Chereads / I Give You My Attention / Chapter 17 - Coklatnya Meleleh

Chapter 17 - Coklatnya Meleleh

"Hah? Apa itu seriusan?" tanya Bima. Wajahnya terlihat histeris tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Madan.

"Hahaha!" tawa Mada. Ia terlihat begitu gembira.

Madan tidak ingin menjelaskannya begitu rinci kepada Bima. Madan langsung menoleh ke tasnya dan membuka tasnya perlahan. Mencoba menunjukkan coklat yang telah dibuatnya dan surat yang telah selesai ditulisnya.

Tapi, ketika melihat barang yang telah dipersiapkannya dari rumah Madan begitu terkejut, "Hah? Yaaah." Madan begitu kecewa melihat tekstur coklatnya yang telah meleleh. Madan terlalu gembira hingga melupakan hal penting lainnya. Ia tahu bahwa coklat bisa meleleh. Tapi ia melupakannya.

"Ada apa sih?" Bima kesal dengan Madan yang tidak langsung menjelaskan situasinya.

Bima berusaha mengintip ke dalam tas Madan yang dihalangi kepala besar Madan.

"Wow, coklat?" tanya Bima histeris.

Bima begitu terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya. Sekarang, Bima merasa yakin bahwa Madan serius dengan perkataannya.

"Iya. Tapi, ini sudah meleleh!" kata Madan.

Padahal, Madan telah merasakan sendiri betapa baiknya hari ini. Tidak ada hal yang menghalangi rencananya untuk menembak Atika.

"Lalu, apa rencana selanjutnya?" tanya Bima.

Madan sempat kebingungan setelah mendengar pertanyaan Bima. Tak tahu apa yang harus dilakukannya setelah bencana ini datang. Tapi, ia tidak boleh menggagalkan rencananya, "Oh. Bim. Temani gua ke supermarket sebentar!" ajak Madan.

Bima tidak merasa begitu yakin dengan rencana Madan.

"Hah? Lo sudah gila? Bagaimana caranya?" tanya Bima masih tidak paham dengan jalan pikir Madan. Mereka akan kena masalah jika berani keluar dari sekolah sebelum bel pulang berbunyi.

"Tenang saja! Kita akan manfaatkan Babeh!" Madan mulai tersenyum.

"Ah. Jangan aneh-aneh! Gua tidak ingin mendapat poin dari guru lagi!" Wajah Bima tak yakin dengan rencana Madan.

"Apanya yang aneh? Gua berani bilang ke Babeh kalau kita izin ke supermarket. Apa salahnya?" ujar Madan.

Bima mengira bahwa Madan akan mengajaknya berbuat kenakalan dengan berkata bohong kepada Babeh agar mendapatkan izin darinya.

"Tunggu! Jadi, lo akan bilang kepada Babeh kalau tujuan lo adalah ke supermarket? Bagaimana lo bisa yakin bahwa Babeh akan membukakan pagar itu?" tanya Bima meragukan rencana dari Madan.

"Pokoknya bisa! Harus yakin dan tenang saja!" Madan sama sekali tak merasa ragu dengan rencana yang dibuatnya.

"Terserah saja!" Bima pasrah.

Anehnya, seakan semua ketakutan yang ada di dalam diri Madan hilang sekejap ketika Madan tengah merasa panik karena rencana spesialnya yang terancam gagal.

Melihat Bima yang mulai setuju dengan rencananya, Madan pun memutuskan untuk langsung berangkat ke supermarket terdekat dari sekolahnya agar dapat mengganti coklatnya yang meleleh.

"Ayo!" Madan mulai berjalan keluar kelasnya.

"Yuk!" jawab Bima yang pada akhirnya percaya dengan rencana Madan.

Meski Bima sendiri telah memiliki rasa percaya terhadap Madan, namun Bima masih punya rasa khawatir terhadap Babeh.

Mereka telah berada di jalan dekat gerbang sekolah sekarang. Terlihat Babeh yang tengah menunggu mereka datang. Sepertinya, Babeh juga penasaran dengan apa yang berusaha dilakukan dua bocah ini.

'Melihat wajah Babeh saja seakan mustahil untuk mendapatkan izin darinya!' kata Bima dalam hatinya.

Sambil berjalan, mata Bima hanya terus terfokus kepada wajah Babeh yang sudah memperhatikan mereka dari kejauhan.

