini membosankan!" gumam Madan. Keluhannya memberikan jeda pada obrolan kawannya yang seru.
"Mungkin lo yang mudah bosan!" Sidik membantai Madan dengan kata-kata. Ia merasa kesal dengan Madan yang terus mengeluh.
Bima ikut terbawa suasana dan mulai memojokkan Madan, "Aku tidak tahu! Padahal dia adalah laki-laki, tapi sering kali mengeluh!" ujarnya.
Madan menatap ke langit. Melihat teriknya langit membuat matanya sakit. Meski begitu, Madan terus memaksakannya. Ia mulai membandingkan dirinya dengan kawannya, "Kalian hanya tidak tahu bagaimana rasanya ada di posisi gua!"
"Ada apa dengan lo? Memangnya Atika pergi kemana?" tanya Bima.
Sidik yang mendengar ocehan Bima merasa tertarik untuk membuat situasi semakin memanas.
"Ya! bersyukurlah sedikit!" kata Sidik.
Mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya menjadi permasalah dalam hubungannya dengan Atika, "Sebenarnya, gua merasa cukup tidak nyaman!" ungkap Madan.
Mendengar pengakuan dari Madan, kedua kawannya pun tak terkejut. Seharusnya, perkataan Madan membuatnya terlihat seperti pria yang jahat.
Di lingkungannya, banyak sekali kawannya yang suka memainkan perasaan perempuan. Bahkan, tidak sedikit dari mereka menceritakan tentang aksi jahatnya di depan teman-temannya.
"Kenapa?" tanya Bima. Wajahnya terlihat mulai tak tertarik dengan topik saat ini.
"Ya begitulah! Padahal, waktu pertama kali bertemu rasanya sangat indah! Bahkan sampai terbawa mimpi. Tapi, kenapa jadi seperti ini?" jawab Madan.
"Jangan bodoh! Banyak lelaki yang menunggu Atika!" kata Sidik memperingati Madan.
"Entah! Ini bukan salah dia! Mungkin gua saja saja yang belum siap untuk mahir berpacaran!" tanggap Madan.
"Seperti sedang berbicara dengan orang tua. Kata-katanya sangat formal!" Sambil menyengir, Bima mengomentari cara Madan berbicara.
"Memangnya, apa yang membuat hubungan kalian jadi seperti itu?" tanya Sidik.
"Tidak tahu!" jawab Madan dengan santainya menggelengkan kepalanya.
"Dia bahkan tidak berani menemui Atika. Sering kali dia menghindari Atika!" ujar Bima menyinggung kejadian yang telah berlalu.
"Itu karena gua tidak tau apa yang harus gua lakukan! Gua benci dengan situasi canggung seperti itu! Karakter gua seakan dihancurkan hanya dengan seorang perempuan!" protes Madan mulai nafsu untuk membuat mereka paham.
"Jangan sambil menangis!" olok Bima. Padahal Madan tengah serius. Madan pun kehilangan moodnya untuk bercerita, "Sudahlah! Kalian tidak akan pernah paham dengan apa yang gua bicarakan!" kata Madan.
Mereka terus berjalan sambil berbicara banyak hal dan bercanda tawa melupakan topik obrolan sebelumnya. Tapi pikiran Madan masih terus tertuju pada apa yang baru saja dikatakannya sendiri, 'Apa gua harus mengubah diri pria yang pemberani?' Kedengarannya tak mudah. Tapi Madan memiliki tekad yang cukup besar.
Madan sendiri bukan tipe lelaki yang mudah untuk memutuskan hubungannya. Madan tidak pernah mengakhiri hubungannya karena masalah yang sepele. Baginya, bosan adalah alasan yang lucu untuk berpisah.
Ketika dirinya sampai di rumah. Madan mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Atika esok hari. Di dalam kamarnya, Madan mencoba untuk mempraktekkan caranya berinteraksi dengan Atika nanti.
Madan mengingat kembali gambaran yang terpampang di kepalanya akan kawan-kawannya yang berani berpacaran di sekolah, 'Oke. Menurut yang gua lihat dari teman-teman, mereka tampak sangat gembira. Kira kira, pada saat itu mereka sedang membahas apa hingga tertawa begitu lepas?' tanya Madan dalam kepalanya.
Diingatnya salah satu temannya yang berasal dari kelas lain. Madan kagum karena orang itu bahkan berani menghampiri pacarnya ke kelas. Padahal, saat itu usia mereka masih lebih muda.
