Madan pun mulai menaiki tangga untuk segera sampai di kelasnya. Perasaan risihnya membuat Madan ingin segera sampai di kelasnya.
Untungnya, Madan mengenakan kaus putihnya sebagai dalamannya. Sehingga, Madan bisa melepaskan seragam putihnya sementara. Meskipun kaus dalamnya juga terkena sedikit noda.
Ketika sampai di kelasnya, Madan langsung melepas seragamnya dan meletakkannya di atas kursinya.
"Sialan! Ini akan sulit di hilangkan!" keluh Madan.
"Bisa. Di cuci saja akan hilang!" Jawaban Bima cukup membuat Madan sedikit tenang, "Hanya saja, mungkin setelah tiga kali mencuci, lo baru akan melihat perubahannya!" kata Bima.
Ketika suasana hati sedang tidak enak, Madan tidak pernah kehilangan teman yang selalu membuat suasana hatinya semakin tidak enak.
"Itu tidak akan hilang lho Dan. Wayolo!" disaat saat yang genting seperti ini, Jonathan masih sempat bercanda.
"Kalau mau hilang, lebih baik buang saja! Hahaha." Martinus mulai mengeluarkan lelucon di waktu yang tidak tepat.
Madan tidak habis pikir dengan mereka yang masih sempat bercanda diatas penderitaannya.
"Lebih baik kalian diam! Kalian tidak berguna!" Madan mengatakannya sambil tersenyum. Emosinya membuat Madan tidak sadar bahwa dirinya telah menyakiti perasaan mereka dengan kata-katanya.
Madan menunggu Adi di dalam kelasnya cukup lama. Duduk di atas kursi yang menghadap ke luar kelasnya yang terbuka lebar. Kiel dan kawanannya sedang tidak ada di dalam kelasnya. Entah apa yang mereka lakukan di bawah sana. Mereka memang sering telat masuk.
Di depan kelasnya, Madan mulai melihat Adi yang tengah bersandar di balkon sambil menonton bola basket. Tidak biasanya Adi berdiri disana. Membuat Madan merasa yakin bahwa Adi berusaha menghindarinya.
"Itu dia!" ucap Madan berniat sambil menunjuk Adi.
Madan bingung dengan Adi yang hanya diam di luar kelasnya, 'Kenapa dia berdiri di tidak masuk?' tanya Madan dalam hatinya.
Madan pun keluar dari kelasnya. Berdiri di pintu kelasnya dan sebisa mungkin tidak mendapatkan perhatian dari siapapun disekitarnya.
"Di!" Madan memanggil Adi dengan suara yang tidak begitu keras.
Namun Adi tidak menoleh ke arahnya. Berpura-pura tertawa dengan teman disampingnya. Bahkan, teman bicara Adi pun menyadari suara Madan.
Madan pun berjalan menghampiri Adi. Ia pun melawan rasa khawatirnya untuk sementara.
Ketika Madan berhasil mendapatkan perhatian dari Adi, "Hei! Tanggung jawab!"
Adi masih enggan mengakui kesalahannya. Ia lebih memilih berdebat dengan Madan. Hal itu membuat Madan merasa semakin kesal dengan Adi. Adi tampak begitu ngotot dan tidak mengakui kesalahannya. Membuat Madan tidak tahan dengannya.
"Yasudah kalau begitu, masuk ke dalam kelas dulu! Kita bicarakan di dalam!" Madan menyembunyikan wajah marahnya sesaat demi membuat Adi masuk ke dalam kelas. Madan tidak mau pertengkarannya dilihat murid lain.
Madan langsung membawa Adi ke pojok belakang kelasnya. Menempelkan tubuh Adi ke tembok di belakangnya.
"Gua tidak terima dengan bercandaan lo. Dan lo harus bertanggung jawab!" ketus Madan.
"Loh, gua tidak salah! Lo juga membalas gua!" Adi bersikeras mempertahankan argumennya. Perkataannya terus berputar sampai disana.
Mereka dapat melihat jelas bahwa Adi tak memiliki jawaban lain.
Madan mulai mencekik leher Adi. Meski terpojok, Adi masih terus memberontak dari Madan.
"Itu karena lo yang memulai! Gua tidak akan membalas jika lo tidak memulainya!" teriak Madan di depan wajah Adi.
Adi yang terasa merasa terintimidasi membuat jawaban yang berputar. Tak mau kalah berdebat karena sadar bahwa yang memperhatikan mereka semakin ramai.
Sementara Madan telah dikuasai emosinya. Hingga, Madan tidak sadar akan hal itu.
Dibelakang Madan, telah berdiri Kiel dan kawan-kawannya yang menyoraki mereka agar Madan segera memukul Adi.