Babeh sendiri adalah tipe orang yang disegani semua murid di sekolahnya. Wajahnya yang membuat para murid yang belum mengenlanya bisa merasa takut. Bahkan sebelum berbicara dengannya.

Sementara Madan, ia tahu bahwa kesangaran Babeh hanyalah sebuah tampilan saja. Namun sebenarnya, Madan tahu bahwa Babeh adalah orang yang sangat baik. Bisa berbicara panjang dengan siapapun.

Madan sendiri sebelumnya merasa sangat takut dengan Babeh. Tapi ketakutannya hilang semenjak Babeh mulai berbicara intens dengannya.

Madan telah sampai di dekat gerbang. Tidak ada satu murid pun yang berani mendekati gerbang sebelum bel pulang sekolah berbunyi.

"Beh!" sapa Madan dengan senyumnya.

Langkah pertamanya adalah bersikap ramah. Madan pernah dengar, bahwa orang yang ramah pasti akan disegani.

"Lo ada urusan apa kesini? Cepat balik!" Babeh berkata seakan dirinya bisa membaca niat dan pikiran Madan.

"Jangan terlalu galak Beh! Kita hanya ingin keluar ke supermarket saja kok!" Madan langsung menjelaskan niatnya menghampiri Babeh.

Bima hanya bisa menyengir. Berusaha membuat suasana tetap dingin. Medengar perkataan Madan membuat Bima merasa semakin tidak tenang.

'Apa orang ini sudah gila? Dia mengatakannya seakan dirinya tak megnanggap kehadiran Babeh? Bagaimana bisa dia se santai ini?' Bima hanya bisa berteriak dalam hatinya.

"Ehehehe." Bima tak mampu membantu Madan berbicara. Ia hanya bisa tertawa.

"Mau apa lo ke supermarket? Enak sekali. Bisa ke supermarket ya? Balik!" Babeh menegaskan kembali keputusannya.

"Beh! Apa yang membuat Babeh tidak percaya dengan kita? Saya bisa membuktikannya kepada Babeh!" Madan mulai memainkan kata katanya.

Mendengar pertanyaan dari Madan, Babeh mulai tak berkutik sesaat. Termakan dengan silatan lidah Madan yang cukup pintar dimainkannya.

"Oh. Babeh mau kopi? Kebetulan, di dekat supermarket biasanya ada es kopi sih," ujar Madan mencoba menyuap Babeh.

Wajah Babeh mulai terlihat ragu untuk menahan Madan. Madan dapat merasakannya melihat wajah Babeh.

'Hihihi. Pasti Babeh mulai tergiur dengan tawaran ini!' pikir Madan membuatnya semakin tenang. Padahal, situasinya saat ini belum menjamin kepastian bahwa dirinya bisa mendapatkan izin dari Babeh.

"Lo mau menyuap gua?" tanya Babeh. Babeh mengeluarkan pertanyaan yang membuat Madan sedikit mematung.

'Sialan! Gua tidak bisa mengelak. Tapi, gua tidak bisa mundur!' Madan masih mempertahankan tekadnya.

"Tuh kan kan kita sudah menawarkan es kopi, tapi masih di tuduh?" Madan menoleh ke arah Bima.

Bima tidak ingin ikut campur dalam obrolan mereka berdua. Berada di dekat Babeh saja membuat Bima merasa cukup tegang.

'Bocah bodoh! Kenapa dia harus bertanya kepada gua? Apa dia tidak tau bahwa gua tengah merasa ketakutan sekarang?' di dalam hatinya Bima meluapkan rasa kesalnya.

Sementara raut wajah Bima tampak terus menyengir. Seakan ia tidak dapat mengendalikannya sedikitpun.

"Ahahaha iya!" Bima hanya mampu menanggapi pertanyaan Madan sampai disana.

"Tenang saja Beh! Kekhawatiran Babeh akan kami hargai! Kita janji tidak akan berulah dan pulang dengan segelas es kopi dengan topping boba yang kenyal dan manis. Emm. Enak sekali sepertinya untuk menemani siang yang panas sendirian!" kata Madan. Menggoda Babeh, membuatnya tergiur dengan tawarannya.

Babeh pun akhirnya kalah dengan Madan. Ia tidak lagi memiliki kemampuan untuk menahan Madan.

"Yasudah sana! Tapi ingat! jangan terlalu lama! Dan lo harus menepati janji lo!" Babeh menunjuk wajah Madan.

