Pada awalnya, Bima yang mendengar jawaban Madan meremehkannya. Mengira bahwa Madan hanya sekadar membual.
Sampai pada akhirnya, ketika Bima menoleh kembali ke depan. Bima menyadari bahwa mereka berdua akan berpapasan dengan Atika dan salah satu kawannya.
Bima langsung mendekati mulutnya ke telinga Madan, "Tunggu? Atika ada disana. Apa maksudnya lo ingin memberikannya sekarang?"
Madan tidak menjawab pertanyaan Bima. Terlihat begitu jelas bahwa Madan begitu fokus menatap Atika.
Ternyata, sebelum Madan menjawab pertanyaan Bima, Madan telah melihat sendiri Atika tidak jauh darinya.
Madan tidak memiliki keberanian sepenuhnya. Dibalik raut wajah yang serius, Madan terus memastikan bahwa dirinya telah siap.
'Apa gua sungguh akan melakukannya sekarang?' tanya Madan dalam hatinya.
Seiring kaki yang terus melangkah, Atika dan Madan saling berdekatan. Atika sendiri bisa melihat Madan. Tapi Atika bersikap seperti tidak ada yang terjadi.
Madan menenangkan hatinya dengan, 'Oke! Gua sudah yakin! Gua hanya perlu memberikannya saja kok!'
Madan pun mulai melangkahkan kakinya sedikit ke samping. Berusaha mendekati Atika yang akan pergi ke arah masjid.
"Atika!" panggil Madan.
Ini kali pertama mereka saling berbicara di sekolah.
"Ya? Ada apa Madan?" saut Atika. Wajahnya terlihta tak begitu terkejut dengan kehadiran Madan.
'Sialan! Dia terlihat sangat santai.' Madan terus memperhatikan raut wajah Atika.
"Tidak ada! Gua hanya ingin memberikan ini!" ujar Madan sambil menyodorkan coklat dengan surat dibawahnya.
Madan sengaja membuat suratnya tak terjangkau mata. Madan tidak ingin orang lain ataupun Atika menyadari apa yang tengah dilakukannya saat ini.
"Ini apa? Coklat?" tanya Atika.
"Iya! O-oh. Itu di bawahnya ada suratnya. Tapi, jangan dibaca sekarang! Lebih baik dibaca setelah pulang sekolah!"
"Ohh. Oke kalau begitu! Makasih ya!"
Madan tidak tahan berada di tempat ini lama-lama. Ia ingin segera pergi meninggalkan Atika agar tidak ada orang yang melihat apa yang baru saja dilakukannya.
'Bagus! Gua harus segera pergi dari tempat!' gumam Madan dalam hatinya.
"Iya sama-sama!" jawab Madan langsung kembali berjalan. Kali ini Madan berjalan lebih cepat daripada biasanya.
Bima yang melihat sendiri apa yang dilakukan mereka berdua barusan, tentunya Bima merasa gatal jika dirinya diam saja.
"Cieee!" Bima mulai menggoda.
"Apasih!" Atika tidak bisa terus menutupi senyumnya.
'Anak itu kenapa terburu buru sekali sih?' Bima terhibur dengan aksinya sendiri.
Mereka sampai di dalam kelas. Madan langsung duduk diatas kursinya. Bersandar dengan tubuh yang cukup lelah. Padahal, Madan hanya memakan waktu selama beberapa detik untuk menyatakan perasaannya.
"Woi Madan! Sialan! Kenapa meninggalkan gua?" Bima berteriak kepada Madan yang dilihatnya sudah terduduk di kursi.
Madan tidak ingin kawan-kawannya tahu apa yang baru saja mereka lakukan di bawah.
"Sstt." Dengan ekspresi wajah yang begitu cemas, Madan meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya. Memberi isyarat kepada Bima bahwa ia tidak bisa berisik di dalam kelas.
Bima pun mendekati Madan dan duduk di sampingnya.
"Hei! Jangan berisik! Gua sengaja meninggalkan lo, karena gua tidak ingin membahasnya di sana!" kata Madan dengan suara kecil
"Lalu, sekarang bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Apa lu hanya akan duduk diam disini? Berjuanglah lagi bodoh! Apa yang akan lu lakukan selanjutnya?"
