Madan tahu bahwa dirinya tak bersalah. Tapi Madan menyalahkan dirinya sendiri karena sadar ia membuat masalah.
Ketika di jalan pulang bersama dengan Bima, Madan terus mengkhawatirkan tentang nasib dirinya setelah masalahnya dengan Adi.
Bima yang berada disamping madan mulai merasa tidak nyaman karena Madan hanya terdiam. Memikirkan sesuatu yang tidak diketahui Bima.
"Ada apa? Apa yang sedang lo pikirkan?" tanya Bima mulai cemas.
"Tidak ada!" jawab Madan. Ia mulai sadar akan situasinya. Dengan cepat Madan langsung mengontrol ekspresinya dan bersikap layaknya tak ada yang terjadi.
Madan sendiri adalah orang yang tidak ingin selalu diperhatikan oleh sekitarnya. Meskipun pada umumnya, manusia juga butuh perhatian. Namun, ketika hal kecil pada dirinya terus diperhatikan orang lain, Madan justru merasa tidak nyaman. Hal itu juga menjadi alasan mengapa Madan sangat meledak ledak ketika Adi bercanda seperti itu.
"Bim? Pada saat itu, apa ada guru yang melihat?" tanya Madan.
Bima mulai menyusun kata-katanya, 'Gua yakin, Madan pasti akan cemas jika tahu bahwa ada guru yang melihat kejadian itu. Ia selalu menyelesaikan masalah di waktu yang salah!' ujar Bima dalam hatinya.
Bima sendiri tidak merasa begitu yakin dengan jawabannya, "Sepertinya tidak ada!" jawabnya.
Tetapi, jika ada guru yang melihat mereka, pasti gurunya pun akan segera menghentikan perkelahian itu.
"Sejujurnya, gua tidak begitu memperhatikan. Tapi, rasanya mustahil jika memang ada guru yang melihat!" kata Bima. Penjelasan Bima semata-mata hanya berusaha meyakinkan dirinya dan juga Madan.
"Betul juga!" respon Madan terdengar mulai tenang.
Jawaban Bima berhasil membuat Madan puas. Madan merasa bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi untuk saat ini. Ia hanya tetap harus memperbaiki dirinya dan menjaga caranya bersosialisasi di sekolah.
Di sela-sela pemikirannya yang penuh dengan rasa bersalah, Madan mulai memikirkan kawan-kawannya yang baik. Mereka adalah Musa dan Wahyu.
Musa sendiri adalah orang yang tidak pernah mendapatkan masalah. Ia tidak cupu dan juga pemberani. Pintar dan rajin ibadah. Semua yang ada didalam dirinya patut di rasa iri oleh orang lain.
Mengingat Musa, membuat Madan juga merasa iri, 'Harusnya, gua sama seperti Musa. Gua harus menjadi orang yang baik sepertinya!' pikirnya. Menjadikan Musa sebagai patokan.
Sementara Wahyu, Madan sendiri sering berbicara dengannya. Madan tahu bahwa Wahyu bukanlah anak yang sepenuhnya baik. Namun, ketika berada di sekolah Wahyu benar-benar menjaga sikap dan sifatnya.
Wahyu sendiri tergolong rajin dan dipercaya Madan sebagai orang yang serius dengan pendidikannya. Namun diluar sekolah, Madan tidak tahu apa yang menjadi kebiasaan Wahyu yang dilakukannya. Namun Madan merasa yakin, dibandingkan dengan Atala, Wahyu telah tenggelam di dunia kenakalan lebih dulu daripadanya.
Hari Senin adalah hari yang paling dibenci oleh para pelajar. Selain karena upacara yang membuat tubuh terasa lelah. Suasana pada hari Senin seakan menandakan sebagai suasana yang penuh dengan rasa semangat.
Sehingga, guru-guru yang mereka hadapi pada hari Senin tampak begitu bertenaga dan semangat dalam memberikan mereka tugas.
Madan tidak berbeda dengan pelajar lainnya. Tidak munafik, dan bisa merasakan betapa begitu mengintimidasinya hari Senin. Sehingga, disepanjang pelajaran Madan sering sekali mengeluh, 'Kenapa rasanya lama sekali? Kenapa bel itu tidak berbunyi? Kenapa mata pelajarannya banyak sekali?' tanya Madan dalam hatinya. Menumpu dagu diatas meja dengan wajah yang tak nyaman.
Banyak materi yang terlewatkan oleh Madan karena pikirannya yang telah berkeliling.
Tiba-tiba saja, Bima menegur Madan dari belakang, "Oi! Lihat jawabannya!"
Madan menoleh ke arah Bima dengan wajah heran, 'Bagaimana bisa orang sepertinya justru lebih rajin? Tidak boleh! Gua tidak bisa terus bermalas-malasan seperti ini!' ujar Madan dalam hatinya. Semangatnya tiba-tiba saja bergejolak.
