Hari Jumat berhasil dilewati Madan tanpa sebuah masalah. Madan juga tidak mendapati perasaan yang tidak enak yang mengganggunya. Sehingga, hari hari Madan terasa seperti biasanya.
Bima juga menyadari itu. Madan terlihat seakan dirinya tidak ada masalah. Padahal, Bima tahu sendiri usaha Madan untuk membuat Atika menjadi miliknya telah gagal.
Bahkan, ketika mereka tengah jalan ke arah pulang pun Bima masih tak percaya bahwa Madan baik-baik saja, 'Ada apa sebenarnya dengan Madan? Apa dia berusaha menyembunyikan semuanya? Atau dia memang tidak merasa se rapuh yang gua bayangkan?' tanya Bima dalam hatinya.
Madan sampai di rumahnya dengan pakaian yang cukup lepek karena keringat yang membasahi tubuhnya.
"Panas sekali hari ini," gumam Madan.
Madan membuka bajunya. Membiarkan tubuhnya di hembuskan oleh angin dari kipas yang ada di kamarnya.
Sambil merembahkan tubuhnya, Madan membuka ponselnya. Membaca ulang ruang obrolannya dengan Atika.
'Padahal baru sehari. Tapi, kenapa rasanya mulai sepi?' ujar Madan dalam hatinya.
Hal yang paling sering dirasakan Madan ketika kehilangan seseorang hanyalah kesepian.
Ketika Madan telah berhasil terbiasa dengan kesepiannya, mungkin Madan akan merasa cukup enggan untuk mendekati perempuan. Namun justru sebaliknya. Madan seringkali mencari orang yang tak pasti untuk didapatinya dan memaksakan dirinya mendapatkan apa yang diinginkannya hanya karena rasa sepi.
'Sudahlah! Lagipula, gua juga sadar cinta ini hanyalah permainan cinta anak kecil saja. Orang lain yang akan mendengar cerita ini juga akan tertawa!' kata Madan dalam hatinya,
Madan mulai tertidur hingga sore. Terbangun dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Karena alarm yang di pasang dengan waktu yang begitu dekat dengan mulainya les.
"Gua sudah telat. Harus berangkat!" Madan mencari ponselnya. Mengepak barang barangnya.
Setelah membereskan tasnya, Madan pun langsung berangkat ke tempat lesnya. Memastikan bahwa dirinya tidak telat berangkat ke tempat les.
Tidak ada yang spesial di hari Jumatnya. Madan sendiri tidak merasa ada yang berbeda di hari-hari yang telah dilewatinya. Seakan semua yang terjadi kepadanya tidak membuatnya bisa langsung mengingatnya dengan sangat tajam.
Hanya saja, Madan ingin mereka tahu apa yang dirasakan dirinya ketika kehilangan seseorang yang biasa bersama. Meskipun orang itu hanyalah teman.
Sekarang adalah hari Selasa. Seperti yang diketahui sebelumnya, bahwa hubungan antara Madan dan Atala telah renggang karena kejadian sebelumnya. Mereka berkelahi karena alasan sepele jika orang lain mendengarnya.
Meski begitu, Madan dan Atala masih saling berkomunikasi. Meski banyak perubahan, namun Madan tidak merasa kehilangan Atala. Madan masih bisa saling bercerita dengan Atala seperti sebelumnya. Atala sendiri juga sering meminta bantuan kepada Madan terkait hubungannya dengan Acha.
Di dalam kelasnya di tengah pelajaran, Madan yang pada awalnya duduk di depan pun berjalan ke bangku belakang. Tempat Kiel, Atala dan kawan-kawan Kiel berkumpul.
"Dan. Coba gua liat tugas! Apa yang baru saja disuruh sama guru itu?" tanya Kiel. Melihat kedatangan Madan, rasanya gatal bagi Kiel untuk mengintimidasi Madan.
"Tuh!" Madan yang sedang dipenuhi rasa kantuk langsung memberikan bukunya yang kosong.
Setelah melihat buku Madan yang kosong, "Sialan lo! Songong sekarang?" Kiel langsung menatap Madan dengan wajah yang cukup marah.