"Ehehehe. Iya! Terus gua harus ngapain? Gua hanya harus menunggu jawaban dari Atika kan?" Madan menyengir.
Tampak dari wajanya, Madan merasa bahwa perkataan Bima benar. Ia tidak bisa berhenti sampai disini.
Tapi, Madan juga tidak paham apa yang harus dilakukannya lagi selanjutnya. Baginya, menyatakan perasaan setidaknya telah membuat dirinya merasa lebih lega daripada sebelumnya.
"Haduh. Apa perjuangan lu mendapatkannya hanya melalui obrolan ponsel? Lalu memberikannya coklat? Dan selesai? Ayolah Dan! Cukup banyak pria disekolah ini yang mengincarnya. Saingan lo bukan hanya satu orang!" Bima mulai menasihati Madan.
Namun, melihat wajah polos Madan saja sudah membuat Bima yakin bahwa Madan tidak akan menerima perkataan Bima.
"Gua juga membantunya mengerjakan tugas!" jawab Madan dengan polosnya.
Bima tidak habis pikir dengan jawaban polos Madan. Hingga membuat dirinya menepuk jidat, 'Sebenarnya bocah ini sudah pernah pacaran atau belum sih?' Bima mulai meragukan cerita Madan.
Tampak dari ekspresinya, Bima pun putus asa untuk membuat Madan paham dengan apa yang berusaha disampaikannya. Sekeras apapun Bima melakukannya, selagi dirinya tahu bahwa Madan adalah anak yang minim pengalaman soal perempuan, maka Bima tidak bisa berbuat lebih lagi.
"Yasudahlah kalau begitu! Ayo ke kantin!" ajak Bima .
"Ayo. Setelah itu temani gua solat!"
"Gua juga harus solat bodoh!"
"Biasanya lo menolak ajakan gua!"
Madan sendiri tidak hanya selalu berteman dengan Bima. Ketika Bima sulit untuk diajaknya ke masjid, maka Madan akan mengajak Wahyu. Sementara Musa, orang yang paling alim di kelasnya. Ia adalah orang yang mudah bersosialisasi. Semua orang mengenalnya dan semua orang bebricara dengannya. Maka, pergi sendirian ke masjid adalah hal yang tidak masalah bagi Musa.
Akhirnya, sekolahnya selesai. Madan telah sampai di rumahnya sekarang. Madan tidak sabar untuk segera memeriksa ponselnya. Melihat jawaban dari Atika yang terus membuat jantungnya terus berdetak.
'Nanti saja! Nanti saja! Nanti sajaaa! Kenapa rasanya gua ingin terus membuka ponsel? Gua harus merapihkan semuanya terlebih dahulu!' kata Madan dalam hatinya.
Madan pun melawan rasa penasarannya. Ia memilih untuk meletakkan semua barang barangnya pada tempatnya. Melempar ponselnya ke atas kasurnya dan membiarkannya menyala.
"Ayo ayo ayo! Cepatlah!" gumam Madan.
Rasa penasaran yang begitu besar membuat Madan gila sendiri. Bahkan, Madan sempat bernyanyi sendiri di dalam kamarnya.
Ketika selesai, Madan langsung melompat ke atas kasurnya, "Ughh!"
Madan sendiri tidak sabar melihat jawaban dari Atika tentang pernyataan perasaannya.
"Buka buka buka!" Madan membuka ponsel dan aplikasi tempat mereka saling berbincang.
Sering kali terbesit di kepala Madan bahwa jawaban dari Atika akan membuatnya merasa sangat senang, 'Dia pasti menerima gua!' ujar Madan dalam hatinya yang tengah dipenuhi dengan rasa percaya diri.
Rasa percaya dirinya muncul karena Madan juga terus mengingat proses pendekatan mereka yang berjalan cukup lama. Dan Madan tidak mendapatkan respon risih dari Atika sedikitpun. Hal itulah yang membuatnya merasa begitu percaya diri saat ini.
Namun, ketika Madan membuka ruang obrolannya dengan Atika, Madan tidak menyangka bahwa jawaban dari Atika justru membuatnya merasa kecewa.
Atika : Madan maaf. Terima kasih coklatnya! Persoalan surat yang kamu kasih itu aku tidak bisa menerimanya. Karena, blablablabla.