'Itu adalah momen pada saat masih kelas tujuh. Tapi, dia berani sekali.' Madan mulai menyadari satu hal. Bahwa mungkin saja sikap seseorang memang bawaan dari karakternya sendiri. Sehingga madan mendiagnosa bahwa dirinya memang tak pandai berbicara dengan semua orang.
"Baiklah! Itu tidak begitu penting! Intinya, harus pintar cari topik obrolan!" gumam Madan berbicara sendiri di dalam kamarnya.
Madan mencoba mencari banyak referensi pada sebuah video. Orang-orang berpacaran banyak terpublikasi di banyak platform. Mereka tampak begitu bahagia ketika bertemu.
Madan mulai berdiskusi di dalam kepalanya, 'Kenapa mereka tidak pernah habis topik? Bahkan, mereka juga terlihat saling menyukai lelucon masing-masing!'
Semata-mata, keinginannya yang besar memiliki suatu alasan. Yaitu membuat Atika sendiri juga merasa nyaman ketika berada di dekatnya. Bukan justru merasa canggung.
Di tengah-tengah kefokusan pikirannya, tiba -iba saja layar ponselnya berubah tampilan. Seseorang meneleponnya.
Tanpa melihat namanya, Madan langsung mengangkat panggilan tersebut. Karena pikirannya masih tertuju pada video yang baru ditonton.
"Halo? Ini siapa?" tanya Madan.
"Ini aku, Atika!" jawab Atika.
Medengar jawaban dari Atika, Madan langsung mematung, 'Sialan! Apa yang sebenarnya dia lakukan? Kenapa tiba-tiba begini? Apa yang harus gua katakan?' Mendapat panggilan dari Atika justru malah membuat Madan kesal. Karena, Atika seakan membuat Madan terkejut dengan tingkahnya.
Madan bingung apa yang harus dibicarakannya dengan Atika. Cukup lama tak terdengar suara Madan di ponsel Atika.
"Halo?" panggil Atika. Berusaha memastikan bahwa panggilannya masih berjalan.
"Oh, iya. Atika! Ada perlu apa menelfonku?" tanya Madan. Suaranya jelas terdengar gugup.
"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin menelfon saja!" Jawaban Atika mematikan topik pembicaraan mereka.
Setelah mengatakan alasannya, Atika bahkan tak mengeluarkan suaranya lagi. Ia hanya menunggu Madan menanggapi perkataannya.
"O-oh." Madan mulai mati kutu. Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya selanjutnya. Kepalanya mulai diserang dengan rasa bingung, 'LALU GUA HARUS BAGAIMANA? Apa dia hanya ingin terus diam dan menunggu? Bukankah dia duluan yang menelfon?'
Cukup lama Madan terdiam, hingga membuat Atika memastikan kembali bahwa Madan masih disana, "Halo?"
'Waaa! Apa dia tidak tahu apa yang gua rasakan saat ini? Berilah gua waktu sebentar untuk berpikir! Gua berusaha membuat situasi yang terbaik tau!' teriak Madan dalam hatinya. Ia tidak habis pikir dengan Atika yang terus mendesaknya.
"I-iya! Atika, kamu lagi apa?" tanya Madan. Mungkin pertanyaannya terdengar standar. Tapi itulah satu-satunya pertanyaan yang terbesit dikepalanya.
"Aku lagi duduk aja," jawab Atika.
Madan tak yakin bahwa Atika hanya sekedar menjawabnya sesederhana seperti itu. Ia menunggu lanjutan dari kalimat Atika yang mungkin belum selesai, 'Terus? Sebenarnya perempuan ini punya niat atau tidak? Dia yang terus mendesak gua tanpa henti. Tapi dia tak ada usaha untuk memperpanjang pembicaraan ini?
"O-ooh! Sudah makan?" Lagi-lagi Madan mengeluarkan pertanyaan yang mungkin sering didengar Atika.
"Sudah kok!" jawab Atika.
Madan mulai muak dengan apa yang sedang terjadi. Atika tidak tahu berpaa kali Madan harus memastikan bahwa tidak ada seseorang yang mendengar pembicaraan mereka. Ia tidak ingin keluarganya tahu bahwa dirinya tengah menghubungi seorang perempuan. Madan takut bahwa dirinya menjadi bahan candaan mereka.
