"Iya. Anak anak yang kemarin itu sudah tidak satu ruangan lagi dengan kalian!" jawab mis Diana.
Meski begitu, Madan selalu menepisnya dengan pernyataan bahwa Atika bukanlah segalanya baginya. Sehingga, perlahan Madan bisa mengatasi perasaannya sendiri yang menurutnya berlebihan, 'Ah biarlah! Lagipula, gua bisa lebih bebas berekspresi!' ucapnya dalam hati.
Kabarnya, Dhifa, teman SDnya akan kembali ke tempat les ini. Itu menjadi kabar yang baik bagi Madan. Dhifa adalah teman Madan yang ketampanannya membuat Madan selalu merasa iri. Namun, Dhifa juga menjadi salah satu teman yang tidak begitu mudah terbawa perasaan. Bercanda dengannya adalah hal yang dirindukan Madan.
"Wah. Tidak menyangka bocah pemalas itu akan les lagi. Bagaimana dengan lu, Rel?" tanya Madan kepada Farel.
Farel sendiri adalah teman paling dekat dengan Dhifa. Mereka memiliki kesamaan hobi yang membuat bersama dengan Dhifa terasa asik bagi Farel.
"Biasa aja!" kata Farel berkata bohong.
"Heleh!" Wajah Madan tak percaya terhadap perkataan Farel. Dwi mulai mengancam Farel, "Gua akan beritahukan itu kepada Dhifa! Lihat saja nanti!" kata Dwi.
"Hehehe." Farel tertawa.
Di hari Rabu, hari yang disenangi Madan kini datang kembali. Madan lupa menghitung berapa banyak dirinya tersenyum dipagi hari setelah ia bangun dari tidurnya. Madan terlalu bahagia pada hari-harinya hingga senyum adalah hal yang cukup mudah baginya.
Hingga pada akhirnya, hari yang akan menjadi waktu dari terjadinya sebuah masalah sebentar lagi akan dihadapi oleh Madan.
Sekarang, Madan dan kawan-kawannya telah terbiasa berinteraksi dengan lingkungan Kiel. Madan sendiri merasa bahwa tidak ada hal yang buruk untuk berteman dengan Kiel. Selagi Madan bisa menghindari semuanya, Madan tidak perlu khawatir lagi.
Di tengah tengah pelajaran yang membosankan, guru IPA yang tidak begitu memperhatikan muridnya membuat Madan dan kawan kawannya merasa ngantuk. Mereka tidak bisa tidur di dalam kelas begitu saja.
Sampai pada waktu dimana Kiel mulai mengeluarkan kapas yang dibawanya untuk pelajaran saat ini.
Plukk!
Kapas yang dibasahi Kiel dengan air dilemparkannya ke wajah Jonathan.
"Ah Kiel. Jangan seperti itu! Itu sakit!" kata Jonathan mengeluh.
Kiel tidak mempedulikan Jonathan yang menggerutu. Jonathan sendiri tidak berani membalas Kiel. Ia hanya bisa berusaha mencegah Kiel untuk tidak melemparkan kapasnya ke wajahnya lagi.
"Ahahaha." Melihat reaksi Jonathan yang memelas, mereka semakin terhibur.
Namun, target selanjutnya yang akan menerima serangan lemparan kapas basah dari Kiel pun berubah. Orang itu adalah Wahyu. Orang yang cukup dekat dengan Madan.
Madan dan kawan kawannya merasa bahwa ini hanyalah sebuah candaan yang dibuat Kiel karena rasa bosan yang melanda mereka. Pada akhirnya, beberapa dari mereka termasuk Madan pun ikut melempar benda benda kecil ke target yang mereka fokuskan.
"Ahahaha. Awas Bim!" Madan memperingati Bima
Target mereka terus berubah. Bahkan Bima pun sempat menerima serangan dari Madan.
Hingga pada waktu yang buruk, Madan pun harus menerima gilirannya. Ia harus menahan serangan dari mereka.
Kiel mulai melempari Madan kapas basah itu. Madan baru merasakan kerasnya tekstur dari kapas yang telah digumpal setelah diberi air.
'Wow. Ini sakit juga. Ahahaha gua tidak bisa membayangkan perasaan Bima ketika menerima lemparan gua tadi!' Rasa sakit yang diterima Madan membuatnya merasa bersalah karena telah menimpuk kawannya dengan tenaga yang cukup besar.
Madan sempat membalas lemparan mereka. Termasuk membalas lemparan Kiel. Madan tidak peduli. Baginya ini hanyalah sebuah candaan saja. Lagipula, ia akan menerima balasannya karena telah menyerang kawannya juga.
"Mampus lo!" ucap Atala. Ia terlihat paling bersemangat ketika korbannya adalah Madan.
"Ahahaha!" Atala tertawa seakan dirinya lah yang paling menikmati giliran Madan.
Madan terus menutupi wajahnya dan menahan serangan dari mereka. Ketika Madan melihat wajah Atala, Madan mulai merasakan bahwa di dalam hati Atala, suasana hati Atala tidak sedang bercanda. Atala terlihat cukup serius. Seakan ada dendam dari tatapan matanya.
"Hahaha. Di bully!" Atala masih menetawai Madan dengan puas. Dirinya yang tidak terlalu banyak omong sebelumya, kini mulai mengeluarkan kata-kata yang membuat Madan terpancing.