'Hah? Apa ini artinya dia menolak gua?' Madan masih meragukan jawaban dari Atika.
Banyak kalimat yang Atika sampaikan kepada Madan. Membuat Madan tidak paham akan poin penting yang dimaksud Atika dalam responnya saat ini.
Tetapi, beberapa kata yang dilihat Madan membuat Madan tidak lagi merasa ragu bahwa Atika menolaknya.
'Belum bisa menjalani hubungan ini katanya?' Madan terus memastikan kembali tiap kata yang Atika katakan kepadanya.
"Lalu mengapa responnya seperti itu? Sialaan!" teriak Madan spontan.
Madan tidak habis pikir dengan keputusan Atika yang menolak Madan begitu saja.
Namun, bagaimanapun hancurnya situasi saat ini, Madan tidak menanggapinya dengan berlebihan.
Madan menghargai keputusan Atika dan menyetujui alasannya menolak Madan.
'Huh. Yasudah lah kalau begitu. Mungkin, memang ini belum waktunya untuk berpacaran. Mending gua mandi!' pikir Madan.
Jika pada umumnya para lelaki yang di tolak perempuan akan merasa sangat putus asa dan sedih. Maka berbeda dengan Madan.
Meski ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya karena menyadari bahwa dirinya akan jauh dari Atika, namun ketidaksiapannya dalam menjalani hubungan pacaran membuatnya merasa lega ketika mengetahui bahwa dirinya batal untuk berada pada hubungan itu.
Hanya saja, rasa bingung Madan akan sikap Atika kepadanya membuatnya terus kepikiran. Entah dimanapun Madan berada, Madan terus memikirkan pertanyaan itu.
'Jika dia memang tidak suka dengan gua, bukankah dia tinggal bilang saja bahwa dia tidak tertarik?' Madan mengira bahwa Atika tidak tertarik dengannya.
Madan telah keluar dari kamar mandinya. Bahkan ketika dirinya telah menggunakan bajunya kembali, Madan pun masih memikirkan pernyataan itu.
'Apa mungkin, justru ada lak- laki lain yang mendekatinya dan membuatnya tergoda hingga sampai di titik penolakan ini? Hahaha.' Madan menanggapi semuanya dengan santai.
Bahkan, teman-teman Madan mengakui bahwa pendekatan yang dilakukan Madan berjalan begitu santai.
Jika orang lain sibuk mengurus memikirkan hal yang berkaitan dengan orang yang disukainya, tetapi Madan hanya melakukan apa yang perlu dilakukannya.
Ketika Madan tidak perlu menghubungi Atika, maka Madan tidak akan melakukannya.
Faktanya, Atika sendiri tidak benar-benar menolak Madan. Ia memiliki perasaan yang sama dengan Madan. Namun telah menjadi kebiasaan bagi perempuan, bahwa dirinya ingin mendapatkan perjuangan lebih dari lelaki yang disukainya juga.
'Kenapa dia hanya berhenti dan pasrah sampai disini saja? Dia bilang dia sayang sama aku? Tapi, kenapa responnya justru seakan akan kita hanya akan sampai disini saja?' Atika terus menunggu balasan dari Madan.
Sementara di waktu yang sama, Madan sudah tidak mempedulikan lagi. Baginya, urusannya dengan Atika telah selesai. Madan tidak ingin mengganggu Atika lagi. Meski koneksi mereka sebagai seorang teman akan terus berjalan.
Bima mulai penasaran dengan hasil dari aksi yang dilakukan kawannya, 'Wah, Bima mulai bertanya. Gua harus jawab apa? Pasti dia akan menertawai gua ketika tau tentang berita ini!' Madan merasa ragu untuk membalas pesan dari Bima.
Meskipun pada akhirnya, Madan pun menceritakannya langsung kepada Bima.
Bima terus menyemangati Madan seakan Madan tengah berada pada kondisi yang sangat terpuruk.
'Bocah ini benar benar berisik! Memangnya, sebenarnya seperti apa respon lelaki setelah ditolak perempuan? Kenapa dia terus menyemangati gua?' gumam Madan dalam hatinya.
Madan mulai membayangkan betapa rusuhnya esok ketika Bima mulai bersuara tentang kabar yang di dengarnya dari Madan.