Sementara Madan hanya menyengir. Madan merasa bahwa dirinya juga bisa bercanda dengan mereka.
"Hahaha. Gua belum mengerjakan apapun!" jawab Madan.
Madan duduk bersebrangan dengan Atala. Atala mulai berbicara dengannya.
"Dan," panggil Atala.
"Oi!" saut Madan. Ia kelelahan dan meletakkan kepalanya di atas meja.
"Tunggu sebentar!" Atala ingin memberikan sesuatu kepada Madan.
Dilihatnya Atala yang tengah menggeser layar ponselnya dengan raut wajah yang cukup serius.
"Apa lu masih berpacaran dengan Acha?" tanya Madan mengisi kekosongan.
"Masih! Kenapa? Kalau mau ya ambil saja!"
"Oke!" tanggap Madan tidak serius.
"Sialan!"
Atala lanjut menggeser layar ponselnya. Berusaha memperlihatkan Madan obrolannya dengan Acha yang akan menjadi topik prebincangan mereka saat ini.
"Hahaha. Kenapa?" tanya Madan telah menunggu Atala cukup lama.
"Bagaimana caranya membujuk perempuan ini? Dia mengira kalau gua melakukan sesuatu yang aneh aneh." Atala menyodorkan ponselnya di depan wajah Madan.
"Kalau begitu, jelaskan saja kepadanya!" jawab Madan dengan mudahnya,
"Sudah! Tapi, dia justru tidak menanggapi gua lagi!" Atala mulai bercerita kepada Madan.
"Bukannya perempuan seperti itu sudah tidak penting lagi? Ketika lu tidak di dengarkan olehnya, maka apa artinya lu dimata dia?" ujar Madan.
Madan bebicara layaknya tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini. Rasa kantuknya membuat Madan tidak bisa berpikir jernih bagaimana caranya me respon lawan bicara yang tengah terpuruk karena hal cinta.
"Berbicara saja memang mudah. Coba saja jika lu berada di posisi gua!" Atala mulai menyoraki Madan. Suara kerasnya mulai membuat Madan merasa tidak nyaman.
"Yasudah kalau begitu! Jangan minta pendapat gua!" Madan pun menyudahi pembicaraannya dengan Atala.
Itu adalah salah satu alasan mengapa Madan dan Atala tidak ingin kembali memulai obrolan bersama. Tidak ada satu dari mereka yang ingin mengalah. Setelah perkelahian pada saat itu, Madan dan Atala tidak lagi merasa mudah untuk saling berbicara. Mereka tahu bahwa keduanya mudah terpancing satu sama lain.
Madan ketiduran di dalam kelasnya. Tiba tiba saja bel istirahat berbunyi. Madan langsung pergi keluar kelasnya. Ia lupa mengajak Bima yang pada saat itu tempat duduknya berada cukup jauh darinya.
"Oi, Madan! Mau kemana?" Bima berteriak di tempat duduknya paling belakang.
Bima dikelilingi dengan Jonathan, Kevin, Wahyu, Martinus dan teman teman lainnya. Namun anehnya Madan tidak menyadari mereka.
'Ada apa dengan gua? Sampai tidak se fokus ini?' Madan mengusap usap wajahnya.
"Gua mau ke kantin! Ayo ikut!" Madan langsung mengajak mereka.
"Tunggu sebentar!" Bima mulai bergegas menghampiri Madan. Begitu juga dengan temannya yang lain.
Adi lewat menghampiri dan ingin keluar kelasnya.
"Awas!" Adi sengaja menyentuh bahu Madan dengan cukup keras. Namun Madan paham bahwa Adi hanya bercanda.
Telah menjadi ciri khas Adi, bahwa dirinya selalu memperlihatkan wajah yang serius meski tengah bercanda. Hal itu membuat orang lain tak paham apa yang sebenarnya terjadi dengan Adi. Jika orang itu bukanlah Madan, maka pertengkaran sudah terjadi.