'Arghhh. Dasar! Terus apa yang dia harapkan dari tindakan dia yang menghubungi gua secara mendadak? Jika dia saja menjawab pertanyaan gua se sederhana itu!' Rasa herannya tak kunjung habis. Mempertanyakan isi kepala Atika. Madan benar-benar butuh jawaban dari siapapun tentang apa yang sebenarnya diinginkan Atika.
"Oke. Sebentar!" Madan mematikan microphonenya. Ia berpura-pura seakan dirinya tengah sibuk mengerjakan suatu hal.
Padahal nyatanya, Madan tidak sedang mengerjakan sesuatu. Hanya saja, ia sibuk memikirkan apa yang harus dibicarakannya dengan Atika. Momen dimana suaranya tak dapat di dengar Atika, dimanfaatkannya untuk meluapkan amarah.
"Hm, hmm hmmmm. Hm hmm."
Di dengar di telinga Madan, suara Atika yang tengah bersenandung sendirian di tengah dirinya ditinggal Madan.
Ketika mendengar suara Atika, tergambarkan dikepalanya hal yang tengah Atika lakukan.
'Sepertinya, dia juga sedang melakukan sesuatu. Mungkin, alasan dia menghubungi gua adalah untuk menemani kesibukannya itu! Tapi, ini sangat mengintimidasi gua!' pikir Madan.
Madan mulai menyalakan kembali microphonenya.
"Hai!" sapa Madan.
"Hai! Kamu habis ngapain?" sapa balik Atika dengan sebuah pertanyaannya.
'Akhirnya, dia punya usaha!' ucap Madan dalam hatinya.
Namun, pertanyaan Atika juga membuatnya kebingungan, 'Oh iya. Gua tidak mungkin berkata jujur kan? Itu adalah tindakan yang sangat konyol! Lalu, gua harus bilang apa?' \
"O-oh. Itu. Aku Hanya disuruh sebentar!" jawab Madan spontan. Bualannya tepat membuat Atika percaya.
"Ooohh!" respon Atika.
Madan sempat mati kutu lagi. Tapi skill spontannya mulai berfungsi dan meningkat.
"Bernyanyilah lagi!" pinta Madan.
Atika sempat terkejut dengan permintaan Madan. Karena Itu, berarti Madan juga sempat mendengarkan suaranya yang bersenandung.
"Hihihi. Tidak! Aku tidak bisa bernyanyi!" balas Atika berbohong. Ia mulai tertawa kecil.
"Tapi, suara kamu bagus!" puji Madan.
"Makasih. Tapi aku malu untuk bernyanyi di depan kamu!" jawab Atika.
Mendengar jawaban dari Atika, Madan tidak ingin memaksanya.
"Ahahaha." Madan ikut tertawa.
"Hihihihi!" Atika menahan nahan suara tawanya.
Suara tawa mereka menjadi penutup bagi dialog telfonnya. Madan tidak tahu lagi harus berkata apa.
Selain itu, Madan juga merasa muak dengan usahanya yang secara tidak langsung menghancurkan harga dirinya. Karena, respon dari Atika tidak membuat Madan puas. Seakan hanya ada Madan diantara hubungan mereka.
'Sudahlah, gua lelah! Hubungan ini bukan hanya tentang satu orang saja. Mungkin dia belum mengerti itu! Gua juga sudah malas. Gua harus mencari alasan untuk mengakhiri pembicaraan ini.' pikir Madan. Mulai terbesit niatnya untuk mengakhiri pembicarannya dengan Atika.
Madan terus diam sambil memikirkan alasan yang harus dikatakannya kepada Atika untuk mengakhiri panggilan itu. Hingga pada akhirnya,
Tuut!
Madan langsung mematikan panggilan dari Atika.
"Huh. Leganya!" ucap Madan sambil menghela nafasnya.
'Dia pasti bertanya tanya kenapa gua tiba-tiba mematikan telfonnya kan?'
Sambil mengetik pesan, Madan bergumam sendiri, "Gua bilang saja, karena keluargaku mulai berkumpul. Dan gua tidak ingin mereka mendengar pembicaraan kita! Ihihihi" ujar Madan berbicara sendiri sambil mengetik pesannya untuk Atika.
"Kirim!" ucap Madan.
Setidaknya, Madan mendapatkan bukti mengapa dirinya harus takut untuk bertemu dengan Atika. Situasi seperti itu adalah situasi yang paling tak disenanginya. Entah tragedi apa yang akan diciptakan Atika untuk Madan, Madan sedang tidak ingin merasa takut.