'Hm? Kenapa dia terlihat begitu serius? Apa dia merasa bahwa ini adalah sebuah kesempatan untuknya?' pikir Madan mulai merasa tidak senang lagi.
Madan bisa menahan serangan mereka seharian sambil terus tertawa. Namun sekarang, rasanya suasana telah berubah.
'Entah. Apa ada yang salah dengan hati ini karena terus mencap buruk Atala? Atau memang ada yang salah dengan Atala?' Sebelum bertindak, Madan memastikan kembali akan hatinya yang yakin bahwa ini bukan hanya sekedar kesalahan cara berpikirnya saja.
Puk!
Sambil berdiri, Atala melempar kertas basahnya yang lebih padat hingga mengenai bagian atas kepala Madan.
'Hahaha. Sialan! Bocah keparat!' Madan tidak bisa lagi menahan rasa kesalnya.
Madan mengabaikan lemparan dari mereka. Matanya hanya tertuju fokus menatap Atala. Mereka dapat menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya diantara mereka berdua. Maka mereka pun menghentikan lemparannya dan memilih untuk menyaksikan perkelahian antara Madan dan Atala.
Madan berjalan menghampiri Atala.
"Kenapa? Gak senang?" tanya Atala justru menantang Madan.
Madan hanya terus menatap mata Atala dan tidak membalas perkataannya. Sebelumnya, Madan sempat merasa ragu untuk memulai perkelahiannya dengan Atala di depan gurunya yang tengah mengajar. Tapi kelihatannya, gurunya bahkan tidak peduli dengan apapun dan hanya berfokus pada murid-murid yang memperhatikannya.
Atala mendorong Madan.
Bruakk!
Madan pun menarik kerah Atala dan menariknya ke samping karena rasa kesal yang telah membludak.
Atala dapat melihat rasa kesal yang begitu besar yang tampak pada wajah Madan.
Mereka berdua bergulat diatas lantai. Diantara banyaknya meja meja yang bisa kapanpun menghantam kepala mereka.
Sampai pada akhirnya, waktu yang tepat membuat perkelahian mereka terpisahkan. Beberapa murid mulai heboh. Gurunya baru menyadari adanya perkelahian diantara Madan dan Atala ketika salah satu muridnya menegurnya.
"Hei! Hei! Sudah sudah! Jangan bertengkar!" kata pak Pri selaku guru IPA sekaligus walikelas mereka.
Namun di wajah pak Pri masih tak terlihat sebuah amarah meksipun melihat langsung tingkah kedua muridnya yang tak menghargai dirinya.
Teman-teman yang pada awalnya hanya menonton pertarungan mereka berdua, kini mulai ikut memisahkan agar tak terlihat bersalah.
"Sudah, Dan! Sudah!" Jonathan berpura-pura kelelahan karena memisahkan mereka berdua.
"Sudahlah! Jangan bertengkar! Tidak baik tau!" Martinus masih bisa menjadikan mereka berdua sebagai leluconnya.
Madan masih panas. Pertarungan yang terhenti masih belum bisa membuatnya meluapkan semua emosinya terhadap Atala.
Seketika, rasa bencinya terhadap Atala yang sebelumnya dipilihnya untuk ditahan, kini semua perasaan itu semua datang menghampiri Madan hingga membuatnya seperti kerasukan iblis.
Pak Pri masih berusaha menenangkan mereka. Namun pak Pri tidak mengerti situasi sebenarnya. Pak Pri menasihati mereka seperti mereka adalah anak kecil. Sehingga, mengundang banyak lelucon dari kawan-kawannya yang hanya membuat Madan dan Atala semakin panas.
"Jadi gitu ya! Jangan bertengkar! Karena emosi kalian sedang di kuasai setan! Lebih baik menyelesaikan masalah dengan damai! Karena jika seperti itu maka kalian akan merasa lebih enak. Bukan begitu?" Kata-kata pak Pri tak meredakan emosi mereka.
Madan dan Atala berpura-pura mendengarkannya. Merasa bahwa ini adalah hal terbaik yang harus mereka lakukan di saat situasi menjadi runyam seperti ini.
Pak Pri mulai menarik tangan Atala. Membuatnya menyodorkan salamnya kepada Madan. Pak Pri memaksa Madan dan Atala untuk saling memaafkan.
Madan dan Atala bersalaman.
Madan merasa sangat terpaksa dengan suruhan pak Pri yang membuatnya harus menerima uluran tangan dari Atala. Hal itu hanya semakin mengganjal hatinya.
Namun tetap saja, Madan sadar bahwa dirinya telah salah. Ia tidak bisa terus dikuasai emosi. Karena itu hanya akan memperpanjang masalahnya. Madan sendiri mulai mengabaikan dan melupakan masalah yang terjadi.
Teman-teman Madan menenangkannya. Itu cukup membuat Madan merasa lebih baik. Namun Madan memilih untuk melupakannya dan berhenti membahas masalah itu.
Hanya saja, Madan berharap bahwa pak Pri sebagai wali kelasnya tidak melihatnya sebagai anak yang buruk. Madan khawatir, jika pak Pri akan memberitahukan kejadian ini kepada guru yang lainnya. Sehingga, itu hanya akan membuat Madan terlihat nakal. Seperti halnya Kiel.