"Pukul Dan! Pukul!" teriak Kiel. Ia menjadi penonton yang paling bersemangat.
Seperti perkelahian antara Madan dan Atala sebelumnya, orang yang mengundang para penonton berdatangan adalah teman Madan sendiri. Dibandingkan memisahkannya dan mencegah Madan dari berbagai kasus yang mengancam, mereka memilih untuk menyaksikan aksi pertarungan gratis di dalam kelasnya sendiri.
Sementara Madan, dirinya tidak suka menjadi pusat perhatian dari aksi bodohnya sendiri. Bertarung di depan mereka adalah hal yang memalukan.
Madan menoleh ke berbagai sisi. Dilihatnya banyak orang yang tengah bersorak, 'Apa apaan ini? Kenapa tiba-tiba saja banyak orang?' Tak lepas anak kelas tiga yang ikut menontonnya melalui jendela, 'Bahkan, ada kakak kelas juga?' bisiknya dalam kepala.
Perkelahian antara Madan dan Adi mendapat sorakan dari mereka yang menyaksikannya. Mereka tidak mendukung siapapun. Hanya saja, mereka lebih tertarik untuk membuat keduanya semakin panas. Sehingga, pertarungan yang menakjubkan akan segera terjadi.
Madan tidak mendapatkan jawaban atas cara mereka sadar akan adanya perkelahian saat ini, 'Gua tidak suka situasi seperti ini! Kenapa mereka harus datang ke sini? Siapa yang memberi tahu mereka semua?'
Madan mulai melepaskan tangannya dari kerah Adi. Merasa bahwa dirinya tidak bisa menyelesaikannya sekarang.
Madan membalikkan badannya dan berusaha kembali ke tempat duduknya. Madan harus melewati Kiel yang sebelumnya sangat menunggu pertarungan itu terjadi.
Kiel tidak putus asa membuat Madan kembali panas agar pertarungan kembali dilanjutkan, "Dan? Ayo pukul! Kenapa berhenti? Yah, cupu! Madan cupu! Cepatlah pukul!" kata Kiel.
"Gak! Malas!" balas Madan.
"Bilang saja cupu!" Atala juga ikut membuat Madan panas. Semua itu mereka lakukan demi membuat Madan melanjutkan perkelahiannya.
Namun, Madan sudah hafal dengan sifat mereka. Madan tidak perlu menanggapi mereka. Karena, ketika mereka dihadapkan di situasi yang sama, temannya pun tidak akan berubah menjadi setan yang hanya membuat panas.
Pertarungan pun tidak terjadi. Madan berhasil mengabaikan cacian mereka yang sebenarnya membuatnya cukup panas. Tapi Madan sadar bahwa ini hanyalah trik mereka. Perlahan, mereka pun mulai membubarkan dirinya dari tempat tersebut.
"Yaah. Tidak jadi bertarung ternyata?"
"Ah cupu!"
"Cemen!"
"Balas Di!"
"Cepat pukul Madan!"
"Jangan diam saja!"
Sorakan mereka masih terus terdengar di telinga Madan yang sudah menjauh dari Adi.
"Ngapain? Malas sekali!" Adi juga tidak menanggapi sorakan mereka yang berusaha membuatnya panas.
Madan pun kembali ke tempat duduknya. Di dekatnya, ada Bima yang menyaksikannya dari tempat yang cukup jauh.
"Apa lo tidak sadar? Bahkan, Dina dan Catlin sudah meneriaki lo dari jauh!" tanya Bima.
Bahkan, pada saat itu sorakan mereka juga tidak disadari Madan.
Madan yang tengah mencengkram kerah Adi, isi kepalanya disibukkan dengan berbagai cara agar dirinya dapat memahami apa yang sebenarnya berusaha Adi bela dari kesalahannya. Karena, Madan dapat melihat bahwa Adi sendiri terlihat begitu keras kepala tidak ingin mengakui kesalahannya.
"Oh iya kah?" respon Madan.
Madan sendiri masih sibuk dengan urusan noda di seragamnya. Entah apa yang akan dilakukannya untuk saat ini, Madan hanya bisa meminimalisir noda yang ada pada seragamnya tersebut.
"Iyaa!" jawab Bima.
"Gua tidak mendengarnya!" balas Madan.
"Dasar tuli!" kata Bima berusaha mencairkan suasana.
Setelah pertengkaran yang membuat situasi panas, pastinya akan menjadi sesuatu yang sulit bagi Bima untuk memulai obrolannya dengan Madan. Maka dari itu, Bima selalu berusaha bercanda dengan Madan meski waktunya salah.