Melihat Bima yang tengah memegang pulpen dengan buku yang terbuka, Madan merasa bahwa Bima mulai melampauinya.
"Oh? Yang itu ya! Sebentar! Sedikit lagi selesai!" ucap Madan berbohong. Ia langsung menarik bukunya dan mengerjakan tugas di papan tulis.
Orang-orang yang tidak pernah disangka Madan bisa menjadi lebih rajin. Sekarang Madan baru dapat membuka matanya dan melihat sendiri dunia luar. Bahwa, mereka yang dilihat Madan sebagai orang-orang yang terlihat malas, justru bisa membalikkan keadaan dan membuat Madan menyesal sendiri nantinya.
Rafi adalah teman yang sempat satu kelas dengan Madan pada saat masa pengenalan lingkungan sekolah. Itu hanya berlangsung selama beberapa hari. Namun Madan menarik kesimpulan terlalu cepat.
Hanya karena cara berbicara Rafi yang terlihat selalu berani dan tampilannya yang sangar, membuat Madan mengatakan bahwa Rafi akan menjadi bibit anak nakal.
Namun sekarang, Rafi sendiri terlihat lebih serius dengan pendidikannya dari pada Madan. Meskipun badannya yang bagus membuat Rafi tak segan untuk berbuat kasar kepada kawannya yang lain. Sehingga, beberapa dari mereka menganggap bahwa Rafi tidak ada bedanya dengan Kiel dan kawan-kawannya.
Madan sampai dirumahnya. Melepas pakaiannya sambil terus mengeluh, 'Padahal, langit di siang hari terlihat tidak begitu terang. Tetapi, entah mengapa rasanya hari ini sangat panas. Apa ini karena ulahnya si Senin?'
Perasaan yang terlalu benci dengan hari Senin membuat Madan terkesan tidak waras.
Hari yang melelahkan membuat Madan hanya melepas pakaiannya dan meletakkan tasnya di depan lemarinya saja.
Ia mengambil ponselnya dan segera berbaring diatas kasurnya sambil memeluk gulingnya.
"Haah. Ini adalah posisi ter nyaman!" ucap Madan sambil menghela nafas lelahnya.
Madan sempat menyimpan banyak rencana di dalam kepalanya untuk menonton berbagai konten video pada suatu platform besar.
Sebelum itu, Madan juga sempat merespon pesan dari Acha yang selalu memberikannya pertanyaan tentang Atala. Madan tidak merasa terganggu. Dengan senang hati Madan menanggapi Acha yang peduli dengan temannya.
'Sepertinya, ini menarik untuk gua tonton?' pikir Madan. Salah satu konten menarik perhatiannya.
Ketika Madan tengah menyaksikan video yang disukainya, tidak ada yang dapat mengganggunya. Selain sebuah perintah dari orang tuanya.
Namun, kali ini sepertinya berbeda. Beberapa notif yang menyerang ponselnya membuat Madan penasaran untuk membukanya.
Madan merasa cukup terganggu, "Ck. Siapa sih ini? Berisik sek," ucapnya belum selesai mneggerutu.
Didapatinya notifikasi pesan dari Atika yang Madan masih belum tahu alasan Atika menghubunginya.
'Atika? Kenapa dia mengirim pesan sebanyak ini?' Madan semakin penasaran untuk melihat ruang obrolan mereka.
Perasaan bingung cukup besar. Sehingga Madan hanya terus menatap layar ponselnya pada bagian daftar obrolannya saja. Madan sempat merasa ragu untuk membukanya. Mengingat, mereka berdua telah lama tak saling berbicara. Entah itu secara langsung ataupun hanya melalui ponsel.
Sebelumnya, Madan mengira bahwa urusannya dengan Atika benar-benar selesai. Madan juga bisa menerimanya dengan baik tanpa sebuah masalah.
Tetapi, apa yang terjadi saat ini berhasil membuat Madan tidak berhenti terkejut.
"Apa?" Secara spontan, Madan berteriak di dalam kamarnya.
Bagaimana tidak? Atika yang sebelumnya menolak Madan dengan kata-kata yang sulit dimengerti Madan, kini dirinya justru memberikan pernyataan bahwa ia bersedia menerima Madan menjadi pacarnya. Madan sempat kebingungan. Apakah kasus seperti ini bisa terjadi?
Madan langsung berdiri di atas kasurnya, "Dia menerima gua? Kenapa? Lalu untuk apa dia menolak gua kemairn?"
Rasa senangnya kalah besar dengan rasa bingung. Lagipula, Madan juga terlanjur beradaptasi dengan tanpa kehadiran Atika.
"Sebenarnya ini apa?" tanya Madan tidak berhenti berbicara sendiri.