"Sialan! Gua sedang mengantuk, bodoh!" Madan tak sedang tak mau bercanda.
"Hahaha." Adi tertawa sambil berjalan ke lantai bawah.
Adi sendiri memiliki kesibukannya ketika istirahat. Dibandingkan menghabiskan waktunya dengan Madan dan teman teman kelasnya yang lain, Adi memilih untuk bermain bola basket di lapangan yang juga telah menjadi salah satu hobinya.
Tidak ada yang berbeda yang dilakukan Madan di kantin. Selain membeli nasi kuning dengan segelas es mangga. Harga yang terjangkau dan rasa yang enak membuat Madan tidak bisa berpaling dari menu tersebut.
"Ayo balik!" ajak Madan sambil menungu kawannya selesai.
Ketika mereka selesai, kawan-kawannya pun mulai berjalan meninggalkan kantin. Sementara Madan, dirinya masih sibuk dengan urusan yang tidak diketahui kawan kawannya.
Sekarang, Madan berjalan jauh dibelakang mereka. Sempat berpapasan dengan Adi yang memegang gorengan diatas tangannya.
Madan bercanda dengan Adi. Mereka berdua terlalu dekat, hingga Adi merasa bahwa dirinya bisa seenaknya mengeluarkan candaannya kepada Madan.
"Wah sialan!" kata Madan menerima lemparan dari sepotong kecil gorengan yang Adi pegang.
Madan membalas Adi dengan barang kecil yang ada di sekitarnya. Mereka bercanda di tengah tengah kantin yang masih begitu ramai.
Sampai pada akhirnya, Adi yang tidak mau kalah mulai melempar satu gorengan yang penuh dengan sambal ke baju Madan.
Pluk!
Gorengan itu melesat ke baju Madan. Sambalnya mengotori seragamnya.
"Hah?" Madan melihat ke seragamnya.
Ada rasa bersalah di dalam hati Adi. Namun, Adi memilih untuk tetap santai karena dirinya tahu bahwa mereka berdua tengah di saksikan banyaknya murid.
"Adi? Sini!" Madan meminta Adi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Suaranya masih terdengar santai.
Namun dimata Madan, seakan Adi menganggap bahwa dirinya bercanda.
"Hehehe. Abis lo duluan sih!" balas Adi. Bertingkah layaknya korban.
Jelas sekali bahwa Adi yang memulai candaan itu.
"Cepat ke sini dan tanggung jawab, Di!" Madan berbicara pelan. Wajahnya tampak sedang menahan amarah.
Namun Madan tidak pernah menyangka, bahwa ternyata Adi memilih untuk lari dan kabur dari masalah yang telah diperbuatnya.
'Sialan! Gua jadi pusat perhatian,' kata Madan dalam hatinya. Juga mulai kesal dengan lingkungan sekitar yang terus melihatnya.
Tidak ada alasan lagi untuk Madan berada di kantin. Madan paham bahwa ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Seragamnya sudah terlanjur ternodai.
'Tunggu gua diatas! Sialan!' ucap Madan dalam hatinya.
Madan pun mulai berjalan keluar dari kantinnya. Menyusul kawan-kawannya dari belakang.
"Dan? Kenapa? Ko ada merah di baju lo?" tanya Jonathan memperhatikan Madan dengan ekspresinya yang histeris.
"Siapa lagi kalau bukan anak jail itu?" balas Madan masih dengan wajahnya yang tenang. Rasa emosi tidak bisa dieskpresikannya saat ini.
"Atala?" tanya Bima.
"Adi!" jawab Madan cukup kesal.
Madan juga merasa tidak nyaman ketika temannya terus mempertanyakan masalahnya saat ini. Seringkali Jonathan membuat situasi menjadi panas.
"Kalau gua jadi lo, gua akan langsung menghajarnya di tempat itu juga!" bual Jonathan.
Madan tahu siapa Jonathan sebenarnya. Jangankan Adi, orang yang lebih kecil dari Adi pun tidak akan berani Jonathan balas. Meskipun badannya besar. Sehingga, Madan tidak akan termakan omongan Jonathan.