Madan merasa sangat lega dan senang akan jawaban Babeh.

"Siap!" jawab Madan sambil memberikan salam hormat kepada Babeh. Madan memberikan kepalan tangannya, "Tos dulu dong!" ajak Madan.

Puk!

Babeh menghantam kepalan tangan Madan dengan kepalan tangannya.

"Aduh!" ucap Madan sambil mengusap tangannya, "Bim! Ayok!" ajak Madan.

Bima masih mematung disana. Ia pun mulai berjalan mengikuti Madan dengan perasaan yang mulai lega.

'Ada apa dengan bocah ini? Bisa bisanya dia mendominasi situasi yang menegangkan seperti ini?' Bima merasa kalah.

Seperti yang mereka ketahui, bahwa fisik Bima lebih kuat dibandingkan dengan Madan. Bima sering berolahraga yang membuat tubuhnya terlihat cukup bagus di usianya yang masih muda.

Namun sekarang, keberanian Madan membuat Bima merasa direndahkan.

"Hei! Bagaimana bisa lo berbuat seperti itu kepada Babeh?" tanya Bima berusaha memperbaiki harga dirinya.

"Ah. Itu tidak penting! Yang penting sekarang adalah dimana supermarket terdekat!"

"Kesana! Gua tau!"

Bima menunjuk ke suatu arah yang menjadi lokasi terdekat salah satu supermarket dari sekolahnya.

Mereka pun berjalan santai ke arah yang ditunjuk Bima. Jam istirahat kedua memiliki waktu yang lebih lama daripada jam istirahat pertama. Madan percaya bahwa pada jam pelajaran terakhir sering kali banyak guru yang tak masuk ke dalam kelasnya dengan berbagai alasan. Membuat Madan bisa lebih santai.

Madan dan Bima telah kembali dari supermarket yang dikunjunginya. Membeli satu buah coklat dan satu buah es kopi spesial milik Babeh.

Ketika sampai di pos Babeh, Madan langsung menunjukkan es kopi yang dibwanya, "Halo Beh! Coba lihat! Kita sudah kembali sesuai dengan janji yang kita buat!" kata Madan.

Madan mulai wajah Babeh yang mulai terlihat sedikit senyuman didalamnya. Meski itu tidak mengurangi kegarangannya.

"Wah. Sungguh es kopi?" Babeh sampai melihat sekitar es yang dibawa Madan.

"Iya dong! Ini banyak toppingnya. Sebaiknya Babeh segera menyantapnya. Itu sangat enak! Bahkan, harganya lebih mahal dari coklat ini ahahaha." Madan menyinggung soal harga sambil menghadapkan wajahnya ke Bima.

'Lagi lagi, dia berani bermain api!' Bima masih dengan ekspresi wajahnya yang menyengir.

"Waduh. Terima kasih banyak! Sering sering minta izin kepada gua! Biar gua bisa menikmati es kopi ini tiap hari! Ahahaha." Babeh mulai mengeluarkan candaannya kepada Madan. Membuat Madan merasa berhasil mengambil hati Babeh.

'Oke tahap ini telah selesai!' kata Madan dalam hatinya.

"Ahaha. Babeh bisa saja. Kalau begitu, saya mau kembali lagi ke kelas. Terima kasih Beh!" ucap Madan berpamitan kepada Babeh.

"Terima kasih juga Beh!" Bima masih tak dapat mengontrol ekspresi wajahnya yang terlihat terus cengengesan.

"Iya iya! Sudahlah! Cepat balik ke kelas kalian! Gua ingin menikmati kopi ini!" kata Babeh mengusir mereka.

"Ahahaha." Bima dan Madan tertawa.

Pada akhirnya, Madan pun berhasil menyelamatkan misinya yang hampir gagal.

Madan tidak bisa menyebutnya sebagai misi yang tertunda. Karena baginya, hanya hari inilah Madan bisa merasakan kesempurnaan waktu serta keberuntungan dalam sebuah momen.

Baginya, perundingannya dengan Babeh bukanlah sebuah masalah. Itu hanyalah rintangan kecil yang membumbui ceritanya pada perjuangannya menyatakan perasaan kepada Atika.

"Selanjutnya? Apa lo sudah siap?" tanya Bima.

"Tentu saja!"

"Kapan lo akan memberikan itu semua?"

"Sekarang!" jawab Madan dengan tatapannya yang begitu serius menghadap ke depan.