'Jujur dari dalam hati ini, gua tidak ingin lagi berurusan seperti ini. Tapi, kenapa dia datang lagi? Apa sebenarnya yang gua rasakan? Gua merasa senang. Tapi, seakan gua juga tidak siap!' pikir Madan.
Masalah Madan justru bertambah. Pesan dari Atika membuat tangan Madan bergetar hingga tak mampu menjawab.
'Apa gua harus beri tahu Bima? Ini juga kesempatan yang besar! Tidak bisa gua sia-siakan begitu saja!' Rasanya, Madan ingin menyerahkan semuanya kepada Bima begitu saja.
Madan tidak mengerti alasan Atika tiba-tiba saja menerimanya. Padahal, Atika telah mengirim banyak balon pesan yang berisi penjelasan perasaannya terhadap Madan dengan sangat panjang.
Sampai pada akhirnya, ketika Madan kembali membaca ulang pesan dari Atika dengan lebih fokus, Madan mulai mendapatkan poinnya.
'Hm? Katanya, penolakannya bukanlah yang sebenarnya. Dia hanya ingin melihat gua berjuang lebih dulu sebelum akhirnya menjalin hubungan ini dengannya? Apa? Bukankah ini berlebihan? Maksud gua, lihatlah umur kita! Ini masih waktunya untuk bermain-main!'
Namun, melihat kalimat dari Atika yang mengatakan bahwa dirinya punya perasaan yang sama dengan Madan membuat Madan melupakan kebingungannya. Tenggelam dalam rasa senangnya.
'Ah sialan! Dia juga suka gua? Ini tidak bisa. Aaa!' Madan kembali terbaring lemas di atas kasurnya.
Meski sebelumnya Madan memperdebatkan banyak hal tentang situasi ini, namun akhirnya Madan pun memaafkan Atika dan mulai menjalin hubungan dengannya.
"Berarti, sekarang kita sudah pacaran ya?" gumam Madan. Ia mulai berhalusinasi.
Madan sempat mengabaikan pesan dari Atika ketika dirinya tenggelam dalam perasaan yang bercampur aduk.
"Ah, gua harus beri tahu Bima!" ucap Madan kembali membuka ponselnya.
Dilihatnya banyak pesan dari Atika yang menumpuk. Membuat Madan semakin tidak percaya bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Namun Madan tetap mengabaikan Atika untuk sementara dan memilih untuk memamerkan hubungannya dengan Atika.
"Hahaha. Mampus! Kemarin, lo mengolok gua kan? Sekarang, lihatlah sendiri!" ujar Madan sambil membanggakan dirinya sendiri. Berbicara dengan ponselnya seakan ponselnya adalah Bima.
Seharusnya, pada saat itu Madan memikirkan kembali tentang perasaannya. Memastikan kembali, apakah perasaannya kepada Atika bisa disebut sebagai cinta? Atau hanya sekedar rasa senang yang berlebihan karena mendapatkan timbal balik dari perempuan yang membuat mimpi malamnya terasa begitu indah.
'Ah. Jadi, kalau nanti gua bertemu dengannya di sekolah, gua harus bagaimana? Apa topik pembicaraan yang harus gua bicarakan kepadanya agar gua bisa menjalin hubungan ini dengan seru?'
Di umurnya yang masih bocah Madan juga menyadari tentang rasa canggung, rasa tidak enak ataupun rasa malu. Semuanya dapat dirasakan Madan dan pernah membuat Madan takut untuk berpacaran.
Ting!
Pesan dari Bima masuk, "Hm? Bima sudah membalasnya?" Madan menghentikan obrolannya dengan Atika sementara. Memilih untuk merespon Bima yang menanggapinya.
"Hahaha." Madan terus tertawa melihat layar ponselnya.
Madan mulai mendapati perbedaan yang ada pada hidupnya. Madan selalu mengatakan kepada dirinya bahwa kehadirannya harus memiliki dampak yang baik untuk orang yang disayanginya.
Madan pun merusaha untuk menjaga Atika agar tidak terpengaruh dengan sisi buruk yang ada pada dirinya.
Namun, itu justru membuat Madan banyak menahan yang ada di dalam dirinya. Madan mengabaikannya karena merasa bahwa ini hanyalah masalah sepele.
'Yah. Lagipula kita ini masih anak-anak. Memikirkan hal terlalu jauh hanya membuat gua merasa aneh!' kata Madan dalam hatinya.
Madan pun memilih untuk mengabaikan pemikiran kritisnya. Terus menegaskan kepada dirinya bahwa Madan bukanlah orang dewasa.
Sebagai seorang teman, Bima merasa cukup senang dengan Madan yang pada akhirnya berhasil mendapatkan apa yang dikejarnya. Bima sempat merasa iri dan memiliki niatan untuk mencari perempuan. Lantas, apakah Bima akan menuruti perasaannya itu?